“Kita tak lagi saling mencinta, kau telah selesai dengan dirimu. Aku masih belum selesai dengan diriku. Kita tak pernah lagi bertemu. Bahkan dalam puisi”
Maulidan Rahman Siregar, Pilihan Ibu
Ibu sudah bilang kalau para sastrawan itu bangsat semua, anjing semua, tapi kau nekat juga, berani juga. Sekarang kau tau kan, mereka hanya pakai tubuh cantikmu untuk bahan bikin puisi belaka. Setelah cantikmu itu berkurang, atau mungkin hilang? Mereka akan melirik tubuh cantik lain untuk digenit-genitkan dengan kata-kata yang cenderung menyedihkan. Diberi bumbu manis, para penulis biasa macam kau itu bisa mati berdiri dibuatnya. Atau setidaknya, kau kagum. Kagum pada sastrawan itu yang menjijikkan. Huek.
Aku tau semuanya. Mereka sering jalan-jalan itu bukan karena puisi yang mereka tulis, melainkan karena kebetulan saja ada uang. Atau, dapat pinjaman uang dari temannya. Atau ada yang kasihan sama dia. Pemerintah? Bapakmu pemerintah! Pemerintah tak pernah ada uang buat sastrawan-sastrawan kere. Honor menulis pun sebenarnya tipis. Aku tau semuanya. Semuanya!
Kau pilih pula si Rahmat. Apa hebatnya dia? Menulis novel? Sampah. Anak-anak instagram juga itu kerjanya. Titik. Pokoknya kau harus sama Samsul. Atau minimal sama Bambang-lah. Samsul mapan, punya rumah. Dan yang paling penting dari itu semua, dia guru agama. Bisa memberikan kau jalan yang bear, mana yang kurang. Sastrawan-sastrawan itu babi aja dimakannya. Nanti kutelpon dia untuk datang ke rumah. Kau pakai jilbab baru yang kubelikan kemarin.
Jika kau nekat juga sama si Rahmat, kau bayar sendiri iuran BPJS yang selama ini kutanggung itu. Kau cuci pula sendiri bajumu, Lastri kusuruh memisahkan baju-bajumu. Uang kuliah kau bayar sendiri. Siapa suruh kau ambil S2? Hapemu kutahan. Main gimbot saja kau lagi. Ada paham kau Marni? Paham kau kan, sama yang kubilang? Aku ini ibumu, bukan orang lain. Aku paham apa yang harusnya anak-anakku dapatkan. Abang-abangmu buktinya, gendut-gendut kan anaknya? Lagipula, kau kubesarkan gak pakai angin. Aku ibumu. Kau pantas bahagia.
***
Menjadi wanita biasa di tengah-tengah setiap hari media bisa bikin seseorang jadi idola adalah suatu perkara yang sulit. Marni apa adanya. Pakai lipstik jarang. Sekalinya pakai, itu juga tipis. Mandi baginya hanya soal wajib dan tidak. Kalau wajib, ya mandi. Kalau tidak, ya tidak. Setahun belakangan ia mencintai Sapardi, dan sialnya Sapardi telah tua. Waktu mempertemukan Marni dengan Rahmat, sastrawan muda ibukota yang kalau tidak ada puisinya di koran Minggu saban Minggu, bukan Rahmat namanya. Marni mencintai dua baris puisi Rahmat sampai mati: cintaku padamu tidak pernah ditakut-takuti oleh mati// ia hidup di dalam mati//.
Marni tau, itu puisi bukan miliknya, ia dapati itu di koran Nasional yang jutaan eksamplar dibeli orang tapi masih menangisi senjakala media cetak. Tidak bisa tidak, sejak membaca puisi itu, setiap puisi adalah Rahmat, dan akan selalu begitu. Chairil boleh hidup lagi, Jokpin boleh memilih menjual biskuit saja, Sapardi boleh begoyang sesukanya. Marni tidak peduli.
***
“Buat aku, status itu tidak penting. Aku udah tau kok, kalau Mas Rahmat sudah punya pacar. Lagian, nanti juga aku bakalan sibuk jadi pegawai kantoran. Yang kubutuhkan cuma kebahagiaan dan cinta. Semacam matahari yang tenggelam di kala senja. Persetan ada kopi atau musik indie. Selama Mas Rahmat bisa bahagiain aku, manjain aku, bikinin aku puisi sebiji sebelum tidur, aku bisa kok”
“Kau mau apa, Marni?”
“Seluruh puisi yang kau tulis, Mas”
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kalimat; yank, udah makan belum, pap dong fotonya, dan yank udah ibadah belum? Dan kau ngeri sedemikian rupa.”
“Maaf.”
***
Cinta memang tak pernah selesai bila dengan tangan belaka. Marni dan Rahmat bertemu di acara bertajuk Malam Puisi dan bercinta sekuat tenaga sesudah salat Isya. Rahmat mengakui, bahwa ia memang sedang dekat dengan Isyana, Sandrayati, Pevita dan Rara. Menjadi orang kelima bagi Marni untuk sastrawan betulan macam Rahmat adalah hal yang jauh dari soal celaka. Malam memeluk mereka berdua. Mereka lebur bagai puisi-puisi cinta yang saling menyusun. Sesekali Rahmat jadi titimangsa, sesekali Marni. Mereka bertempur bersama angin. Saling tembak menembak.
“Tembak di luar ya, Mas?”
“Jangan hadiahi aku banyak peluru, Mar. Jangan!”
***
Saya kehabisan uang. Teman saya yang bisa saya andalkan, meminjamkan saya uang. Saya terpaksa meminjam setelah mendapat telepon dari ibu, untuk menjemput adik di rumah sakit, dan mengantarkannya lagi ke pesantren. Niat awal, saya meminjam 50 k, dan syukurnya saya dapat pinjaman 100k.
Uang yang dipinjamkan teman saya pagi itu, saya pergunakan untuk beli minyak motor, rokok, dan karena jarang bertemu, saya berencana untuk memberikan adik sedikit uang. Menunggu antrian obat, adik ternyata tidak langsung mau diantar ke pesantren, ia ingin ke rumah, bertemu ibu.
Ini membuat saya kesal. Sebab, semakin sering ia ketinggalan pelajaran di pesantren, tentu semakin sedikit pelajaran yang ia terima, lagipula, di rumah, adik saya biasanya hanya akan menonton televisi. Kekesalan saya berlangsung cukup lama, sampai mengantarkannya lagi ke pesantren (setelah mengantarnya ke rumah). Saya jadi lupa dengan keinginan untuk memberinya uang jajan. Setibanya di rumah mau magrib. Saya merokok agak beberapa batang dan menaruh sisa uang pinjaman teman itu di lantai, sambil teringat kembali keinginan untuk memberikan adik uang jajan. Malamnya, saya sudah tak menemukan uang itu lagi.
Masih saya cari sampai pagi, namun belum juga ketemu. Saya kehabisan uang (lagi), dan tidak mungkin lagi meminjam uang teman saya, karena saya malas. Lebih baik saya tidur-tiduran saja sambil memikirkan nasib negeri ini 10 tahun yang akan datang. Tiba-tiba, saya ingat Marni. Saya telpon aja. Marni belum tidur ternyata.
“Mar, apa hubungannya pertanyaan “apa kabar” dengan tidak ada uang?” Saya mendengar samar, hembusan nafas Marni yang nyaris membuat ngilu.
“Honor cerpen belum cair? Puisi?”
“Di waktu akhir, hari-hari berputar sekitar untuk mengisi kesepian, bisa dengan tangisan, bisa pula dengan pelukan, dan jatuhnya pada satu titik: kematian, yakni pada suatu tempat di mana beberapa kebahagiaan dimulai pelan-pelan. Sebelum itu, manusia sibuk dengan urusannya masing-masing, binatang-binatang masuk tv, dan tumbuhan tumbang karena sengatan langit. Pelangi datang, namun sayang, manusia sudah mati semua.”
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Tak semuanya selesai dengan puisi, Marni. Aku sayang kamu.”
“Rahmat, kau kehabisan uang lagi? Sedang apakah Pevita, Isyana, Rara dan Sandrayati?”
“Aku ingin melewati banyak malam, bersamamu, Marni. Hanya bersamamu. Keempat wanita itu sudah kupinjamkan”
“Tulis puisi, Rahmat. Tulis…”
***
Ibu adalah orangnya yang jika mau bisa memandikan jutaan lelaki saat bayi, juga adalah orangnya yang masih pagi, sudah liat kompor, sekalipun lelakinya tidak di rumah. Ibu adalah orangnya yang cemas jika lelakinya tidak mau makan dan tidak mau ngantuk. Kepada mereka yang tersebut ibu, oke. Pergilah ke sana! Ke telapak kakimu, yang dianggap surga oleh kebanyakan lelaki. Kecuali saya yang lantang dengan sedikit serius dan bilang: surga di telapak kaki ibu, padahal palsu.
Tapi bukan itu yang membuat saya tidak suka dengan pilihan ibu, saya hanya ingin jadi perempuan seutuhnya. Merdeka, bebas menentukan siapa yang akan menikahiku. Bebas menentukan ke mana saya pergi dan berlabuh.
Akan tetapi, beberapa orang menikah dan tidak bahagia. Beberapa orang menikah dan kemudian cerai. Beberapa orang tidak menikah-menikah. Beberapa orang tidak menjadikan nikah untuk bahagia. Beberapa orang sudah bahagia dengan nonton bokep. Beberapa orang sudah bahagia dengan merancap. Beberapa orang menikah punya anak dan anaknya durhaka. Beberapa orang menikah dan tak punya anak. Beberapa orang ingin menikah tapi tidak ada yang mau. Beberapa orang mau menikah tapi tidak bisa. Beberapa orang mau menikah tapi pasangannya tidak ada. Beberapa orang mau menikah dalam doa. Beberapa orang karena sibuk kerja dan cari uang lupa menikah. Beberapa orang menikah kemudian bingung. Beberapa orang menikah dengan jarak umur yang terlalu jauh. Beberapa orang nikah muda. Beberapa orang menikah setelah empat puluh tahun sendiri. Beberapa orang menikahi keluarganya sendiri. Beberapa orang menikahi ibunya. Beberapa orang dinikahi bapaknya. Beberapa orang beranggapan, daripada menikah, lebih baik main band. Beberapa orang beranggapan, daripada menikah lebih baik ke lokalisasi. Beberapa orang menikahi lebih dari satu perempuan. Beberapa orang menikahi lebih dari satu laki-laki. Beberapa orang tidak setuju kalau ada yang menikahi lebih dari satu perempuan. Beberapa orang tidak setuju kalau ada yang menikahi lebih dari satu laki-laki,
Beberapa perempuan beranggapan, kalau berbagi suami adalah ibadah. Beberapa perempuan beranggapan, itu sebuah kemustahilan. Beberapa orang bilang menikah adalah sunnah nabi. Beberapa orang bilang bodoamat. Marni semakin bingung dengan pilihannya. Rahmat tiada duanya, akan tetapi ibu tidak setuju. Samsul tidak jelek-jelek amat, uangnya pun banyak, pandai mengaji pula, rajin ibadah. Tapi, apakah cinta bisa diselipakan dalam ibadah. Adakah cinta dalam doa-doa? Marni tidak menjawab pertanyaannya. Di kamar, lagu-lagu senja yang terputar berulang akhirnya membuat Marni menutup matanya.
***
“Pegiat literasi atau apa saja kau menyebutnya, sejatinya adalah orang-orang yang butuh makan juga. Ia sejatinya boleh saja protes pada negara ketika periuk nasinya diganggu atau dirampas. Hanya saja, lakukanlah protes itu dengan cara yang elegan, dengan cara yang tidak sempat dipikirkan oleh orang-orang yang tidak melek literasi. Seperti menilap sedikit uang pemerintah untuk kegiatan literasi yang kau kelola tanpa pernah ketahuan, berjualan buku repro, dan bikin kelas menulis online berbayar.
Jika semua itu terus-terusan tidak diketahui khalayak non sastrawi, usaha itu bisa dilanjutkan dengan bikin jualan merchandise seperti gantungan kunci, kaos, alat tulis, dan hal-hal semisalnya yang berkaitan dengan literasi. Hal ini akan membuat kau dianggap peduli sama masyarakat, karena kau terus bergerak. Mereka tidak menyadari kalau kau ternyata mendapatkan keuntungan.
Keuntungan dari itu semua bisa kau tabung, dan setelah terkumpul banyak uang, kau bisa membuka kafe, atau katakanlah tempat nongkrong. Untuk menghidupkan itu semua di tahap awal, kau bisa mengundang anak-anak, pemuda-pemudi tanggung yang suka literasi tapi tidak tahu apa-apa untuk datang ke kafe. Sebulan dua bulan, jika kafe berjalan, kau pasti punya uang yang lumayan. Nyatanya Rahmat tak begitu. Waktu diundang ke Yogyakarta kemarin, ia meminta uang pada teman-temannya. Lapak baca yang ia kelola di jalan juga biar dia punya nama. Kau pikir aku tak tau itu semua, Marni? Ayolah, ibu hanya ingin kau bahagia. Jangan Rahmat. Jadi penyair kok kere? Aku bisa terima kau tak makan apa-apa, kalau anakmu nanti? Astaga. Apakah masih jamannya menanak batu demi mengusir tangis lapar anak? Pikirkan Marni, pikirkan!”
“Ibu sepertinya pernah menulis banyak puisi, ya? Marni mencoba memecah hening yang bermain di jendela.
“Puisiku, kau, Marni. Anak-anakku pantas untuk bahagia.”
***
“Halo beb, kita putus.”
“Putus lagi cintaku, putus lagi, jalinan kasih…”
“Apa? Kau sudah tak bisa bikin puisi lagi? Benar kata ibuku. Kau sampah, Mat. Sampah!”
“Kita tak lagi saling mencinta, kau telah selesai dengan dirimu. Aku masih belum selesai dengan diriku. Kita tak pernah lagi bertemu. Bahkan dalam puisi”
“o”
“y”
2020
Biodata Penulis
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Belum gemar menulis dan membaca. Sekarang lebih suka bikin arsip. Tidak begitu suka kucing.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post