Saat itu aku sedang memperhatikan seekor lalat menggesek-gesekkan kaki ke sayapnya.
“Perempuan Kecil, sini!” ucap seseorang bertubuh tinggi, badannya terlihat gelap karena membelakangi cahaya.
Mengapa dengan menoleh ke arah orang itu membuatku tahu bahwa namaku adalah Perempuan Kecil. Aku memakai baju berlengan pendek dan celana panjang merah muda, terdapat noda abu-abu yang menempel di baju dan bagian lutut. Tanganku kotor, kurasakan bibirku lengket seperti lalat yang menciumi kotoran hewan.
“Ya ampun, apa yang kamu lakukan?” tanya orang itu mendekatiku. Matanya mulai terlihat, besar dan melotot. Tapi aku tetap tidak bisa melihat semua bagian tubuh lain kecuali matanya, seolah dia adalah bayangan yang memiliki sepasang mata.
Aku diam, mulutku penuh dengan lumpur. Lalat-lalat di sekitarku berhamburan seperti debu. Kedatangan bayangan itu membuatku sedih bercampur marah, tapi aku tak bisa berkata apa-apa.
“Kamu ini perempuan, masa kamu bermain kotor-kotoran seperti ini? Sana, pergi mandi!” serunya. Mata itu memerah, aku bisa melihat percikan api dari pupilnya.
Sejak kapan aku jadi perempuan? Mungkin ketika dia memanggilku Perempuan Kecil. Aku disuruh pergi ke sana, tapi sana yang mana? Mandi. Apa itu mandi? Apakah itu semacam ritual atau makanan?
Aku menoleh ke belakang, bayangan hitam bermata sepasang itu masih berdiri di sana. Matanya mulai terbakar, tapi dia tetap diam di sana. Sedangkan aku tetap berjalan menuju ke sana yang tak tahu sana itu mana.
Rumput-rumput basah kecoklatan bercampur dengan pasir dan sampah, kadang aku melihat warna-warni pelangi di antara basahan itu, berbau aneh namun sedap dan enak dilihat. Aku terus berjalan, entah mengapa. Aku menoleh ke belakang lagi, kali ini hanya sebentar, karena api dari mata itu mulai merambat ke badan bayangan hitam, mengingatkanku pada bakaran tumpukan jerami kering. Bayangan berapi itu mendekat cepat, matanya membara, aku masuk dalam api, terbakar, tapi tidak ada rasa panas.
***
Aku sering melihat Perempuan Kecil bermain dengan kami, bola matanya hanya sebatas beberapa langkah dari kami. Aku bisa merasakan embusan napasnya yang terkadang menggangguku. Dia memang selalu memakai baju merah muda, selalu merah muda. Dia selalu berbicara pada kami, tapi kami tak tahu apa yang dia bicarakan, cara bicaranya berbeda dengan manusia umumnya.
Mungkin hanya aku yang tertarik dengannya, aku bisa berlama-lama di dekatnya. Sedangkan teman-temanku memilih untuk menjauhinya. Maksudku, dia ini manusia yang unik. Dia memperhatikan mataku yang dapat bergeser, maka dia juga ikut menggeserkan matanya. Dia memperhatikan mulutku yang dapat menjangkau kotoran tanpa mendekatkan kepala, maka dia juga ikut melakukannya, namun tak bisa karena posisi mulutnya berbeda denganku, maka berakhirlah dia terjatuh di kotoran. Dia memperhatikan caraku membersihkan sayap dengan kaki belakang, maka dia ikut membersihkan punggung dengan kedua kakinya. Bukan hanya aku. Dia juga mengikuti bagaimana cara makan kucing, anjing, cara terbang burung, cara berjalan laba-laba, dan sebagainya. Dia meniru hewan-hewan, tapi tak pernah ada gerakan yang dapat ditirunya dengan sama. Kadang aku yakin dia lebih ingin menjadi hewan dari pada menjadi manusia.
Perempuan Kecil hidup bersama ibunya yang berbadan tinggi dan besar. Rumah mereka seperti rumah anjing, kecil dan padat untuk ukuran dihuni oleh manusia. Mereka punya halaman belakang yang luas, bertetangga sapi-sapi milik orang lain. Di halaman itulah tempat biasa Perempuan Kecil bermain, dari jauh dia seperti sedang mengamati kotoran sapi, padahal dia sedang mengamati kami.
Ibunya sering membiarkan Perempuan Kecil bermain sendiri, tapi jika Perempuan Kecil sudah penuh dengan kotoran, ibu akan memarahinya. Banyak respon emosi ibu yang beragam, dari memukul, membentak, mencubit, menyumpah, dan lain-lain. Tapi Perempuan Kecil hanya diam, seolah hal itu tak pernah terjadi, dia terus-terusan mengulangi rutinitas itu lagi dan lagi.
Jika aku menjadi Perempuan Kecil, aku pasti akan bermain dengan anak-anak lain. Apa yang membuatnya ingin menjadi hewan? Khususnya menjadi lalat?
Perempuan Kecil mengembuskan napasnya lagi, kali ini lebih keras dibanding dengan sebelumnya, lubang hidungnya kembang-kempis, matanya berkedip, tak ada satu suara pun yang berasal dari mulutnya. Dia perhatikan enam kakiku yang berbulu, lalu diperhatikan kakinya sendiri. Bulunya tak sepanjang bulu yang kupunya. Oleh karena itu, dia berlari memasuki rumahnya, mengambil beberapa barang, kemudian diambilnya beberapa ranting di sekitarnya. Dia menempelkan ranting-ranting itu pada kakinya, sehingga kakinya sedikit mirip dengan kakiku. Perempuan kecil melihat kakiku, kemudian beralih melihat kakinya yang sekarang. Dia tertawa.
Ini bukan kali pertama aku melihatnya tertawa, tapi tawa kali ini mengingatkanku pada api yang merambat, kemudian menelanku perlahan-lahan.
Aku beterbangan mendekati teman-temanku, kotoran baru keluar dan hangat memancing mereka untuk berpindah tempat. Kami menciumi kotoran itu, sudut demi sudut, sisi demi sisi. Perempuan Kecil tak dapat lagi menjangkau kami. Dia merangkak, meniru jalan laba-laba, masuk ke dalam kandang sapi. Sapi-sapi saling menatap, menggelengkan kepala, tentu mereka kebingungan. Terdengar suara moo dari mulut Perempuan Kecil, dimakannya rerumputan yang ada di sekitarnya. Satu persatu ranting-ranting yang menempel di kakinya terlepas. Pakaiannya penuh lumpur dan kotoran sapi. Samar-samar aku mendengar ibunya memanggil.
Badan besar ibu itu seolah siap menantang siapa saja, termasuk sapi tetangganya. Diambilnya Perempuan Kecil dari kandang sapi, aku berhenti terbang, melihat dua manusia paling aneh yang pernah kutemui. Apa itu berarti aku ingin menjadi manusia? Tapi mereka terlihat tak bahagia.
Ketika ibu mencubit telinga Perempuan Kecil, api keluar dari rumah mereka. Rumah kelabu itu menghitam, api semakin membara. Perempuan Kecil tertawa lagi, kali ini tawanya memang seperti api membara. Ibunya diam, masih berdiri di tempatnya, dilepaskanya cubitan itu.
Perempuan Kecil berlari riang sambil berteriak, teriakannya tidak jelas, bukan seperti teriakan manusia pada umumnya. Sapi-sapi ikut berteriak, mereka berjalan mundur, menjauh dari api.
Api semakin besar, para tetangga keluar dari rumah berusaha memadamkannya.
Api itu semerah darah dan dikit kebiruan merambat perlahan menuju kandang sapi, teman-temanku langsung terbang berhamburan, untuk pertama kali rasa panas menyelimuti tubuhku. Percikan api mulai mengenai sayapku. Samar-samar aku melihat Perempuan Kecil yang masih berlari riang, tangannya direntangkan diangkat sambil dikibas-kibas, mirip sebagaimana caraku terbang. Ibunya diam hampa seperti patung, aku yakin kedua kaki itu susah digerakkan. Tiba-tiba ibunya jatuh, matanya yang terpejam mengeluarkan air, mungkin air itu ajaib dapat memadamkan api raksasa.
Mataku bergeser, kurasakan satu sayapku telah hilang. Aku tidak bisa terbang, berjalan pun percuma. Api itu menemuiku, dia menatapku, melahapku seperti hewan yang berhari-hari tak pernah makan.
“Perempuan Kecil, sini!” ucap seorang bertubuh tinggi, badannya terlihat gelap karena membelakangi cahaya.
“Ya ampun, apa yang kamu lakukan?” tanya orang itu mendekatiku. Matanya mulai terlihat, besar dan melotot. Tapi aku tetap tidak bisa melihat semua bagian tubuh lain kecuali matanya, seolah dia adalah bayangan yang memiliki sepasang mata.
Mataram, September 2022
Penulis Nuraisah Maulida Adnani lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media, baik online mau pun offline. Saat ini bergiat di komunitas Akarpohon, juga mengelola perpustakaan Teman Baca, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Discussion about this post