
Pagi yang memang terasa sedikit dingin, sementara sehimpun cahaya matahari pagi yang belum hangat menembus sela-sela rumah kayu itu. Kehidupan memang serba sulit, apalagi ketika masa pandemi ini. Ibu Tuti mulai kehilangan akal untuk mencari uang entah ke mana, sebab dia seminggu lalu baru dipecat dari pabrik. Pandemi memang banyak merenggut pekerjaan, terutama pekerjaan buruh pabrik. Demi si Penanam Modal (kaum kanan) tidak bangkrut, maka salah satu solusinya ialah pemecatan beberapa buruh. Ibu Tuti adalah janda yang harus menghidupkan sepasang anaknya yang perempuan bernama Gege dan anaknya yang laki-laki bernama Zedra. Dua anak yang sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di Desa Suka Mundur ini. Desa yang sesuai dengan namanya, tak pernah maju dari peradaban, terutama dari pola pikir.
“Ibu, aku lapar, pagi ini aku ingin makan lontong, Bu!” ucap Gege, sementara ia memandang ponsel pintarnya, sebab dia sibuk dengan media sosialnya untuk mem-posting kehidupannya yang seolah-olah glamor, tapi nyatanya hanya kepalsuan yang semu.
“Iya, Ge, tapi Ibu cuman ada uang 50.000. Uang ini adalah uang satu-satunya yang tersisa di dompet Ibu, Ge. Kalau Ibu belanjakan juga uang ini, takutnya kita tidak bisa makan esok hari atau dua hari dan seterusnya, Ge.”
“Iya, tapi aku sudah seminggu ini tidak makan lontong, Bu. Bahkan tiga hari belakangan ini kita cuman makan nasi sama kecap aja, tanpa lauk, Bu.”
“Iya itu sudah lebih dari cukup, Ge. Kamu ‘kan tahu sendiri bahwa Ibu baru saja dipecat dari pabrik tempat Ibu bekerja. Pabrik itulah satu-satunya penopang ekonomi kita, apalagi setelah Bapak kamu meninggal dunia.”
“Iya, tapi ‘kan Ibu bisa cari kerja yang lain atau buka usaha apalah, yang penting makan kita enak, dan Ibu bisa terus belikan kuota internet, supaya aku bisa terus main game online dan media sosial, Bu.”
“Nak, mencari kerja di Desa Suka Mundur ini susah, Nak. Hanya pekerjaan sebagai buruh pabrik itulah satu-satunya pekerjaan yang ada di desa ini, Nak.”
“Ya, mau bagaimana lagi, pokoknya pagi ini aku mau makan lontong, titik!” ucap Gege dengan suara keras kepada ibunya.
Ibu Tuti menarik napas perlahan, sebab biar dia tidak emosi dan mengeluarkan nada yang keras juga ke anaknya. “Baiklah ini bawalah uang 50.000 ini ke warung Ibu Izah dekat simpang Desa Suka Mundur ini, beli lontong dua bungkus saja, buat kamu dan juga buat kakakmu si Zedra.”
“Lah, Ibu tidak mau makan lontong pagi ini?”
“Tak usah, Nak. Biarlah pagi ini Ibu makan nasi sama kecap saja. Jangan lupa kembaliannya 30.000 lagi, ya! Uang 30.000 itu rencana ingin Ibu beli tiket bus ke Kota Suka Maju, Ibu ingin mencari pekerjaan di sana. Semoga ada yang mau menerima Ibu bekerja di kota, Nak.”
“Nah, seperti itu dong. Kalau begitu, aku ke warung lontong Bu Izah dulu, Bu.”
***
Aktivitas di desa ini tidak begitu terasa, lebih banyak mengarah pada sepi. Begitu juga di warung Ibu Izah yang masih lengang, hanya ada dua orang yang sedang makan lontong ketika pagi ini di warung tersebut.
“Ibu Izah, aku ingin beli dua porsi lontong, dibungkus, ya,” ucap Gege pada ibu Izah.
“Eh, ada Gege, sudah lama tak kelihatan, siap akan Ibu bungkus dua porsi lontong buat kamu,” balas Ibu Izah.
“Hmm, ngomong-ngomong kenapa belakangan ini kamu sudah jarang mampir ke warung lontong Ibu, ya?” tanya Ibu Izah.
“Iya, Bu. Aku akhir-akhir ini memang sudah jarang ke warung ini, sebab akhir-akhir ini aku lebih sering makan di warung yang lebih mewah dari warung lontong Ibu Izah yang ketinggalan zaman ini.”
“Hmm, dasar. Memangnya ada warung yang mewah di Desa Suka Mundur ini, Ge? perasaan tak ada.”
“Ada kok, Ibu saja yang tak tahu perkembangan Desa Suka Mundur ini,” balas Gege.
“Ya elah. Desa ini saja jauh dari yang bernama kemajuan, Ge. Sesuai dengan nama desa ini yaitu Desa Suka Mundur, berarti memang sudah menjadi takdir bahwa kemajuan tak pernah didapatkan pada desa ini. Coba Gege pikirkan pakai logika sehat. Mana mungkin desa yang jauh dari perkotaan ini mendapatkan kemajuan, tak mungkin, Ge. Apa untungnya coba warung mewah didirikan di desa yang masih jauh dari kata kemajuan ini.”
“Tak jelas dan tak penting bagiku penjelasan logika yang Ibu sampaikan itu, yang jelas aku akhir-akhir ini jarang ke warung Ibu Izah ini, sebab aku malas makan di warung yang sederhana.”
“Ya sudah kalau begitu. Nah, ini dua porsi lontong kamu sudah siap Ibu bungkus nih.”
“Oke, Bu. Nah, ini uangnya,” ucap Gege sambil menyodorkan uang 50.000 ke Ibu Izah.
“Waduh, apakah ada uang kecil? Kembaliannya tak ada, ini saja Ibu baru buka. Coba kamu lihat masih dua orang yang mampir ke warung ini dan dua orang itu saja katanya mau mengutang dulu, Ge”
“Tak ada, uangku paling kecil cuman 50.000 itu, Bu,” jawab Gege dengan nada sombong.
“Maklumlah Bu namanya juga orang kaya, jadi uang yang paling kecil di dompetku hanya 50.000,” lanjut Gege.
“Wah, iya? Kalau kamu kaya, kenapa rumah kayu tempat kamu tinggal tidak diperbaiki, Ibu lihat sudah banyak yang rusak rumah kayu kamu itu, Ge.”
“Iya bentar lagi akan aku perbaiki, tenang saja kalau itu mah.”
“Wah, sudah kaya kamu sekarang, ya, Ge. Kalau begitu traktir kami dong! ‘kan kamu orang kaya, Ge,” sahut dari salah satu orang di warung Ibu Izah.
“Eh, Bang Ilham. Kenapa Bang Ilham minta traktir dari aku? apa jangan-jangan setelah lulus dari SMA Bang Ilham masih menganggur, ya?”
“Hehe, iya nih, sampai sekarang aku masih jadi pengangguran nih, Ge. Tapi, tenang saja bentar lagi aku akan mencalonkan diri menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Desa Suka Mundur, ini semua demi rakyat di desa ini.”
“Okelah, hari ini aku lagi baik hati dan kebetulan uang kembalian 30.000 tidak ada, sekalian deh sama Bang Sidiq yang miskin itu aku traktir lontong juga pagi ini,” ucap Gege dengan angkuhnya kepada dua orang itu.
“Wah, terima kasih banyak Gege si orang kaya,” ucap serentak Ilham dan Sidiq.
“Iya, dasar pengangguran dan orang miskin,” balas Gege.
“Nah, begitu dong, Gege. Kalau kembalian 10.000 ada. Nah, ini uang kembaliannya 10.000 lagi,” ucap Ibu Izah.
***
“Ibu, aku pulang,” ucap Gege ketika sampai di teras rumahnya.
“Iya, Ge. Bagaimana, sudah kamu beli lontong buat kamu dan Zedra?” tanya Ibu Tuti.
“Sudah, ini lontong buat aku dan Kak Zedra. Oh, ya, Kak Zedra mana, Bu? biar segera dia makan juga lontong ini bersamaku!”
“Hmm, tadi Kakak kamu pergi keluar sebentar katanya.”
“Pergi ke mana Kak Zedra, Bu?
“Entahlah, katanya cuman pergi ke tempat temannya, tapi tak tahu juga temannya yang mana.”
“Ya, sudah deh, aku makan lontong dulu, Bu.”
“Iya, Nak. Oh, ya, uang kembaliannya mana, Nak?”
“Ini, 10.000 uang kembaliannya, Bu.”
“Lah, kok cuman 10.000, ‘kan harga satu porsi lontong cuman 10.000. Harusnya 30.000 lagi uang kembaliannya, Nak.”
“Nah gini, Bu, aku ‘kan tadi juga bilang ke Ibu Izah yang jual lontong di dekat simpang itu mengenai uang kembalian 10.000. Eh, dia malah melakukan pembenaran dengan alasan sekarang lagi pandemi, jadi harus dinaikkan harga satu porsi lontong yang semula satu porsi 10.000, sekarang jadi satu porsi 20.000. Maka totalnya jadi 40.00, Bu.”
“Wah kelewatan. Di masa serba sulit ini, malah melakukan hal seperti itu. Mana bisa macam itu, ‘kan harga kebutuhan untuk bahan masak tak ada yang naik. Malahan Ibu Izah juga dapat bantuan biaya hidup selama pandemi dari pemerintah. Kok dia tega-teganya menaikkan harga lontong semahal itu.”
“Iya mau bagaimana lagi, aku sudah bilang juga macam itu ke Ibu Izah.”
“Tapi, kenapa kamu tetap beli lontong di sana, Nak?”
“Namanya juga aku sudah sangat kepingin makan lontong, sebab akhir-akhir ini kita ‘kan cuman makan nasi sama kecap saja, Bu.”
“Ya Tuhan, uang itu satu-satunya harapan Ibu buat modal ke kota untuk cari pekerjaan. Kalau mengutang lagi sama tetangga, tak akan mungkin, sebab utang kemarin belum Ibu bayar, Nak. Bisa-bisanya Ibu Izah itu melakukan hal setega itu dengan menaikkan harga lontong, yang mana harga bahan untuk memasak lontong masih murah di pasar.”
Pagi itu, kerut semakin terpampang di kening Ibu Tuti. Murung dan hening duduk di depan teras rumah dalam meratapi nasib. Berharap ada keajaiban datang kerumahnya yaitu turunnya hujan uang. Dalam menung sekali-sekali Ibu Tuti tertawa sendiri lihat plastik yang terbang ditiup angin dan juga diselingi perasaan sedih melihat dompetnya. Ketawa lihat plastik yang terbang terbawa angin dan menangis lihat isi dompet menjadi perasaan yang menyatu.
Sampai waktu menghantarkan pada sore hari, keajaiban itu tiba. Zedra anak pertamanya datang dengan membawa motor sport paling mahal tahun ini. Zedra melangkah pasti menuju ibunya dengan memperlihatkan uang yang banyak dari dompetnya.
“Halo Ibuku. Nah, ini ada uang untuk Ibu,” ucap Zedra sambil menyodorkan segenggam uang yang lumayan banyak.
“Wah, banyak sekali uangmu, kamu dapat dari mana uang sebanyak ini, Nak?”
“Hmm, aku tadi pagi lihat berita di Koran Sobek, Bu. Dalam koran itu ditulis bahwa di Negara Konoha ada penemuan baru, bahwa ginjal babi bisa mejadi alternatif dalam transplantasi ginjal ke manusia.
“Terus apa hubungannya ginjal babi dengan uang ini, Nak?”
“Nah, sebelum penemuan di Negara Konoha itu sampai ke sini dan dilakukan di desa kita, tentu hal ini akan membuat harga ginjal manusia jadi turun drastis di pasaran. Maka dari itu aku jual ginjal sebelum harga ginjal manusia turun di Desa ini karena ginjal babi bisa ditransplantasi ke manusia, Bu,” ucap Zedra dengan nada yang santai.
Mendengar penjelasan mengenai kedangkalan berpikir dari Zedra ini membuat Ibu Tuti makin syok berat. Dan semakin membuat ibunya menjadi kehilangan kewarasan. Sejak itu, sejak hari ketika anaknya ingin makan lontong dan menjual ginjal itulah keluarga ini semakin berantakan dan bertambah gila, karena kedangkalan berpikir anak-anaknya.
Pariaman, November 2021
Penulis, Indra Junaidi, lahir di Pariaman pada tanggal 01 Juni 1998. Ia adalah mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) yang tergabung dalam organisasi Unit Kegiatan Kesenian (UKKes) UNP bidang sastra. Beberapa kali menjuarai lomba kepenulisan sastra dan ilmiah, salah satunya pada tahun 2017 karya puisinya meraih juara satu dalam lomba cipta puisi yang diadakan di Malang oleh komunitas Gerakan Perpustakaan Anak Nusantara (GPAN). Karya-karya sastranya pernah diterbitkan di berbagai media massa nasional dan regional yaitu Koran Utusan Borneo (Sabah, Malaysia), Padang Ekspres, Haluan, Radar Madura, Malang Post, Medan Pos, Riau Pos, Minggu Pagi, Merapi dan lain-lain. Buku yang sudah terbit: Arloji Hujan (2019), Sabda Langkah! (2020). Media Sosial Facebook : Indra JunaidiTwitter : @hujansastra Instagram: @indrajnd16Wattpad : @TongkatSastra
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post