
Malam yang hening di sebuah pos jaga, ada dua pemuda yang sedang asik berbincang-bincang.
“Jang, kau tahukan beberapa bulan kedepan desa kita akan ada proyek besar-besaran” Malek membuka pembicaraan sambil menyeruput segelas kopi.
“Aih, proyek ape tu bang Malek? ” Ujang bertanya kembali, karena merasa tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Malek.
“Kalau tak salah akan ada pengeboran minyak besar-besaran di desa kita, tapi belum pasti apakah informasi itu betul atau tidaknya, kalaulah betul informasi tersebut ini akan menjadi suatu kesempatan yang berharga.” Ujar Malek dengan bersemangat.
“Kesempatan?” kening Ujang mengerut.
Ia berita tersebut rupanya sudah sampai ke telinga para pemuda desa Teluk Raya. Pengeboran minyak yang dilakukan di desa mereka itu telah diketahui setelah ada beberapa para peneliti dari sebuah perusahaan yang melakukan riset ke desa mereka dua bulan yang lalu.
Menurut survei mereka, ada potensi minyak dan gas yang telah lama tersimpan di perut bumi, dan beberapa tempat telah dikenali pasti memiliki sumber minyak dan gas yang berlimpah, salah satunya di desa Teluk Raya.
Memang ini adalah kesempatan yang besar bagi masyarakat, setelah bertahun-tahun bertahan dengan menjadi nelayan dan petani, kemudian mendengar adanya sumber minyak dan gas di desa mereka, mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka demi sebuah pekerjaan yang belum pasti mereka dapatkan.
Hal ini pun terjadi pada kepada Pak Mat Salleh, seorang lelaki jangkung berambut ikal yang menetap di sebuah rumah papan kecil beratap pelepah kelapa di sebuah pedalaman desa Teluk Raya. Istri dan anaknya telah tiada, meninggalkanya satu tahun yang lalu, karena tak sanggup hidup dibawah tekanan kemiskinan. Jauh dari keramaian kota, ia hanya hidup sebatang kara, mencukupi kebutuhan dengan berkebun di depan rumah kecilnya.
Kebun kecil itu ia jaga dengan penuh cinta. Sawi, kacang panjang, dan timun tumbuh subur. Beberapa minggu kedepan akan siap di panen. Alangkah riangnya hati, ia akan segera menikmati hasil titik peluhnya selama ini. Sayur-sayuran yang segar.
Di pagi yang cerah, sengat terik matahari begitu sangat dinikmati Pak Mat Salleh, ia memetik beberapa sayuran yang siap di panen untuk ia jual kepasar. Bila sudah keranjang berisikan sayuran panennya penuh dengan sepeda ontel tuanya ia mengayuh menuju ke Pasar Minggu.
Walaupun namanya Pasar Minggu, pasar itu hampir setiap hari buka. Pasar itu adalah pusat perbelanjaan terbesar di desa tersebut. Bahkan desa-desa tetangga semuanya membeli bahan pokok rumahan di Pasar Minggu. Bahkan orang dari luar kotapun belanja di sana. Pasar Minggu itu adalah jantungnya ekonomi masyarakat desa Teluk Raya.
“Sayur, sayurnya, buk.” Pak Mat Salleh menjajalkan jualannya.
“Berapa seikat ni, pak?”
“Seikat 2000 Rupiah saja, buk.”
Pak Mat Salleh tidak terlalu mengambil banyak untung. Cukup mendapatkan kembali modal saja sudah bersyukur. Bahkan ia senang dengan pekerjaan ia tekuni ini.
Saat berjualan lelaki itu mendengar sebuah percakapan ibu-ibu yang berbelanja di samping dagangannya.
“Buk, kasihan ya Pak Ismail itu.”
“Loh, emangnya kenapa, Buk?”
“Itu loh Buk, kan di desa kita ada pengeboran minyak, kebetulan di tanah rumah Pak Ismail itu ada sumber minyaknya, terus dari perusahaan tersebut memberi janji kepada Pak Ismail, bahwa akan memberikan bagi hasil keuntungan ketika minyak itu sudah terjualkan.”
“Seharusnya Pak Ismail senang dong.”
“iya tapikan… “
Brukkkk!!!!
Tiba-tiba muncul suara keras dari dalam pasar, sehingga membuat para pembeli ketakutan berlarian.
“Hei kamu!! sini uangnya.”
Rupanya suara keras itu muncul karena ulah preman-preman yang menguasai Pasar Minggu. Akhir-akhir ini aksi premanisme sering terjadi, apalagi di pasar-pasar keramaian. Sebenarnya bukan karena tuntunan ekonomi aksi premanisme ini ada, menurut dari beberapa pedagang, aksi malak memalak ini sudah sering terjadi, biasanya mereka terorganisir dan ada kelompok-kelompoknya masing-masing.
Tiba-tiba ada lelaki yang mengenakan baju kaos bergambar tengkorak menghampiri tempat jualan Pak Mat Salleh. Bukannya membeli malah lelaki itu mengobrak-abrik dagangannya dan lalu mengambil uang di hasil jualan hari ini.
Pak Mat Salleh pulang dengan rasa bersedih, karena hari ini tidak ada hasil satupun yang ia dapatkan. Ia pun mengayuh sepedanya dengan air mata yang berlinang.
Sesampainya Pak Mat Salleh di rumah, ia terkejut ketika di depan halaman rumahnya di kerumuni oleh banyak orang.
“Ada apa ini, cik?” Pak Mat Salleh bertanya kepada Ibu-ibu yang berada di sekitar itu.
Ibu itu tersenyum, “Orang bandar datang Pak Mat, mewahlah.”
Mewah, mendengar kata itu pak Mat Salleh langsung menyeka air matanya, Seperti sihir ada perasaan gembira dan sedih di dalam dadanya. Ia melangkah pelan menuju ke rumahnya.
“Pak Mat Salleh, sudah tiba rupanya?” Lelaki berkaca mata hitam berbaju pegawai menyambut ramah.
“Eh, Pak Kades, ada apa ini ramai-ramai di rumah saya?” Jawab pak Mat Salleh dengan memegang sepeda ontelnya.
“Ah begini Pak Mat, Orang-orang ini ingin membeli tanah Pak Mat, disebabkan di sini terdapat sumber migas yang besar, rugi kalau kita tak mengambil kesempatan ini Pak Mat” Ujar Pak Kades berusaha menyakinkan kepada Pak Mat Salleh.
“Saya tidak mau menjualnya Pak Kades, ini satu-satunya harta warisan yang saya miliki.” tegas Pak Mat Salleh.
Pak Kades hanya terdiam sambil memandang seorang Mandor di sampingnya. Menandakan bahwa ini akan pasti terjadi, bahwa pemilik tanah tidak akan menjual tanah kepada Mandor itu.
Lalu Mandor itu menyuguhkan beberapa surat dan uang berjumlah sepuluh juta rupiah kepada Pak Mat Salleh.
Sambil memegang surat itu, “Surat apa ini, dan uang ini untuk apa? ingat saya biarpun miskin tidak mau di sogok dalam bentuk jenis apapun.”
“Ah tenang saja, tanda tangani saja surat itu, dan ambil saja uangnya, anggap sajalah itu hadiah dariku.” jawab Mandor dengan wajah yang bersahabat.
Karena Pak Mat Salleh seorang yang buta huruf, ia tidak dapat membaca surat itu, di tambah wajah ramah Mandor tersebut Pak Mat Salleh menyanggupi permintaan tersebut. Bahkan ia pun menerima uang itu karena di anggap sebuah hadiah biasa saja.
Beberapa minggu kemudian, ketika Pak Mat Salleh ingin memanen sayurannya. Beberapa mobil besar berisikan pipa-pipa besi sedang parkir di depan rumahnya.
Lalu beberapa pemuda berbadan tegap datang menghampiri Pak Mat Salleh, menarik paksa untuk mengusir dan beranjak pergi dari rumahnya, ternyata Mandor itu menipu lelaki jangkung itu.Tanah dan rumahnya di ambil dengan paksa.
Tangisan teriak lelaki itu lagi tak terelakkan, rasa nestapa yang selama ini ia rasakan bertubi-tubi menghampiri dirinya. Ketika ia melihat istrinya berdamping dengan Mandor penipu itu, sambil tersenyum kepadanya. Senyum yang penuh dengan pengkhianatan dan keserakahan. Lelaki itu terluka hatinya hancur karena hanya sebongkas emas hitam. Harta, tahta, wanita tergadaikan begitu sia-sia.
Penulis Mohammed Al Syafiq Lahir di Bengkalis, 20 Febuari 2001. Sekarang aktif kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bengkalis. Pernah menjuarai Lomba Baca Puisi Se-Riau pada tahun 2019, dan juara 1 cipta puisi nasional tajaan Oase Pustaka. Beberapa karyanya berupa kumpulan puisi telah dibukukan bersama penyair lainya. Buku antologi puisi solo pertamanya berjudul Rindu Si Anak Pulau (Oase Pustaka, 2020.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post