Menurut saya begini. Negeri sejuta pesona ini secara alamnya memang sudah sangat mempesona.
Sulthan Indra
Menarik jika kita amati tulisan I Love Painan tepat di alun-alun taman terbuka hijau kota Painan, tepatnya di depan masjid raya Painan. Kata ‘love’ diganti dengan gambar hati berwarna merah. Jika malam tiba, menyalalah lampu-lampunya yang menjadikan tulisan itu berwarna cerah.
Painan, tepatnya Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar. Saat ini disebut-sebut sebagai ‘Negeri Sejuta Pesona’. Jika dari struktur negerinya, tidak berlebihan memang. Mengingat masih banyak potensi wisata yang masih belum terbuka di negeri itu. Entah di bagian perbukitannya yang menyimpan beragam ‘Timbulun’ atau air terjun, maupun di wilayah sepanjang pesisir pantainya. Belum lagi objek wisata sejarah, baik itu sejarah kebudayaannya maupun sejarah penjajahan yang menyimpan rapi beberapa puing peninggalan.
Lalu, apakah berlebihan dengan tulisan di atas? Menurut saya tidak, hanya saja kurang tepat. Mengingat Pesisir Selatan memiliki kultur, bahasa dan budaya lokalnya sendiri. Alangkah arifnya jika cara mempromosikan itu dengan menggunakan kedaerahan; semisal bahasa, mungkin. Sebagai penyambutan selamat datang kepada pengunjung yang datang atau kepada perantau yang pulang kampung.
Wisata sebenarnya bukan saja bentuk alamnya yang bisa dipromosikan, menurut saya kurang tepat juga tanpa mengekspos kultur dan budaya lokal. Malah hal itu bisa menjadi sebagai penunjang utama wisata itu sendiri. Tentu termasuk juga di dalamnya kuliner dan kesenian. Kita sama mengetahui, bagaimana melekatnya ‘randang lokan’ di balik nama Painan atau Pesisir Selatan sebagai kekayaan lokal yang tak pernah bisa dihindari selera siapa saja.
Pariwisata sebenarnya mengundang pengunjung; baik itu turis asing maupun lokal untuk datang, menginap dan berbelanja kemudian pulang membawa oleh-oleh khas suatu daerah kunjungan dan ketika mereka sampai di tempat masing-masing, ada kerinduan sebagai oleh-oleh yang tak pernah diperjual-belikan di mana pun. Bukannya datang pagi, berkunjung keliling objek wisata lalu pulang dengan segala keletihan yang dibawa. Itu namanya kunjungan, bukan berwisata. Karena, tidak berdampak kepada pemasukan daerah terlebih lagi kepada masyarakat lokal.
Mengundang pengunjung khususnya turis asing sebagai pemasukan utama dari promosi daerah, tidak melulu dengan menggunakan bahasa Inggris, yang dengan serta merta mereka dari luar akan datang. Sebab, yang dicari dari pengunjung masuk ke suatu daerah adalah keunikan yang terdapat di daerah itu sendiri. Selain bentuk alamnya, bisa jadi budayanya, bahasa, kuliner, keramah-tamahan penduduk setempat, souvenir dan lain-lain yang berhubungan dengan daerah tersebut sebagai daya pikat yang tidak bisa didapat selain dari daerah yang mereka kunjungi. Imbasnya, hal itu mampu mendongkrak penghasilan daerah, tentunya keuntungan tersendiri bagi penduduk setempat.
Menurut saya begini. Negeri sejuta pesona ini secara alamnya memang sudah sangat mempesona. Sayangnya tidak dari soal pengelolaan wisatanya. Apakah dengan menggunakan bahasa Inggris itu turis asing sering berwisata di Pesisir Selatan? Maksud saya bukan turis asing yang bekerja di Pesisir Selatan lalu ketika libur kerja, mereka berkunjung. Tidak jauh beda dengan penduduk lokal yang menghabiskan senja di daerah wisata sekedar melepas penat.
Mempromosikan daerah atau keindahan suatu alam terkadang juga bisa melalui budaya lokal. Berkaca kepada Bali misalnya, ketika kita baru saja mendaratkan kaki di bandara Ngurah Rai, kita akan disuguhi dengan nuansa Bali. Baik itu dari segi pelayanan sambutan, list daerah wisata, budaya, bahasa bahkan sampai kepada musiknya. Semua betul-betul membuat kita memasuki Bali.
Apakah kita harus seperti Bali? Tentu tidak. Bali tetaplah Bali dengan segala lokalitas dan keindahan budaya yang dimilikinya, setiap daerah memiliki khas dan kelebihan masing-masing. Saya pernah membawa pengunjung dari Bali ke Pesisir Selatan. Menurut mereka, keindahan Pesisir Selatan tidak kalah dengan Bali. Apa salahnya jika sedikit berkaca kepada Bali lalu mencoba mengkolaborasikan cara promosi daerah itu dengan lokalitas Pesisir Selatan. Toh, begitu seringnya pejabat bahkan anggota dewan berkunjung ke Bali. Entah itu dalam kapasitas kunjungan kerja atau studi banding. Setidaknya ada oleh-oleh yang dibawa dari kunjungan itu untuk meningkatkan geliat pariwisata Pesisir Selatan.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Selain cara promosi, tentu juga dengan memberikan pelatihan pengelolaan wisata daerah. Baik itu kepada pihak pemerintah maupun kepada masyarakat sekitar objek wisata. Mulai pengelolaan tata wisata, manajemen, pelayanan, garansi keamanan dan kenyamanan sampai kepada soal kebersihan yang nantinya akan membuat pengunjung mampu berlama-lama di Pesisir Selatan. Setidaknya menginap. Dengan mereka menginap, tentu bukan saja pengusaha penginapan yang diuntungkan, masyarakat pedagang pun akan terkena imbas keuntungan.
Kembali kepada tulisan I Love Painan, yang kata ‘love’ diganti gambar berbentuk hati. Apakah anggaran yang digunakan untuk membuat itu sudah mampu memberi dampak signifikan untuk mendatangkan pengunjung berlama-lama, berbelanja dan menginap di Pesisir Selatan? Selain tempat selfie warga Pesisir Selatan itu sendiri setelah mereka berolahraga, masyarakat yang sejenak beristirahat dari perjalanan jauh atau bahkan keluarga pasien yang melepas penat ketika sehabis berkunjung ke rumah sakit.
Biodata :
Sulthan Indra, Ketua komunitas sastra Rabuang Gadiang, aktivis lingkungan, penulis, pemerhati budaya dan kesenian asal Pesisir Selatan.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post