Laki-laki tua itu dengan sisa tenaga di masa tuanya sudah bersiap untuk hari ini. Dengan kaos lusuh yang ada beberapa lubang, dan juga topi yang tak kalah lusuhnya. Seperti biasa laki-laki tua itu harus berangkat untuk menjual tutut bumbu kuningnya.
Entah sudah berapa tahun laki-laki tua itu menjual tutut bumbu kuning. Sudah tak terhitung waktu lagi. Meski dunia sudah berubah, laki-laki tua itu masih saja setia berjualan tutut bumbu kuning. Bahkan penampilannya pun tak banyak berubah, masih dengan topi lusuhnya, kaos yang tak lagi berwarna putih, dan tanpa alas kaki. Entah apa saja yang sudah diinjaknya dari tahun ke tahun. Yang pasti semua menjadi saksi perjalanannya sebagai penjual tutut. Dari sekian banyak penjual tutut pada masanya dulu, hanya dia lah yang masih bertahan berjualan. Entah di mana teman-temannya yang lain. Dan masih seperti dulu, tak ada lagi barang lain yang dijualnya selain tutut itu sendiri.
Setiap pagi, masih terlalu dingin udara terasa, laki-laki tua itu memulai langkahnya dengan memikul keranjang berisi tutut bumbu kuning untuk dijualnya ke pasar. Tak dihiraukannya udara dingin yang menyusup melalui lubang-lubang kecil di kaos lusuhnya. Tak dihiraukannya rasa dingin dan kerikil tajam yang diinjaknya dengan kaki telanjangnya. Semua seolah sudah menjadi bagian dari hidupnya, bagian dari setiap langkah yang ditujunya.
Sesampai di pasar, seperti biasa diletakkannya dagangan di trotoar tak jauh dari masjid. Tempat itu seolah sudah menjadi pos permanennya sejak pertama kali jualan tutut, sekian puluh tahun yang lalu, hingga hari ini. Tak pernah ingin dirinya bergeser meski sejengkal. Tetap di situ diletakkannya keranjangnya, dan dengan sabar ditunggunya orang-orang yang lewat kemudian tertarik dengan tututnya, yang kemudian membeli tututnya.
Tutut masakan istrinya adalah tutut terenak pada masanya. Berapa pun dia membawa tutut ke pasar, tak pernah sedikit pun tersisa barang segenggam untuk dibawa pulang. Tutut yang dibawanya terus berjaya. Namun, jaman telah berubah. Selera orang pun telah berganti. Tutut yang dulu sempat berjaya, kini nyaris punah dan tak dikenal lagi.
Semua berawal dari dibangunnya sebuah restoran seafood di situ, tepat di tempat laki-laki tua itu berjualan tutut. Dan karena laki-laki tua itu tak ingin bergeser walau sejengkal, maka akhirnya dia harus berjualan di trotoar tepat di depan restoran seafood tersebut. Suasana pun sudah banyak berubah yang berpengaruh pada penjualan tutut laki-laki tua itu.
“Laku semua tututnya, Pak?” sapa istrinya setiap kali dia pulang berjualan tutut selepas maghrib. Istrinya selalu setia menunggunya di depan pintu sembari menyiapkan secangkir teh panas dan singkong rebus. Meski akhir-akhir ini dia harus pulang lebih larut, istrinya tetap setia menunggunya.
“Hmmm..masih, Bu. Utuh, tak ada pembeli sama sekali,” jawab laki-laki itu sambil meletakkan keranjang berisi tutut yang nantinya harus disimpan kembali.
Sejak berdiri restoran seafood itu, orang cenderung lebih memilih seafood dari restoran itu. Dengan sikap gagahnya, mereka berjalan melewati laki-laki tua penjual tutut itu tanpa sedikit pun menoleh padanya. Setiap hari semakin banyak pula pembeli di restoran seafood itu, dan lagi-lagi mereka hanya melewati laki-laki tua penjual tutut itu tanpa ada keinginan untuk menoleh sama sekali. Tak hanya mereka, para tukang ojek online pun ikut mengantri untuk membelikan pesanan pelanggan mereka. Dan lagi-lagi tak ada satu pun yang melirik atau menoleh padanya.
Laki-laki tua penjual tutut itu dengan sabar terus menunggu menjajakan tutut buatannya.
“Ayah, ini apa?” seorang gadis kecil denga kuncir ekor kuda sudah berdiri di hadapannya. Laki-laki tua yang sedari tadi menahan rasa kantuk seketika merasa segar. Akhirnya ada yang menoleh bahkan berniat membeli tututnya.
“Oh, ini tutut. Keong sawah,” jawab seorang laki-laki setengah baya, yang mungkin adalah ayah gadis itu menjawab singkat.
“Mau…mau…” gadis kecil itu merajuk sambil menunjuk-nunjuk tutut di hadapannya.
“Bukankah kamu tadi ingin membeli kepiting asam manis? tuh, restoran yang menjual kepiting asam manis,” laki-laki itu menunjuk restoran di belakang laki-laki tua penjual tutut itu. Dan dengan riang, gadis itu berlompatan girang mengikuti ayahnya menuju restoran seafood itu dan meninggalkan laki-laki tua dengan tututnya yang belum tersentuh sejak kemarin.
Berkali dan berulang terjadi hal seperti itu. Tutut bumbu kuningnya dikalahkan oleh kepiting asam manis, kepiting lada hitam, kerang bumbu Inggris, dan masih banyak menu lain yang kadang justru sulit diucapkan. Namun, laki-laki itu masih dengan setia menunggu berharap tetap ada yang mau membeli tutut bumbu kuningnya itu.
Dari hari ke hari, laki-laki itu harus memikul tutut yang sama ke pasar setiap pagi karena sisa kemarin yang tidak laku, mau tidak mau harus dipanaskan dulu supaya bisa dibawa lagi ke pasar untuk dijual lagi. Namun, lagi-lagi, tututnya tidak ada seorang pun mau menoleh dan membelinya. Tak sedikit pun orang yang hendak membeli namun kemudian langkahnya terus menuju ke restoran seafood yang kian hari kian ramai itu.
“Tututnya tampaknya sudah tidak laku lagi, Pak. Apakah tidak lebih baik kita berhenti berjualan tutut saja? Percuma juga kita mencari tutut setiap malam di sawah, memasaknya semalaman, membumbuinya, memikulnya ke pasar dan menunggunya seharian penuh, tanpa ada hasil sama sekali. Tak tersentuh pembeli sama sekali. Kita Cuma buang-buang tenaga dan waktu. Sekarang tak ada orang yang suka tutut. Kita sudah kalah dengan restoran mewah itu, yang memasak berbagai ikan dan menu lain dengan berbagai rasa. Waktu sudah berubah, Pak. Tutut sekarang sudah tidak ada artinya sama sekali. Tidak ada harganya,” ucap istrinya paanjang lebar yang membuat laki-laki tua itu terdiam.
Ya, zaman telah berubah. Tutut tak lagi dikenal dan tak lagi punya makna. Orang-orang lebih memilih kepiting, kerang, gurita, cumi-cumi dan berbagai olahan ikan dengan resep dan bumbu yang bukan biasa lagi. Tutut dan pedagangnya semakin lama semakin tersisih. Laki-laki tua penjual tutut itu pun menjadi sia-sia bertahan.
“Ayah….kita beli itu….” Seorang anak laki-laki berlari-lari riang menuju ke arah laki-laki tua penjual tutut itu. Seketika laki-laki tua itu bersemangat. Siapa bilang tutut tak lagi dipandang? Tutut tetap disukai meski generasi telah berganti. Laki-laki tua penjual tutut itu tersenyum.
Akhirnya, setelah berhari-hari tututnya diam utuh tanpa ada yang menyentiuh, sore ini tutut itu akan kembali ada pembeli. Laki-laki itu menunggu dengan tegang, seperti seorang anak kecil yang tegang menunggu hadiah ulang tahunnya.
“Iya… tunggu… kita akan beli,” laki-laki dan perempuan di belakang bocah itu berlari-lari kecil mengejar.
“Asyikkk…kita beli… kita makan enak…..” anak laki-laki itu masih berlari dan terus berlari mendekati laki-laki tua penjual tutut yang tampak gugup itu. Dan anak itu terus berlari, dan… laki-laki tua penjual tutut itu terduduk lunglai. Harapan yang terpancar tadi pupus sudah. Bocah laki-laki itu terus berlari melewatinya dan terus berlari memasuki restoran seafood itu.
***
Penulis, Fery yanni
Alamat : Bimbel Gladika
Jl. Cemara IV RT 05 RW 06
Sidorejo Lor, Salatiga 50714
Email : [email protected]
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post