MENTAWAI, Marewai– Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberikan fasilitasi dalam bentuk pendanaan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh Masyarakat. Hal ini dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan mengatakan upaya pemajuan kebudayaan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun harus dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan termasuk keterlibatan masyarakat. Pemerintah memberikan stimulus dalam rangka menjaga semangat penyaluran ekspresi dan kreativitas para pelaku budaya untuk mengangkat ketahanan budaya.
Salah satu perwakilan masyarakat penerima FBK (Fasilitasi Bidang Kebudayaan) tahun 2021 kategori perseorangan, Dedi Juliasman Sakatsilak dari Kepulauan Mentawai mengatakan disaat perhatian masyarakat tertuju pada pandemic COVID 19 serta diberlakukannya berbagai protokol kesehatan, aktivitas kebudayaan menjadi salah satu yang terdampak. “Hal ini menimbulkan kekhawatiran saya selaku generasi muda Mentawai, untuk itu saya bersama tim berpartisipasi mengambil peran melakukan pendokumentasian budaya Mentawai dalam bentuk digitalisasi informasi tentang uma (rumah adat) dan tato sebagai warisan luhur budaya Mentawai yang dikemas dengan memanfaatkan teknologi”. Kata Dedi
Upaya digitalisasi budaya selaras dengan tujuan penggunaan bantuan pemerintah yaitu mendokumentasikan pengetahuan untuk keberlanjutan kebudayaan dan mendayagunakan ruang publik untuk memperluas dan menjamin pemerataan masyarakat terhadap kegiatan kebudayaan.
Uma (rumah adat) dan tato adalah warisan luhur budaya Mentawai. Masyarakat adat suku Mentawai tinggal dalam satu uma dengan arsitektur bangunan terbuat dari kayu sebagai tiang dan dinding serta tobat (rumbia/jerami) sebagai atap rumah. Uma Mentawai dilengkapi dengan tengkorak hasil berburu dan motif gambar binatang maupun simbol alam sebagai ornament yang menghiasi uma menjadi ciri khas dari rumah adat Mentawai.
Dedi Sakatsila menambahkan pandangan hidup masyarakat adat suku Mentawai berorientasi pada keselarasan antara uma dengan penghuninya beserta alam. Bangunan uma merupakan bukti nyata ketrampilan dan keahlian masyarakat adat suku Mentawai, dimana konstruksi bangunan sebuah uma di bangun dengan memanfaatkan sumber alam sebagai hasil karya bersama dari seluruh anggota penghuni sebuah uma dalam suku Mentawai. Saat ini keberadaan bangunan uma sudah cukup langka ditemukan di Mentawai, sehingga digitalisasi budaya sangat penting dilakukan.
Esmat Wandra Sakulok, penggiat budaya Mentawai mengatakan seorang Sikerei yang menjadi anggota penghuni sebuah uma memiliki tato sebagai simbol identitas diri termasuk juga sebagai perwujudan keterikatan uma dengan penghuninya. Karena di dalam motif tato yang dibuat memiliki makna yang berbeda-beda. Tato tradisional Mentawai merupakan kearifan budaya lokal bagi masyarakat adat suku Mentawai.
“Bagi seorang sikerei, tato atau biasa yang disebut dengan ‘titi’ dalam bahasa Mentawai diartikan sebagai tanda atau simbol yang menunjukan jati diri, ciri khas gaya orang Mentawai, simbol kepemudaan atau kedewasaan, kekuatan diri, pakaian dan adat budaya yang diwariskan oleh para leluhur”, kata Esmat.
Mengenal Motif Tato Tradisional Mentawai
Penghormatan kepada alam dari keseluruhan motif tato tradisional Mentawai yang ditorehkan pada tubuh direpresentasikan sebagai bentuk yang bersumber dari alam. Motif-motif tato tradisional Mentawai:
Letak tato di bagian punggung: motif titi serepak abak sebagai penyeimbang sampan, karena sampan merupakan sarana transportasi orang Mentawai dalam mengarungi lautan dan sungai.
Letak tato di bagian dada: motif titi durukat sebagai bentuk panah dan pohon sagu, karena panah sebagai senjata berburu dan sagu adalah makanan utama orang Mentawai. Motif tato ini juga diartikan sebagai simbol interaksi antar masyarakat untuk saling mengenal asal suku atau wilayah, seperti titi durukat dikenali sebagai masyarakat adat yang berasal dari wilayah Siberut Selatan daerah Sarereiket, termasuk Buttui dan titi loppok dikenali sebagai masyarakat adat yang berasal dari wilayah Siberut Tengah daerah Silak Oinan.
Di bagian lengan: motif titi simumurat dan titi para sebagai bentuk duri rotan yang memiliki makna tanda kekuatan tangan, rajin dan bekerja keras.
Di bagian punggung tangan: motif titi teitei takep untuk seorang laki-laki yang sudah mulai dewasa, memiliki makna sebagai laki-laki mandiri dan sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Di bagian paha: motif titi dere/boug sebagai bentuk garis-garis menandakan siap untuk menikah, membuat rumah sendiri dan menjadi di seorang Sikerei.
Di bagian betis: motif titi salio sebagai representasi dari bentuk kandang babi atau pagar yang menandakan tetua yang menjadi panutan orang atau keluarga.
Selain itu, terdapat beberapa motif lain seperti motif titi satwa memberikan makna yang menunjukan pengalaman hidup seorang pemburu. Motif tato bintang titi palaggogoi memiliki makna yang dikaitkan dengan kepercayaan leluhur.
Esmat Wandra Sakulok, menambahkan secara keseluruhan motif tato tradisional Mentawai bersumber pada harmonisasi manusia dan alam, karena bagi masyarakat adat suku Mentawai alam menjadi sumber kehidupan.
Hasil kegiatan digitalisasi budaya yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2021 berupa film dokumenter tentang rumah adat dan tato. Pemutaran film dan diskusi seputar hasil kegiatan sudah dilaksanakan pada Kamis, 16 Oktober 2021 di Gedung Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan pemutaran film dan diskusi merupakan wujud presentasi kepada publik mengenai hasil kegiatan. Pemutaran Film dan diskusi dihadiri oleh beberapa narasumber, diantaranya Kepala Balai Pelestari Nilai Budaya (BPNB), Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat dan Kepala UPTD Museum Adityawarman.
Undri, kepala BPNB menyampaikan dalam diskusi bahwa ada hal yang harus menjadi perhatian kita bersama tentang keberlanjutan Budaya Mentawai. “Saya melihat lebih ke sisi SDGs-nya. Kajian budaya Mentawai sudah banyak dilakukan oleh peneliti, baik tato, rumah adat, Sikerei dan lainnya yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Hanya saja yang menjadi pertanyaan, apakah nilai-nilai kebudayaan Mentawai sudah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Mentawai. Program SDGs sangat tepat bagi keberlangsungan budaya Mentawai, karena Mentawai memiliki ciri dan keunikan khusus.” Jelas Undri.
Sementara itu, Aprimas yang sekaligus Kepala Bidang Kebudayaan, dari Dinas Kebudayaan Summatera Barat mengatakan bahwa upaya pelestarian dan pengakuan terhadap budaya Mentawai terus kita lakukan bersama Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai. “Saat ini melalui Warisan Budaya Tak Benda (WBTI) sudah mencatat tiga nilai kebudayaan, diantaranya Uma atau rumah adat, tato, dan Sikerei (tabib). Dan beberpa usulan lain sudah dirancang melalui pemerintah daerah Mentawai. Potensi Budaya Mentawai untuk masuk dalam WBTI sangat banyak, dan kita berharap semua itu bisa diakui.” Kata Aprimas.
Acara pemutaran film dan diskusi diakhiri dengan penyerahan piagam dan cendramata berupa foto maestro adat Mentawai.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post