Kata Bapak, jika kamu ingin memilih seorang suami yang baik, kamu harus mengamati tiga wajah laki-laki. Kau yang tengah mengaduk teh hangat di pagi mendung itu akan menikmati dua hal sekaligus: secangkir teh dengan asap tipis yang mengepul dan filosofi 3 wajah yang diceritakan Bapak.
9 Juli 1965
Desa itu tampak murung. Para penyadap getah sudah mengunjungi tempurung di kebun karet mereka. Sekilas tak ada yang istimewa di desa itu. Biasa saja. Akan tetapi, jika Kau ingin mencari apa yang istimewa pada desa itu, maka pergilah pada sebuah rumah. Sebuah rumah yang terletak pada dua persimpangan dua anak sungai. Sungai yang menjulur seperti dua cabang lidah ular. Di rumah itu tinggal sepasang suami-istri yang tengah bersitungkin. Suami yang menggigil dan istri yang tengah bunting mengejan.
Apakah Kau sudah menemukan keistimewaan di dalam rumah itu? Tentu saja akan kamu temukan sebentar lagi. Kesengsaraan telah membakar sandi-sandi kehidupan saat itu. Di luar sana, sesuatu mungkin sedang diperundingkan, sesuatu yang tertulis di dalam meja penguasa tengah lantung-lantang mengorek ketakutan dan hak untuk aman. Tangan penguasa memang tak bisa memahami apa-apa. Penguasa hanya tahu membikin selembar perjanjian dalam kertas kemudian mencuci tangan yang tersentuh tinta itu dengan tisu basah. Lalu selesai. Padahal kebijakan itu, kian kental terasa di tangan sepasang suami-istri yang tinggal di rumah itu.
Kau akan temukan kepedihan yang melililt-lilit di dalam rumah itu. Seorang perempuan tengah mengangkang, selangkangnya yang mulai berdarah, perutnya yang buncit itu sudah siap untuk kempis kembali. Akan Kau lihat suami yang tengah menggigil tadi. Ia bukannya tidak tahu jikalau istrinya akan melahirkan anak pertamanya. Suaranya melengking-lengking beiringan dengan suara gemerincing aliran sungai.
“Aku sudah mencoba menghubungi Mak Rubiah, tetapi beliau tengah berada di kampung seberang membantu proses persalinan istri Masdhar.” Begitulah yang ia katakan ketika istrinya mulai tak kuat lagi mengejan. Air muka laki-laki itu tampak suram. Ia mencoba mencari akal, agar anak dan istrinya selamat. Akan tetapi ia tak punya pilihan lain selain ia sendiri yang mengambil peran. Peran sebagai seorang suami yang menjelma menjadi manteri kandungan.
“Sakit, Mas. Bisakah Kau minta para tentara yang bergeriliya itu segera menembakku? Biar aku cepat mampus!” Begitulah tuturan frustasi bermunculan dari bibir perempuan yang tengah mengejan itu. Bibir suaminya tak membalas apapun selain bibir yang komat-kamit entah membaca apa.
“Mas! Aku sekarat! Coba Kau tarik yang tengah ada di tengah tubuhku ini…, Mas Apakah Kau tengah berdoa pada Tuhan?” suara itu melemah, pelan.
Saksikanlah bibir perempuan yang tengah mengangkang itu yang hampir biru keungu-unguan. Dadanya yang sudah lima jam kempas-kempis entah mengapa begitu tenang dalam diam. Sementara seorang bocah laki-laki baru saja menyembul dari rahimnya seperti matahari yang tengah keluar dari lubang awan. Sementara, suaminya yang menggigil membawa sebatang tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke dalam pangkuannya.
Suara bedil mulai saling berhambur, tapak-tapak kaki yang meloncat di bebatuan sungai mulai bergedapak-gedapam. Suaminya yang menggigil itu membawa gigilnya lari ke semak hutan. Kau takkan sanggup hidup antara beban-beban ketakutan. Takut lapar. Takut mati. Takut yang tak pernah meninggalkan rasa aman. Akan tetapi Kau harus mengikuti suami yang tengah berlari itu, supaya Kau bisa memastikan lelaki dengan kaki mengiggil itu membawa bayi laki-lakinya dengan selamat.
Suara letusan bedil kembali meraung-raung di udara. Kau harus mengikuti tapak kaki lelaki yang mengendong anaknya yang masih ada sisa-sisa darah di sekujur tubuhnya. Kemudian, terdengar suara sumpah serapah dari mulut-mulut pemegang bedil itu. Serapah mereka yang tidak berhasil membunuh ayah dan anak.
Kau harus tetap bertahan hingga cerita ini selesai. Akan Kau temukan bayi lelaki yang dilarikan ke semak adalah bayi yang kelak menjelma menjadi lelaki 3 wajah. Tentu, Kau harus berada hingga akhir cerita.
21 Mei 1998-Agustus 2001
“Apakah kamu pikir bahwa seorang lelaki dapat memiliki 3 wajah sekaligus?” Ujar Bapak di daun pintu.
“Kenapa tidak?” Jawab anak perempuannya yang kini tumbuh menjadi perempuan yang dikit-dikit demo di Ibukota. Sementara Ibu tengah mendendangkan lagu-lagu khas daerah sembari mencampurkan kepala ikan tongkol ke santan yang mengecipak dalam kuali.
Keluarga kecil itu tampak kian harmonis meski kekuasaan sedang dalam tampuk keropos akhir jabatan. Siaran radio pagi itu mengabarkan bahwa betapa semraut politik negeri ini. Isu-isu pengggulingan serta tuntutan perubahan masa jabatan tertinggi suatu negeri takklah bisa dipegang oleh satu orang seumur hidup. Akan tetapi, bagi sepasang suami-istri di desa terpencil itu yang mereka tahu hanyalah harga barang pokok kian naik, harga getah karet yang kian turun, kopi dan cengkeh yang meranggas. Yang mereka tahu hanyalah harus bertahan. Bertahan demi seorang anak perempuan yang dinantikan kelulusannya di Fakultas Kedokteran di Ibukota.
Bapak selalu menceritakan filosofi 3 wajah lelaki kepada Ibu. Wajah pertama, adalah lelaki yang mampu memenangkan hati seorang Ibu. Wajah kedua adalah wajah lelaki yang pandai mencuri hati istri. Wajah ketiga adalah wajah yang bisa melihat wajah Tuhan pada wajah anak-anaknya.
Maka akan Kau temukan, bahwa Bapak hanya mempunyai dua wajah lelaki. Wajah pertama, menyenangkan hati seorang istri dengan pasang surut krisis ekonomi. Wajah kedua, menyenangkan hati seorang anak perempuan yang diperlakukan seperti seorang peri. Maka, anak perempuannya yang bernama, Laila, ingin mengembalikan wajah kedua orangtua Bapak biar tetap menyatu seperti merah darah dan putih tulang. Membersihkan wajah itu, tentu.
Bapak memanglah telaten. Lelaki yang dapat diandalkan, yang sangat rapat pada Ibu. Bapak menemukan Ibu setelah bertahun-tahun diasuh oleh orangtua yang sama. Perhelatan yang sederhana dengan bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar setiap tahunnya. Hanya saja, Bapak menemukan hari hitam setelah dua tahun Leila mengutarakan keinginannya untuk berhenti melanjutkan kuliah. Laila, semakin sering keluyuran ikut aksi gila-gilaan bahkan makin ke sini makin kegatalan merambah aksi ke luar kota.
Agustus, memang kusut. Wajah Ibu yang pucat, jemari yang dingin, serta tidur yang tak bangun. Kau dapati Bapak dengan rambut yang sudah belang Zebra. Wajahnya terpekur, luntur. Seorang perempuan, Laila, tengah meraung-raung di tubuh Ibunya yang dingin. Perempuan itu semakin paham dengan namanya kematian. Bahwa, kematian telah merenggut 2 Ibu dari Bapak, istri dan perempuan yang melahirkannya.
Ibu wafat setelah berusaha keras bertahan. Penyakit TBC yang dideritanya membawanya pada wajah yang paling hakiki, kembali pada wajah keabadian–Wajah Tuhan.
12 Januari 2021
Apakah Kau masih ada di sini? Kau hampir sampai di akhir cerita. Pada hari itu, di desa itu, tampak perubahan sana-sini seperti perempuan mandul yang kini rajin bersolek. Tak Kau temukan lagi, suara-suara gaduh di radio. Tak Kau temukan lagi, Laila, yang keluyuran kian kemari.
Orang-orang lebih cenderung dengan kemajuan teknologi. Kendaraan roda dua, televisi, dan handpone sudah menjadi barang biasa yang hadir di setiap rumah. Meski, politik negeri masih belum baik-baik saja. Meski Laila, sudah menjadi seorang dokter paru-paru yang handal yang belum memiliki suami. Meski Covid-19 masih menggila. Negeri ini memang tidak pernah baik-baik saja.
Akan tetapi, Bapak semakin uzur seakan seperti matahari petang yang akan tenggelam. Sementara, Laila, tampak sudah menjadi perempuan karir, seorang dokter paru yang masih betah mengurus pandemi daripada dirinya sendiri.
Setiap kali, Bapak bertanya, kenapa Ia masih pingin hidup sendiri, ia akan pandai membalikkan tanya itu. Kenapa Bapak sejak kematian Ibu tak pernah tertarik lagi beristri? Itu bukanlah alasan satu-satunya yang dipegang Laila. Bukan. Sosok Kais selalu membayangi hari-harinya. Kais adalah lelaki yang memiliki tiga wajah, versi Bapak. Lelaki yang sayang, pada Ibu, Istri dan anak. Iya, terkaanmu benar. Kais adalah calon mantu idaman. Lelaki yang ditemukan Laila dalam aksi berdarah dulu? Bagaimana mungkin Laila melihat 3 wajah lelaki pada wajah lain sementara dokter yang menjadi rekan kerjanya juga merupakan lelaki 3 wajah lain yang ia cari?
“Bapak melupakan sesuatu. Bagi seorang perempuan yang sudah menemukan seorang lelaki 3 wajah. Itulah lelaki yang sebenarnya Kau cari, Nak!” Jika Kau sudah menemukannya, ikatlah dia pada hatimu.”
Kau semakin mengerti kenapa Bapak tak lagi beristri. Penyebab utamanya adalah ia telah menemukan 3 wajah perempuan sebelum ia dilahirkan. Awalnya Kau pikir Bapak memilih Ibu sebagai pendamping hidup karena sudah menemukan 3 wajah dalam wajah Ibu. Penyangkalan yang salah! Dalam dendang gigil berpuluh tahun lalu, seorang lelaki merenggut keharmonisan rumah tangga Masdhar.
“Aku adalah lelaki yang lahir dari hasil perselingkuhan. Ayahku bermata sipit, dan Ibuku pribumi asli,” Kau tercekat, Kemudian Bapak melanjutkan,
“Dan, aku mencium ada bibit yang tengah tumbuh di rahimmu. Tetapi, bukan Bibit dari Kais. Anak siapa yang tumbuh di sana? Apakah Kau menemukan 3 wajah pada dosen tua itu?” Ujar Bapak yang kemudian menyeduh sisa teh di cawanmu. Jadi, wajah mana yang telah Kau temukan?
“Aku menemukan wajah merah dan putih pada jantung yang berdetak di rahim ini.” Ujarmu sembari menyeruput setitik air teh penghabisan yang tinggal di cawanmu
“Aku kehilangan wajah pertiwi dari wajahmu, Nak. Wajah ini, kenapa harus mengulang cerita perselingkuhan yang sama, Laila?” balas Bapak yang memilih mengamati dua rumpun matamu yang mulai basah.
Penulis, Edna. S, berdomisili di Sungai Lundang, Pessel, Sumbar. Ia merupakan alumnus Universitas Negeri Padang. Ia Menulis esai, cerpen, dan resensi. Karya-karyanya pernah dimuat berbagai media seperti; Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Scientia.id, morfobiru.com, BMR FOXS Indonesia, dan Waspada. Ia merupakan salah satu anggota di Rumah Bercerita. Ia dapat disapa via FB: Edna Susanti.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post