Kocak adalah penulis catatan perjalanan. Ia banyak menghabiskan waktunya mengunjungi kota-kota. Baik yang sering dikunjungi orang, maupun yang tak pernah dikunjungi orang. Kocak adalah perawat kenangan yang baik. Duduk bersamanya agak beberapa jam, kau akan dihadiahi sejumlah cerita yang sulit kau dapatkan dari orang lain. Bukan Kocak namanya jika tak punya cara penyampaian cerita yang beda. Ia sangat memiliki ciri.
Nama Kocak bisa saja kau sejajarkan dengan nama-nama penulis lain kebanggaan bangsa ini. Eka Kurniawan dan As Laksana di cerpen, Leila Chudori dan Ayu Utami di novel, Nirwan Dewanto dan Saut Situmorang di puisi, dan Kocak dan Kocak yang menulis seperti Kocak. Penulis catatan perjalanan lain bukunya seperti yang dibuang orang di jamban, jauh dari kata menarik. Menarik becak?
Pernah saya melihat tulisan Kocak tentang Ambon seperti sedang melihat puisi, pernah pula saya membaca tulisannya soal paus, komodo, dan hewan dan manusia di Timur, tapi ia tulis dengan ke barat-baratan. Kocak memang penulis yang sulit ditebak. Tiap kata yang keluar dari tangannya, nyaris seperti puisi. Bisa dinikmati berkali-kali.
Selain menulis, Kocak juga pandai memotret. Hasil jepretannya pernah ia pamerkan dalam sebuah pameran foto di Taman Budaya Sumatera Barat dan dapat banyak respon positif dari kritikus dan orang-orang yang hanya kebetulan lewat –seperti saya. Meski yang keluar dari mulut Kocak ketika selesai pameran hanya “pantek-pantek-pantek” sebanyak yang ia bisa, bagi saya pameran yang ia hadirkan tidak jelek-jelek amat.
Lewat pameran Kocak, tukang bakso bakar tak sekadar lewat. Mereka berhenti dan memberikan angin segar lagi harum di Taman Budaya Sumatera Barat ini, dan dengan diskusi yang digagas sineas muda atas pameran Kocak, bikin perut-perut sebagian sastrawan terisi.
Hadir dalam pameran itu, beberapa sineas muda potensial Minangkabau yang sibuk pada bidang masing-masing. Tukang opok, penerima hadiah tetap Pemerintah Daerah, penyair dan cerpenis koran-koran utama, dan beberapa personil band indie. Hadir pula, penyair-penyair kelas rendah yang mulai belajar akan hidup ini dan fokus pada hal-hal sastrawi. Menyenangkan sekali.
Keahlian memotret Kocak dapati sejak ia duduk di bangku kuliah, dan memang, keahlian Kocak dalam bidang akademik hanya sekadar duduk. Ia lebih sering berkegiatan di luar, salahsatunya teater. Maaf, Kocak adalah aktor yang buruk. Menyadari itu, ketimbang jadi lakon buruk untuk naskah buruk –dan hidup buruk, Kocak lebih suka jadi orang di belakang layar. Hampir seluruh pertunjukan teater yang ia saksikan, termasuk dalam naskah teater yang ia sutradarai, Kocak selalu jadi orang yang memotret lakon-lakon.
Foto teater paling menaik yang ia abadikan adalah ketika si aktor di luar naskah yang ia pentaskan secara tak sengaja menggaruk pantat bagian belakangnya yang sedang terkena lampu. Foto itu sempat jadi halaman pertama sebuah koran, dan belakangan menimbulkan konflik. Tapi, bukan Kocak namanya kalau tidak bisa menyelesaikan hal sepele seperti ini.
Ketika gabut melanda, Kocak jadikan foto-foto yang ia potret ke dalam bentuk catatan pertunjukan dan ia kirimkan ke koran, dan terbit. Meski lebih sering telat, honor tiap tulisan yang ia ambil selalu ia sisihkan sedikit kepada anak yatim. Yap benar, dirinya sendiri!
Setelah tak kunjung tamat dari kampus, teater sudah bukan ranah Kocak lagi. Dengan segudang cerita di kepalanya, Kocak jadi lebih sering jalan-jalan, dan itulah kiranya yang bikin ia sekarang jadi penulis catatan perjalanan. Kampus isinya orang tolol minim kreativitas, tempat profesor titit jual beli ilmu dan gelar, sebut Kocak dalam sesi podcast beberapa waktu lalu.
Apa saja yang Kocak tulis, dan apa yang keluar dari mulutnya, adalah catatan perjalanan. Kocak adalah penulis penuh waktu.
Namun, semua berubah sejak Kocak ditampar kenyataan. Kemenakan yang paling ia cintai dihabisi polisi karena kedapatan membawa narkoba dan perempuan celaka yang kebetulan adalah istri polisi itu sendiri. Yang tertinggal dari Kocak sekarang adalah amarah. Bagaimana ia harus melunaskan dendam, memberi kekuatan pada yang ditinggalkan, dan belajar silat hingga satu peluru pun tak bisa menembus kulitnya. Memberikan keadilan pada kemenakannya.
Bagaimana tidak, kemenakannya yang masih di bawah umur itu mati karena ulah perempuan celaka itu –seorang perawat yang menemukan kembali cinta masa kecilnya lewat wajah kemenakan Kocak saat kemenakan Kocak tak sengaja jatuh persis di depan rumah si polisi. Mobil yang serampangan parkir tak sengaja ditabrak kemenakan Kocak, dan dia, si perempuan celaka itu memberikan pertolongan pertama layaknya seorang ibu.
“Maaf, ibu taruh mobilnya terlalu menghadap bahu jalan. Mungkin itu yang bikin kamu jatuh, jalanan kecil pula. Sekali lagi, maafkan ibu. Apa yang perih, Nak?” kata perempuan itu.
“Saya tidak apa-apa, Bu. Ini hanya luka ringan.”
“Awalnya mungkin tak terasa, Nak. Untuk sementara lukanya sudah ibu obati. Ini ada uang jajan sedikit, dan ini nomor WhatsApp ibu, nanti setelah sampai di rumah, segera hubungi ibu, ya.”
“Baik, Bu.”
***
Kocak sudah menyusun segalanya. Pak polisi jarang di rumah. Tugas negara banyak. Memasang baliho anak presiden, mengurus pemilu, mencegah begal, dan sosialisasi ini itu. Banyak pokoknya. Pak polisi pulang hanya untuk mencium istrinya jam 21.39 wib dan lanjut tidur. Besok paginya langsung apel pagi setelah makan pagi. Meski tanpa cinta, mereka memang beranak juga.
Pada Sabtu jelek, Kocak mendatangi rumah polisi berpura-pura sebagai pengemis. Pada Minggu yang sepi, Kocak mendatangi rumah polisi berpura-pura sebagai teman polisi. Pada Senin yang ramai, Kocak ke rumah polisi bersama beberapa temannya mengaku sebagai utusan pemuda.
Kocak makin sering ke rumah polisi yang membunuh kemenakannya itu, meski, belum ada satu pun rencana untuk melaksanakan aksi balas dendam. Dada perempuan celaka yang besar bikin Kocak jadi tolol, ia malah jatuh cinta.
“Kakak, Sheila on 7 mau konser. Kamu ada waktu?” kata Kocak saat penyamarannya mulai dicurigai perempuan celaka itu.
“Boleh. Kapan?”
“Minggu depan aku jemput. Beri senyum paling indahmu, dan kenakan seragam perawat keluaran terbaru biar suamimu tak curiga.”
“Siap.”
“Kamu lebih suka pisang apa jeruk?”
“Aku suka kamu!”
***
Setelah beberapa kali main ke hotel bersama perempuan celaka itu, Kocak yang dulu bukanlah Kocak yang sekarang. Kocak selalu hadir dengan puisi-puisi cinta dan cerita-cerita nakal lagi lucu. Setiap kali main, baik di kontrakan Kocak maupun ketika mereka liburan berdua, Kocak tak pernah ketahuan. Setiap kali main, perempuan celaka itu tak pernah hamil. Ajaib.
Perempuan celaka itu masih menyiapkan makanan setiap pagi buat polisi sebelum ia berangkat apel. Perempuan itu masih menyerahkan keningnya setiap pukul 21.39, perempuan itu tetap membesarkan anak-anak. Perempuan itu masih melewati hari-harinya secara biasa, hanya saja sekarang ia mulai rajin membaca buku.
Bedanya sekarang sudah ada Kocak yang akan selalu menemaninya saat suaminya tugas negara.
“Boleh aku bunuh suamimu?”
“Jangan, nanti kau makan apa? Kau kan pengangguran.”
Memang, Kocak yang dulu bukanlah Kocak yang sekarang. Kocak sudah melupakan semua mimpinya. Ia sudah membatalkan mimpinya jadi penulis traveling luar negeri. Sekarang hidup baginya cuma soal menunggu, ditelpon dan dijemput, lalu main bersama perempuan celaka itu. Keren benar. Siapa yang tak mau?
Biodata Penulis
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang 03 Februari 1991. Menulis puisi, cerpen dan artikel musik. Bukunya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang (2018), dan Menyembah Lampu Jalan (2019).
Kontak: 0821-9042-5551 (WhatsApp)
Media Sosial
Facebook: Maulidan Rahman Siregar
Instagram: @maulidanrahmansiregar
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post