Pak Carik di desa Sigendeng memang sangat terkenal di kecamatan Sukalila. Beliau mempunyai wibawa yang sangat tinggi. Pak Dikun sudah menjabat sebagai carik selama satu tahun. Sebelumnya ia hanya seorang petani yang sangat tekun dengan padinya. Bahkan perlakuan kepada padinya sama dengan anaknya. Pernah suatu saat padi yang selalu ditimang-timang berhasil melahirkan beras-beras yang bagus dengan harga jual tinggi. Semua berubah ketika musim kemarau mencerca. Ia datang tanpa permisi dengan merampas kebahagiaan Dikun. Dikun yang murung hanya merenung di bawah pohon asam pinggir sawah.
“Wah, nek kaya kie bae jelas ora bakal dadi” Keluh Dikun sambil mengipas-ngipaskan caping yang compang-camping.
Dikun memang kerap kali mengeluhkan padi yang terserang hama wereng. Hama itulah yang menyebabkan dirinya seperti saat sekarang ini. Bulan Desember pertengahan di Desa Sigendeng telah mencatatkan dirinya sebagai seorang pamong desa. Memang kala itu di Sigendeng tengah panas-panasnya, semua orang berbicara mengenai dibukanya lowongan sebagai pamong desa-Kayim, Kulisi, dan Carik yang kala itu tengah kosong. Semua orang berbondong-bondong mendaftarkan dirinya, Mereka yang bergelar sarjana, lulusan SMA, SMP, dan SD saling berdesak-desakan menuju kursi panas itu. Tak terkecuali Dikun, orang yang tah kenal huruf ikut mengadunasibnya di sana.
Kala ia mendaftar berpapasan dengan Pak Mad-tuan tanah yang terkenal di Sigendeng. Pak Mad juga telah berangkat Kaji untuk melengkapi gelarnya. Pak Kaji Mad juga mendaftarkan anaknya sebagai Carik. Si Mar, seorang sarjana Bahasa Indonesia yang kala itu tengah mengabdi di SMP di sana.
“Gagah temen, arep maring ndi, Kun?” Tegur Pak Kaji dengan setengah mengejek karena, ya, memang biasanya Dikun dilengkapi dengan baju kondornya.
“Anu niki bade nyobi-nyobi tumut daftar pamong desa, Pak.” Dikun dengan tetap mengedepankan sopan-santunnya. Dia tak peduli walaupun sebenarnya tengah direndahkan.
“Ndaftar dadi apa?” Tanya Pak Kaji dengan muka sedikit kecut.
“Ndaftar bagian Carik, Pak, mbok menawa rejekine kulo” Setengah tersenyum Dikun menjawab pertanyaan Pak Kaji.
“Ya, pada bae karo Si Mar, anakku tek daftarna dadi Carik, Kun. Apa modalmu dadi Carik? Biasa nyekeli pacul karo arit kok wani-wanine. Ko jelas kalah adoh karo Anakku, Kun, Dikun.” Pak Kaji menertawakan keseharian Dikun.
Sebenarnya Dikun menjadi rendah hati kala dipojokan dengan omongan seperti itu. Dia kembali memikirkan langkahnya lagi. Hatinya berkata untuk balik ke sawah dan melanjutkan pekerjaannya. Masih banyak yang perlu dikerjakan di sawah. Tapi, Dikun tetaplah Dikun, ia adalah seorang yang pantang menyerah dan ingin memperbaiki hidupnya. Dia ingin membahagiakan kedua orangtuanya di alam lain. Dulu Bapaknya adalah seorang Kadus dan ingin menurunkan darah kepamongan kepada Dikun. Tapi, roda kehidupan menggilas keinginan itu. Dikun kala itu tak pernah memikirkan masa depannya sampai kemarin ia mendengar lowongan barulah ia sadar akan keinginan Bapaknya. Di usianya yang menginjak 35 Tahun ia pantang menyerah merubah nasibnya. Saat mendengar dari tetangga hatinya langsung tersentak dan sumringah. Ia meyakinkan hatinya dan membulatkan pikirannya. Kegundahan menghinggapi hatinya karena omongan Pak Kaji yang congkak pun ia abaikan. Ia hanya membalas dengan senyum dan terus melangkah menuju balai desa. Dengan pakaian terbaiknya namun lusuh di mata orang lain membuat ia merasa gagah dan semakin percaya diri dengan nasibnya. Senyumnya ditebarkan ke orang-orang yang berada di sana.
Dia duduk menunduk melihat sepatunya. Dia jadi ingat sepatu lusuh berlubang itu pemberian terakhir Bapaknya sebelum ditinggal ke alam lain. Dia yang semangat ternyata menitikan buih-buih air mata yang telanjang. Dirinya memasuki alam yang entah di mana keberadaannya. Dia tengah melewati sawahan bersama Bapaknya. Dikun tertawa-tawa seperti tawa anak kecil yang terus deras mengalir jauh. Deg… tiba-tiba dia disikut oleh orang di sampingnya. Lalu menegoklah, ternyata si Sodik-anak juragan Pasar Bocari. Dikun kenal betul dengan Sodik saat masih duduk di bangku SMP.
“Ko juga ndaftar, Kun?” kedua tangan sahabat itu saling berjabat.
“Hehe, iya kie, Dik. Pengin ngubah nasib.” Jawab Dikun tersenyum.
“Siki kerja neng ndi, Kun?” Pertanyaan basi itu masih terlontar. Dikun diam sejenak, ia sebenarnya merasa malu. Tapi, buat apa malu ke sahabat sendiri.
“Aku neng umah bae, Dik. Kadang nek ana gawean neng sawah ya, macul.” Jawab Dikun masih tersenyum.
Mendengar pernyataan temannya, Sodik hanya diam dan bermain-main dengan kertas di tangannya. Matanya menunjukan rassa iba kepada teman sebangkunya dulu. Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 WIB. saat yang dijadwalkan untuk tes penjaringan pamong desa.
“Ayo seluruh peserta masuk ke ruangan. Jangan lupa membawa potlot” Seorang bertubuh kekar dengan seragam doreng memerintah.
Semua peserta masuk ke dalam ruangan hanya dengan membawa potlot dan penghapus saja selebihnya otak mereka yang diandalkan. Tak terasa sudah dua jam tes berlalu. Seluruh peserta disuruh meninggalkan ruangan dan menunggu lagi di kursi masing-masing. Seperti tadi, Dikun duduk di samping Sodik sembari menceritakan kesenangan dan kegirangan sewaktu kecil, sewaktu mereka berdua perang menggunakan kotorannya sendiri. Dikun hanya tertawa kecil karena ia tahu mulutnya bau menyan.
Pak Polisi dan Pak Tentara mengawal panitia ujian. Saat-saat yang penuh dengan detakan jantung. Saat nama-nama dipanggil satu persatu seluruh peserta memperhatikan dengan saksama. Berbeda dengan Dikun, ia dikuasai oleh ketenangan. Baginya ini sedang bermain HK Togel. Jika nomernya tepat ya jekpot tapi kalo salah jauh ya sudahlah. Dia sudah ikhlas menerima apa yang ditakdirkan untuknya. Tetapi saat renungan-renungan seperti itu muncul.
“Peringkat satu pendaftar Carik, Dikun dengan nilai 120, kemudian disusul Marijum (Si Mar) dengan nilai 90….” Namanya dipanggil dan berarti dia lolos. Dikun tidak percaya bahkan berkali-kali bertanya kepada para panitia karena kepolosannya.
“Iya, Kun, ko lolos kie peringkat 1 malah.” Dikun menangis, bukan karena senang tapi dia teringat omongan Bapaknya dulu.
***
“Pak.”
“Pakkkkkk…… tangi kae, lo, digoleti Pak Lurah.” Pekikan Siti membuat Dikun tersadar bahwa tadi hanya bunga tidur.
Dikun bangun dengan bersemangat dan langsung mencuci muka hitamnya. Hitam seorang laki-laki pekerja keras. Bergegas ia memakai sarung dan lari ke ruang tamu. Dan ternyata benar ada Pak Lurah sedang duduk di kursi risban yang penuh dengan rayap. Rumahnya masih gubuk dan kalau berdinas hanya menunggangi sepeda onthel kesayangan Bapaknya dulu.
“Kepripun, Pak? Kok tumben tindak dating mriki?” Tanya Dikun ramah.
“Haha, biasa, Kun, ana kontraktor sing arep mbongkar balai desa.” Muka Pak Lurah terlihat sangat bahagia.
“Nah, nggih nopo urusane kalih kulo, Pak? Biasane kan Bapak sekalian sing ngadepi.” Jawab Dikun sedikit bingung dengan kelakuan Lurah Diro.
“Wis ayuh ko melu aku bae maring balai desa. Wis dinteni neng kana.” Pak Lurah Diro memaksa Dikun agar lebih cepat lagi.
“Nggih, Pak, kulo gantos rihin” Langkah kaki itu sudah tak terlihat oleh gelapnya badan Dikun dan ruangan.
Saat memakai baju, Dikun merasa ada yang tidak enak di hatinya. Tapi apa? Apakah ia membuat kesalahan sebelumya di desa? Atau Pak Lurah bakal ngajak makan-makan karena berhasil mencari kontraktor yang diajak kongkalikong dalam urusan seperti itu. Ahh, biarkan saja yang penting Dikun tetap menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Dikun bergegas ke ruang tamu, ternyata Pak Lurah sudah di Balai Desa kata Istrinya. Akhirnya dengan sepeda onthelnya ia ngebut dan menabraki jalan yang berlubang. Bahkan lubangnya sedalam telapak kaki. Sudah tahulah pasti pantat Dikun terasa sangat ngilu. Sesampainya di Balai desa Dikun langsung meletakan sepedanya di parkiran motor para pamong. Ia langsung bergegas masuk ke ruangan.
“Ah, tek kira anu nopo, Pak?” Jawab Dikun sedikit kesal.
“Hahaha, ora, Kun, ayuh pesta kie. Merayakan kemenangan proyek” Pak Lurah Diro terlihat sumringah bersama wanita-wanita yang sengaja disewa untuk menghibur. Lurah Diro tertawa-tawa terus. Saat tertawa matanya tidak terlihat karena ditutup lemaknya.
Orgen tunggal pun mereka sewa dari uang itu. Dikun hanya menyebut nama Allah SWT dalam hati. Sebenarnya dia juga ingin bergegas pergi tapi ia baru datang. Akhirnya ia hanya duduk-duduk di teras sembari ngopi dan ngelinting tembakau. Tak berselang lama banyak mobil bagus-bagus dengan orang tak dikenal datang. Mereka bergerak seperti maling yang buta keadaan.
“Ada keperluan apa, Pak?” Tanyanya sedikit takut. Melihat gerak-gerik mereka menjadikan hati tambah yakin jika aka nada berita besar.
“Sudah kamu tidak usah ikut campur, diam saja kamu!” Bentak seorang yang bertubuh gempal.
Di luar balai desa badanku sedikit gemetar. Mungkin takut atau karena belum makan. Ah, tidak tahulah. Setengah jam kemudian orang-orang yang tadi di dalam Balai Desa tengah karaokean sudah diborgol semua termasuk Lurah Diro. Ada apa ini? Tanyaku dalam hati.
“Aku OTT, Kun, ko sementara tek tinggal disit, ya” Pak Diro berkata dengan menunduk malu.
Penulis, Muhammad Aziz Rizaldi. Ia terlahir pada 7 April 2021. Ia tinggal di Desa Gunungkarang Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga. Ia tengah menempuh studi sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia merupakan pegiat isu dan kritik sosial. Karyanya yang sudah dimuat dalam media massa berupa esai berjudul Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan dalam rubrik Opini Redaksi Metafor.id, cerpen berjudul Lelaki Tua yang Tabah yang diterbitkan tiga kali antara lain: rubrik sastra Redaksi Marewai, Redaksi Bhirawa online, dan Redaksi Mbludus.
Ia dapat dihubungi melalui :
Surel: [email protected]
Instagram: Muhammad Aziz Rizaldi
Discussion about this post