
Bu Ningsih sedari tadi berusaha sekuat tenaga agar kelopak matanya yang berkeriput itu tidak terpejam lebih dari lima detik. Di kursi plastik merah, perintis lapau kopi sejak lima tahun lalu itu baru pertama kali melihat pelanggannya sempat berdebat. Dua jam lebih, dua mahasiswa yang sama-sama menegakkan kaki kanan dan menselonjorkan kaki kiri di kursi kayu panjang lapau itu belum beranjak pergi melanjutkan perjalanan, walaupun guyup hujan telah berhenti. Padahal, buk Ningsih sudah beberapa kali menahan menguap -menandakan lapau di pinggir jalan lintas padang sawah itu harus segera tutup. Sebungkus rokok panama sudah habis terbakar, dan dua gelas kopi hitam sudah habis dicerna demi menghangatkan badan yang sudah menggigil karena tertimpa hujan sejak dari Bandara. jas hujan plastik yang mereka beli seharga lima belas ribu dua bulan yang lalu tampaknya tak mampu melindungi mereka dari derasnya hujan malam itu. Mukti memulai pembicaraan dengan mengangkat suara lebih dari biasanya.
“Kan, apa kubilang, hari ini pasti hujan. Jam berapa kita sampai rumah kalau begini,” ucap Mukti dengan nada yang seperti menggertak.
Aldi tak memberikan tanggapan. Dengan percaya diri, aldi meyakinkan Mukti bahwa hal semacam ini bukanlah sesuatu yang harus disesali.
“Santai saja muk. Ini baru Maghrib. Palingan dua jam lagi agar sampai ke panti.” aldi mencoba menenangkan temannya.
Mukti menarik napas. Dia tahu teman lamanya ini akan menjawab seperti itu.
“Magrib? Ini sudah Isya Aldi. Azan Maghrib memang tidak kita dengar karena hujan yang terlalu lebat,” sahut Mukti.
“Kita juga dulu pulang jam-jam segini.”
“Itu dari Palupuh. Beda dengan malam ini”
“Apa bedanya. Kan sama-sama malam”
“Kantuik. Kau yakin kita akan melewati suramnya Malampah malam-malam begini?
“Mau memutar ke Maninjau?” usul aldi.
Mukti menggeleng. Rute Malampah memang yang paling baik untuk saat ini.
Tak lama Buk Ningsih memotong perdebatan mereka. Ia mengambil gelas di meja dan melap bekas ampas kopi yang melekat di meja. Kedua kakinya terlihat berjalan terentak, terpaksa karena menahan kantuk mata.
“Maaf ya, Nak. Ibuk harus tutup. Hujan kan juga sudah berhenti. Kalian lanjutkan saja perjalanan kalian. InsyaAllah kalian tidak akan kenapa-kenapa. Akhir-akhir ini, jalan terasa lebih ramai akibat akses lembah Anai terputus sejak seminggu lalu.”
“Itu yang saya katakan ke Mukti, Buk. Dia. Memang penakut dari dulu.” Aldi membujuk Mukti dengan caranya sendiri.
“eee..kantuik, saya cuma merasa kita terlalu memaksakan diri. Ini sudah jam 9 malam. Rawan ngantuk.”
Buk Ningsih paham maksud Mukti. Setelah hujan turun memang bawaannya mengantuk. Huaaaaaamm. Buk Ningsih membawa gelas dan masuk kembali dapur lapau.
“Di sini ada mushala, Buk?” tanya Mukti memutar lehernya.
“Kalau di sini tidak ada. Tapi, kalau Kalian masuk lewat tugu bundaran, perhatikan saja sisi kanan. Ibu biasanya shalat di sana.” jawab bu Ningsih menunjuk ke tugu khatulistiwa.
“Bagaimana, Muk? Kita lanjutkan saja, ya. Kita sudah separuh perjalanan.”
“Baiklah,” jawab Mukti setengah kantuk.
Mukti terpaksa mengikuti keinginan aldi. Sebagai teman sejak SMP sampai kuliah, mereka berdua masih kuliah di instansi yang sama, walaupun dengan jurusan berbeda. Setiap ada kesempatan pulang, mereka berdua selalu berangkat bersama. Tentunya demi alasan keamanan jika hal tak terduga terjadi di tengah jalan. Untuk kali ini, Mukti harus memaafkan Aldi yang tidak menepati jadwal janji. Aldi beralasan karena harus menyelesaikan urusannya dengan pengurus Mushala.
Dua lembar Imam Bonjol dan selembar ratulangi dikeluarkan dari dompet yang sudah seperti prasati karena kusamnya. Kulit yang terkelupas dan warnanya menjadi abu-abu setelah sepuluh tahun berlalu.
“Kami pergi dulu, Buk,” ucap Aldi sambil memasang helm.
“Iya,Nak. Hati-hati di jalan,” Buk Ningsih menutup pintu warungnya yang terdiri dari 8 papan memanjang.
Aldi menstarter motor maticnya. Sedangkan Mukti mengengkol motor bebeknya. Suara tarikan gas mereka perlahan menjauhi tempat mereka singgah.
Tepat seperti yang buk Ningsih katakan, di sisi kanan setelah bundaran, berdiri mushala yang tidak pasti diketahui namanya. Plank nama mushala itu sudah terkelupas seperti dompet Aldi. Bisa jadi karena cuaca panas terik atau semacamnya. Tapi bagi Mukti, apa pedulinya nama, yang penting ada kamar mandinya.
Mushala seluas 5 x 5 itu terlihat seperti tak tersentuh dana setelah sekian lama. Tapi peduli apa dua pemuda yang singgah itu, selama ada air untuk buang air, dan selama ada listrik untuk mencharger handphone sudah cukup untuk kebutuhan mereka. Dua pemuda itu lalu memarkirkan motornya dan pergi ke toilet mushala. Aldi ingin buang air, sedangkan Mukti ingin menyegarkan muka, terutama matanya yang sudah sedikit kemerahan.
Mukti selalu memilih surau atau mushala untuk beristirahat. Setiap kali dia pulang balik Padang-Pasaman, surau menjadi tempat favoritnya untuk beristirahat jika mengantuk atau ingin buang air. Alasannya sederhana, karena mushala biasanya memberikan kesempatan bagi pengendara untuk istirahat, baik itu siang atau malam. Ia cukup kesal karena di luar masjid selalu tertulis dengan jelas dilarang tidur. Padahal, masjid itu dibangun lewat sedekah para pengendara yang berharap agar mereka bisa istirahat suatu saat.
“Aku shalat dulu al, tunggu saja di parkir,” teriak Mukti dari luar toilet.
“Aku nitip ya,” ucap Aldi yang masih jongkok di jamban.
*****
“Mukkk, ayoo,” sahut Aldi menunggu Mukti di parkiran.
Mukti tak menjawab apa-apa. Dengan perasaan heran, Aldi masuk dengan tergesa-gesa. Aldi menghendus napas. Di sudut kanan mushola, Mukti sudah berbaring berselimut sarung ke sisi kanan dinding sambil memeluk tas hitamnya. Aldi menepuk lengan kiri Mukti yang berisi itu beberapa kali.
“MUK, MUK. Kok tidur. Bangun! Bangun!” tegur aldi.
Mukti menolak tepukan Aldi.
“Duluan saja kau al. Aku tak bisa bawa motor kalau ngantuk begini”
“Akkhh, masa iya kubiarkan kau di sini. Lagian, kau tahu jalan pulang?”
“Besok saja kupikirkan masalah itu. Masalahku sekarang hanya ingin memejamkan mataku. Aku sudah tak tahan.”
“Ayolah, Muk. Ini sudah separuh jalan.”
“Aku mau tidur,” jawab Mukti.
“Baiklah. Kalau begitu aku duluan, kamu hati-hati di sini.”
Aldi terpaksa meninggalkan Mukti dengan berat hati. Bukan karena tega, tapi besok pagi, Ia harus siap-siap untuk pergi ke pasar Tapus, membantu orang tuanya berdagang ayam potong.
“Kau yang hati-hati harusnya, Al. Kemarin aku melihat di Facebook, ada warga yang melihat inyiak di ladang-ladang Malampah.”
“Hahaha, maaf muk. Aku bukan minang. Jadi aku masih kurang percaya hal semacam itu.”
‘Terserah. Tapi jangan lupa baca Al-fatihah sebelum berangkat.”
Aldi pergi tanpa membalas ucapan Mukti sebelum kembali tidur. Dengan terpaksa, Aldi meninggalkan Mukti untuk pertama kalinya. Setelah ini ia akan melewati jalan yang berkelok tiap saat, menurun, mendaki, dalam gelap gulita. Beberapa rumah masih ada yang membantu penerangan jalan. Tetapi, setelah melewati pemukiman terakhir, jalan akses Malampah memang sangat sulit dicermati di malam hari. Aldi membuka kaca helmnya. Pandangan akan terasa jelas jika dilihat dengan mata telanjang. Lampu tembak motor harus dipakai sebaik mungkin, jika jalannya lurus dan agak jauh, maka harus memakai lampu tembak dan sebaliknya.
Tidak seperti yang buk Ningsih katakan sebelumnya, Jalan sangat lengang. Dan gelap. Sepanjang tiga puluh kilometer ke depan, aldi memberanikan diri melewati jalan Malampah seorang diri. Ia kadang merasakan heran kenapa rute ini masih minim pengamanan. Sesekali mobil muatan ayam potong dan ikan melaju dengan gesit.
“Wajar saja mereka sanggup, ada dua supir yang silih berganti,” kata Aldi kepada dirinya sendiri.
Rasa kantuk dan hawa dingin perlahan menggerogoti leher dan telapak tangan. Ia menyesal tidak membawa satu jaket lagi yang tertinggal di kostnya. Kakinya masih menahan untuk tidak bergetar. Belokan demi belokan telah Aldi lalui. Aldi memang pernah melalui jalan ini. Tapi hanya sekali. Itu pun siang hari, saat tiap belokan masih terlihat jelas tanpa membuka kaca helm. Sesekali Ia terasa khawatir remnya akan blong karena Ia terlambat menurunkan gas di turunan yang berkelok. Untung takdir masih berpihak padanya. Tetapi, bukan itu yang Aldi khawatirkan. Tetapi hawa suramnya jalan Malampah belum bisa Aldi lawan.
Jalan itu memang sempat membuat aldi kehilangan kendali tatkala pertama kali ia lewati lima bulan yang lalu. Ia berangkat sendirian dari terminal panti ke padang melalui rute itu karena surat-suratnya tidak akan selamat jika melalui bukitinggi. Perjalanan perdananya waktu itu cukup sial. Sebab, ia menabrak gundulan Jalan aspal yang tak ia sadari kecuali setelah ban jari-jarinya terasa bergoyang dan setelah keluar nama-nama binatang. Ia langsung menekan rem kiri dan kanan. Hampir-hampir Ia akan keluar dari jalur aspal. Tapi malam ini berbeda, Ia akan lebih berhati-hati dan melihat sekitarnya. Kini, di depannya ia harus melewati lubang Jalan yang digenangi air.
TRUTAKKK
Ia mencoba menyeimbangkan diri. Lubang kedua membawa bannya kembali masuk ke genangan air.
Lihat pakai mata bos, mungkin adalah ucapan motor berwarna hitam itu jika bisa protes kepada pengemudinya. Aldi melanjutkan perjalanan. Ia merasa ada yang bergetar di belakang. Setelah mencari penerangan yang cukup, Aldi berhenti. Ia turun untuk melihat kondisi motornya.
“Dangol nai,” ucap Aldi mengutuk platnya.
Salah satu baut plat belakang motornya lepas karena guncangan sebelumnya. Ia. Terpaksa melepas baut sebelahnya agar platnya tidak jatuh di perjalanan kemudian. Masalah tak kunjung selesai. Setelah plat belakang disimpan di jok beserta bautnya, kini meteran tanki minyak sudah mencapai titik merah. Ia baru ingat, saat pertama kali melewati jalan ini, tak cukup jika mengisi pertalite full hanya sekali.
Tugas paling berat kini menambah pikiran Aldi di tengah heningnya malam dengan suara jangkrik. Mencari pom bensin eceran di malam hari memang hal yang merepotkan. Jarum meter akan keluar dari kotak merah. Bahkan hampir ke E. Jika Sepuluh kilometer lagi belum ada pom bensin, mungkin Ia akan tidur di mushala seperti Mukti. Tapi, itu tidak boleh dibiarkan terjadi. Berharap saat sulit seperti ini memang jarang dirasakan. Tapi akan sangat menyenangkan jika terlewatkan.
Takdir sekali lagi memihak kepada aldi. Sebuah warung yang diramaikan akamsi terlihat asik menonton pertandingan bola. Aldi lalu berhenti dan memanggil pemilik warung.
“Minyak, pak,” sahut Aldi.
Bukan seperti yang diharapkan dari panggilan, yang datang justru salah satu anak yang sebelumnya berbaring. Anak itu kisaran masih SMP.
“Bukan, Ia tidak sekolah. Karena pasti anak SMP tidak akan berkeliaran jam segini. Dan tidak ada SMP di jalan yang kulalui.” gumam Aldi.
“Berapa, bang?” tanya anak itu.
“Seliter,” jawab Aldi.
“Mau ke mana, bang?”
“Panti dik.” jawab aldi sambil membuka dompetnya.
“Panti?” ucap anak itu yang berusaha mengingat.
“Jalan ini tidak menuju panti, bang.”
Aldi menahan uang yang baru saja ia keluarkan. Ia mengingat kembali belokan demi belokan sebelumnya. Ia sadar telah melewati belokan kiri, penentu tujuan sebenarnya.
“Astagaa. Lalu? Ini dimana dik?” tanya Aldi menutup tangki motor.
“Simpati bang.” ucapnya sambil menerima uang dua lembar.
Bulu kuduk Aldi merinding. Ia cepat-cepat memutar ke arah persimpangan yang Ia anggap merupakan jalan yang paling aman untuk saat ini.
******
Kedua mata Mukti lalu terbuka. Buk Ningsih dengan mukena putihnya menggoyangkan kaki Aldi.
“Sumbayang nak! Udah adzan”, tegur buk Ningsih.
Mukti langsung duduk. Ia seperti pernah mendengar suara yang mengumandangkan adzan seperti ini saat masih padang. Tapi ia tak sempat mengingat nama dan wajahnya. Apalagi Mukti memang bukan tipikal Morning Person sejak dari SMA. Mukti lalu berdiri sambil mengerutkan alisnya, Aldi sudah berdiri memainkan irama.
Biografi Penulis
A.Z Har menjadi nama pena bagi Asrul Zulmi. Lahir di Durian Kadap II, Pasaman pada tanggal 8 Maret 2004. Saat ini sedang menempuh Pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang dengan mengambil Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora. Jika pembaca ingin sharing atau berkenalan bisa melalui email : [email protected], instagram : @zulmi1566.
- Cerpen Konvoi Kantuik | Asrul Zulmi - 12 Maret 2025
- Menimbang Minangrantau | Muhammad Nasir - 9 Maret 2025
- Esai – Punkdikbud | Wallcracks - 9 Maret 2025
Discussion about this post