
Zelfeni Wimra (Warga Akhir Zaman)
Mencincang berlandasan, Berkata Beralasan
Ada dua soal yang saya kemukakan di sini: pertama, Bagaimana memahami fitnah dan kedua bagaimana memahami akhir zaman? Alat yang saya tawarkan untuk menemukan jawabannya adalah istifham inkari dan mafhum mukhlafah yang dikembangkan dari glosarium ilmu balaghah dan ma’aniy yang galib difungsikan dalam studi kritik teks dalam sastra Arab, studi Al-Quran dan Hadis, maupun Usul Fikih. Ciri utama kedua metode ini adalah adanya upaya menggali pemaknaan sebuah teks dari sudut pandang terbalik atau maknanya kebenarannya berada di dalik zahir teks. Cara pandang terbalik ini yang selanjutnya akan disorotkan ke arah sekumpulan narasi yang mengandung fitnah akhir zaman.
Pengertian fitnah, bisa dipahami sebagai teks yang tertulis dan terlisankan mengenai suatu perkara yang belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ini adalah Tindakan tercela yang akibatnya lebih buruk daripada pembunuhan (Q.S. Al-Baqarah 191). Makna praktisnya mengerucut pada berbagai bentuk pencemaran nama baik, tuduhan yang tidak benar, dan penyesatan. Secara sederhana, fitnah dapat dipahami dengan ujian; tantangan dalam merumuskan pemahaman, dalam konteks pembicaan ini diarahkan kepada fitnah akhir zaman.
Selajutnya pemahaman terhadap tema akhir zaman dapat dipadatkan ke dalam rumusan tentang periodesasi waktu dan usia bumi yang mengemuka dalam wacana ilmiah tentang waktu akhir yang berpusat pada nasib akhir alam semesta. Indonesia hari ini atau lebih kerucut ke Minangkabau hari ini dengan segala kerumitannya, sebagaimana menguat dalam khutbah pekan lalu, agaknya, dapat disebut sebagai contoh nyata kehidupan yang dipenuhi fitnah akhir zaman itu. Isu-isu keminangkabauan adalah fitnah akhir zaman. Atau dapat pula dibahasakan bahwa di akhir zamannya, Minangkabau dirundung fitnah tiada henti. Frekuensi persoalannya meningkat dari apa yang Hadler kemukakan sebagai sengketa tiada putus menjadi fitnah yang tak kunjung usai; fitnah yang tak henti-henti.
Singkatnya, akhir zaman itu adalah waktu sekarang di mana kita hidup, di tengah kompleksitas fitnah yang semrawut, rumit, banal, dan brutal. Logika normal manusia yang linear sering cedera oleh kenyataan dan peristiwa yang terjadi belakangan ini. Akhir zaman ditandai dengan matinya kepakaran; menguatnya fanatisme buta; runtuhnya keluhuran budaya akibat simplikasi berpikir yang melampaui batas. Banyaknya ditemukan karya ilmiah, karya sastra, musik; film yang menghindar dari estetika berpikir mendalam sebab kehadirannya dimanjakan layanan teknologi berupa kecerdasan buatan. Di saat yang sama, produksi pikiran diburu deadline penayangan, pesanan penguasa dana, dan hasrat untuk viral dalam lintasan lini masa, serta pertimbangan-pertimbangan selera pasar dan godaan meraup cuan lainnya.
Di samping itu, pemahaman objektif sering tidak memadai untuk memahami sebuah realitas, fakta, atau fenomena yang hiper. Pada kondisi inilah, menurut saya, diperlukanlah logika terbalik (fuzzy logic) sebagaimana tertuang dalam metode istifham inkari dan mafhum mukhalafah. Tujuannya untuk mendekonstruksi teks dan perspektif terhadap konteks di mana segala sesuatu dipahami dari arah berlawanan atau dari sisi terdalam yang tidak terpantau oleh objektivitas teori fisika. Penelusurannya harus melampaui fisika, masuk ke ranah metafisika dengan seperangkat metateori yang relevan.
Manfaat dan kegunakaan cara berpikir terbalik atau membalikkan fakta ini sangat sederhana, yakni untuk mengamankan semangat hidup; merawat optimisme, mempertahankan kelucuan dan kegembiraan, agar kehidupan tidak murung, gelap, tanpa harapan, hingga chaos dan banyak orang tersesat ke jalan mengakhiri hidup secara instan, kasat mata, atau secara metaforis. Mengakhiri hidup secara metaforis artinya, tubuh atau kerabang manusianya masih ada, tetapi batin kemanusiaannya sudah kosong. Ada juga yang menyebutnya dengan zombie atau mayat berjalan. Wujuduhu ka ‘adamihi (keberadaannya adalah ketiadaannya itu sendiri).
Premis ini bukan berarti bahwa menggunakan logika linear atau pandangan ilmiah sudah tidak diperlukan lagi. Bukan. Hanya saja, pandangan ilmiah sekarang sedang tercemar polusi fitnah akhir zaman (sebuah masa di mana rezim Merah-Putih baru saja bekerja). Cara pandang kemanusiaan memerlukan kacamata yang beragam untuk mencapai kesimpulan yang dibutuhkan. Kenapa demikian, salah satu argument adalah bahwa ancaman paling buruk terhadap kemanusiaan, menurut perspektif syari’ah Islam adalah terancamnya kenyamanan dan kesehatan akal. Manusia boleh bebas dari pembebanan hukum kalau akalnya sudah tidak sehat atau malah akalnya sudah hilang (la ad-dina li man la ‘aqla lahu).
Oleh karenanya, pada kesempatan ini, saya memandang istifham inkari dan mafhum mukhalafah menemukan momentumnya untuk eksis dan berguna secara lebih efektif dan efisien, terutama dalam menghadapi gempuran produksi teks kebudayaan kotemporer yang menyerbu kita setiap detik, tanpa ampun, tanpa sempat dikonfirmasi atau divalidasi kebenarannya secara sistematis, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Belum selesai kita mengunyah satu menu informasi, menu baru sudah datang dan kita berada di posisi terpaksa melahapnya.
Alur berpikir kritis (critical thinking) yang ditempuh melalui pola pemahaman istifham inkari dan mafhum mukhalafah ini tetap mengikuti siklus yang dilalui setiap narasi: ada author, text, dan reader. Otoritas makna pada mulanya milik author (pengarang). Pengaranglah yang pertama kali memproduksi teks. Dalam konteks sosio-kultural, teks pengarang terbit dari fakta mental (mentifact) dan fakta social (sociofact) pengarang. Kedua fakta inilah yang kemudian memadat menjadi fakta luarannya yakni fakta seni (artefact).
Ilustrasi yang dekat dan terhubung dengan diskusi ini sering saya temukan dalam serial SpongeBob yang tinggal di sebuah tempat poaling rahasia di kedalman samudra: Bikini Bottom.
Berguru Persepsi Waktu ke Bikini Bottom
Memahami realitas sosial secara terbalik sudah pernah terjadi di Bikini Bottom, yaitu ketika hari kebalikan (opposite day) yang konon setiap 25 Januari dirayakan. Pada hari itu,SpongeBob dan Patrick menunjukkan keakraban mereka dengan tetangga meraka: Squidward. Pada saat mereka membangunkan Squidward dan mengucapkan selamat ulang tahun kejutan untuknya.
Squidward berteriak bahwa hari itu bukan hari ulang tahunnya. Ulah perangai mereka membuat Squidward muak dengan SpongeBob dan Patrick. Dia memutuskan untuk pindah dari Bikini Bottom. Dia menelepon Bikini Realty untuk mengatur penjualan rumahnya, sehingga dia bisa pindah dari lingkungan buruk itu. Ketika menonton ini, imajinasi saya langsung membayangkan Minangkabau.
Squidward diperingatkan developer, bahwa jika rumahnya dikelilingi oleh tetangga yang kurang ajar, rumahnya mungkin tidak akan terjual. Squidward yakin bahwa SpongeBob dan Patrick dapat merusak peluangnya untuk menjual rumahnya. Squidward berpikir bagaimana supaya tetangganya itu tidak mengusilinya lagi? Ia dapat ide: bukankah hari ini adalah Hari Kebalikan! Ia lantas memberi tahu SpongeBob bahwa hari ini adalah hari kebalikan, dan setiap orang harus bertindak berlawanan dengan cara mereka biasanya bertindak.
SpongeBob pun dapat ide segera memberitahu Patrick. Keduanya kemudian melakukan hal-hal yang “berlawanan”, seperti berbicara mundur dan bertindak sebagai hewan peliharaan Gary dan sebagainya. Inilah awalnya. Rencana Squidward segera menjadi bumerang baginya. SpongeBob “memperbaiki” (merusak) rumahnya, dan Squidward yang terkejut membersihkan puing-puing dengan buldoser. SpongeBob menyimpulkan bahwa Squidward bertindak seperti dirinya, dan karena itu ia harus bertindak seperti Squidward, yang merupakan kebalikan dari SpongeBob. Ia berbicara dan berteriak sendiri: “Aku Squidward, aku Squidward, aku Squidward!”
Sementara Squidward masih memperbaiki rumah SpongeBob, agen real estate datang, dan SpongeBob dan Patrick berpura-pura menjadi seperti Squidward, mengajaknya berkeliling rumah tanpa penjaga, sambil menggambarkannya secara negatif dan melakukan hal yang sebaliknya dari apa yang dimintanya. Ketika Squidward menyadari apa yang sedang terjadi, ia bergegas ke rumahnya dan mencoba menjelaskan situasi tersebut kepada agen real estat bahwa ia adalah “Squidward” yang sebenarnya. Agen itu memarahi mereka karena sengaja mempermainkannya: “Dia Squidward, dia Squidward, kamu Squidward, aku Squidward! Apakah ada Squidward lain yang belum aku ketahui?!”
Gary datang dengan wajah penuh acar, mirip hidung besar Squidward. Dia mengeong dengan suara seperti Squidward, yang merupakan hal terakhir yang membuat Squidward gusar dan agen keluar dengan marah serta secara resmi menolak penjualan rumah Squidward. Squidward memohon kepada makelar itu untuk menjual rumahnya, tetapi ditolak karena hari kebalikan. Squidward kecewa dan marah.
SpongeBob dan Patrick, tanpa rasa bersalah, mengucapkan selamat hari kebalikan kepada Squidward yang sudah naik pitam. Ia memburu SpongeBob dan Patrock dengan Buldozer. Sambil berlari, SpongeBob meyakinkan Patrick betapa Squidward sesungguhnya sayang dan peduli kepada mereka.
Menjahit Sobekan Realitas
Pengalaman di Bikini Bottom ini adalah cara memahami fitnah akhir zaman paling mudah, yakni dengan membalikkan persepsi terhadap sesuatu. Ketika orang lain marah, maka kita harus memahami orang itu sedang menyayangi kita. Ketika ada orang lain memuji kita, maka sesungguhnya ia sedang menghina kita. Ketika seseorang mentraktir kita makan-minum, sesungguhnya ia sedang meracun kita. Ketika melihat baliho besar pejabat sedang menyunggingkan taringnya, maka dia sesungguhnya tidak sedang inign menerkam kita, tetapi ia sedang tersenyum dan akan mengayomi kita. Dan seterusnya, silakan dikembangkan ke contoh lain.
Untuk mendapatkan konklusi yang berbeda, mari kita terapkan berpikir secara terbalik ini ke hari-hari kita belakangan ini. Ada sebuah pernyataan: Rakyat Sumbar dipimpin oleh seorang yang taat dalam beragama. Itu artinya kita dipimpin seorang Buya yang mengerti dan paham dalam mengekploitasi isu-isu keagamaan. Korupsi meraja lela, itu artinya pertumbuhan dan pemerataan pembangunan meningkat dramatik. Silakan diteruskan melalui contoh lain yang termasuk fitnah kahir zaman.
Tanpa berpikir terbalik seperti demikian pun sebenarnya praktik kehidupan kita juga sudah menunjukkan gejala terbaliknya. Program merumahkan suku pedalaman digulirkan bersamaan dengan pelepasan harimau Sumatra ke habitatnya. Semua orang tahu, bahwa hutan tempat menetap orang pedalaman sama dengan hutan tempat melepaskan harimau. Tidak jauh dari kawasan konservasi itu, atau bersempadan dengannya ada lahan perkebunan milik korporasi raksasa milik seseorang, tentu sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi ketika suku pedalaman berbaur dalam hutan yang sama dengan harimau. Ini belum lagi membahas bagaimana tanah ulayat berselisih batas dengan hutan lindung atau ganti rugi lahan adat untuk pembangkit listrik; jalan tol yang kisruh dan keributannya berdurasi sangat panjang.
Contoh ironi atau paradoks yang lain: jauh sebelum program Makan Bergizi Gratis bergulir, di mana-mana, tersiar anjuran mengurangi makan nasi beriringan dengan riset serentak di seluruh dunia tentang ancaman penyakit gula. Kandungan glukosa atau entah zat apa namanya yang terdapat dalam nasi itu berbahaya bagi kesehatan dan normalisasi gula darah. Sebelumnya, masih di pulau kelapa ini juga, ada riset tentang bahaya mengonsumsi makanan berminyak dan dimasak dengan santan kelapa, beriringin dengan kampanye mengonsumsi minyak merah yang diolah dari sawit dan kampanye minyak jagung; minyak zaitun yang ujung-ujungnya membutuhkan serapan dana untuk belanja import.
Demi swasembada pangan, rakyat disuruh merawat sawah, tapi saat ada rakyat yang berhasil mengembangkan bibit padi, ia ditangkap sebab tidak mengikuti prosedur perizinan. Sembari itu, pada sisi kota bagian tepi, sawah pelan-pelan berganti perumahan. Rumah-rumah itu bagaikan kurap basah yang menjalari pangkal paha. Para datuk, mamak kepala waris dan pengembang perumahan, gelak terbahak di ruang seminar hotel berbintang. Selain itu, ketika ingin membangun beli tanah dan bangun rumah kalian juga diharuskan membayar pajak penjual dan pajak pembeli sekaligus pajak bangunan. Tanpa pajak dari rakyat, daerah ini, kota/kabupaten ini, provinsi ini, negara, jelas tidak bisa berbuat banyak.
Pada zaman yang sama, para pelukis, sutradara teater dan film, juga musisi, menciptakan karya seni yang bersumber kritik dan kegelisahan estetik mereka, namun menyinggung kalangan intitusi negara dan kalangan elit tertentu, lalu proses kreatif kekaryaan mereka dibuat tidak nyaman dan tidak mendapatkan ruang ketersiaran yang memadai. Penulis buku yang mengkritisi kedunguan dalam tata negara, akan diasingkan, bahkan penulisnya bisa dipanggil aparat keamanan dan dimintai keterangan.
Sementara itu, arahkan pandangan ke jalan raya yang kehilangan trotoar dan pohon pelindung para pengendara desak-desakan. Secara tidak resmi, di lampu merah, penadah bantuan alias pengemis (mayoritas perempuan) badut dan manusia perak bergerak mengejar empati. Petugas parkir di mana-mana. Pelaku usaha yang memadati jalan. Di balik semua itu, secara resmi, ada aturan tentang pengentasan kemiskinan dan kebodohan dari masyarakat melalui kedinasan atau lembaga filantropi yang mencantumkan kebodohan dan kemiskinan di dalam agenda mereka. Silakan dipahami secara terbalik, agar kenyamanan susunan sistem syaraf kita tidak terlalu terganggu oleh fitnah-fitnah akhir zaman tersebut.
Sebenarnya, dalam perpustakaan kebudayaan kita, ada banyak metodologi memahami realitas kontemporer di negeri ini, namun menggunakan logika terbalik atau merumuskan pandangan dengan mafhum mukhalafah (makna yang tersembunnyi) atau istifham Inkari (makna kebalikan dari teks) adalah cara yang menyenangkan. Cara ini tidak hanya membongkar kebenaran, tetapi juga dapat dijadikan sebagai hiburan di tengah kehidupan akhir zaman yang berisik dan diserbu fitnah tak henti-henti.
Mari kita terus gunakan pelan-pelan, misalnya diawali dengan pertanyaan: ada apa di balik prediksi gempa besar dipatahan semangka; prediksi Indonesia bubar di tahun 2030; pulau Jawa akan tenggelam? Ada apa lagi gerangan setelah oplosan bahan bakar minyak, emas palsu, pengadaan palsu bergema di tengah kita sebagai la belle noiseuse (suara brisik yang berimpitan) sepeti galodo tagar #KaburAjaDulu.
Refleksi Penutup
Akhirul kalam, kalau istifham inkari dan mafhum mukhalafah ini digunakan untuk memahami narasi dua khutbah pekan lalu, maka kesimpulan yang mengejutkan akan muncul. Pertama, bahwa khutbah pada hari pertama yang disampiakan buya Aidil Aulya tentang Distopia Miangkabau yang kacau kabirau, sesungguhnya adalah ekspresi tentang utopia; keluhuran, kedigdayaan, kehebatan, keistimewaan, dan kualitas cinta ke Minangkabau yang melimpah ruah. Kedua, Khutbah yang disampaikan Buya Tan Kari Muhamamad Nasir tentang Menimbang Minangrantau yang secara jernih memandang sisi lain dari Minangkabau di rantau, yang elok, anggun, enigmatik, dirindukan, penuh pesona, sesungguhnya adalah pembicaraan soal betapa mual dan muaknya ia melihat kepribadian orang Minang akhir zaman baik di ranah, apalagi di rantau. Gagasan keminangkabauan tidak lagi menubuh ke dalam laku harian masyarakatnya.
Fa’tabiru ya za-ulal afkar
Afkaruka aqdaruka
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
- Telah Tayang! Single kedua Andip berjudul ‘Aku Paham Itulah Jarak’ - 23 April 2025
- KRITIK SENI PERTUNJUKAN RAPA’I DABOH OLEH Acara HUT Bhayangkara di Banda Aceh - 23 April 2025
- Gairah Literasi dan Dunia Baca Anak Muda | Muhammad Nasir - 20 April 2025
Discussion about this post