Aku pun pulang seorang diri sore itu. Dengan hati kalut bercampur takut setelah lama mencari Unai tapi tidak menemui dirinya di tempat kami memburu burung-burung liar yang hidup di hutan itu—dengan senapan angin yang kubuat sendiri. Aku pun langsung bergegas kembali ke rumah. Walaupun amak1 dan apak2 pasti akan memarahiku nantinya, saat mereka tahu aku pulang seorang diri tanpa Unai, adikku itu. Tentunya aku harus siap menerima resiko itu bila nanti mereka kalap dan menceracauiku.
Seperti inikah orang macamku yang tahu kalau sudah melakukan kesalahan selalu dihantui rasa kalut dan takut serta alih-alih diserapahi pula?
Sebelum senja tiba, aku langsung membelah hutan itu untuk sampai ke rumah. Menurut angku3 jika bermain sampai ke hutan disarankan sebelum sore tiba harus keluar dari tempat itu. Jika tidak hantu aru-aru4 akan keluar dari persembunyiannya lalu mengusili dan menjahili orang-orang yang tersesat di dalam hutan atau anak nakal yang main terlalu jauh dari rumah untuk disembunyikan. Maka siap-siap saja jika ‘terperangkap’ oleh hantu itu dan tidak akan mudah kembali pulang.
Inilah yang aku takutkan terjadi pada Unai. Aku diliput kekhawatiran yang meraja.
Setiba di rumah kulihat amak dan apak sudah di depan rumah. Mereka menunggui kami pulang dari memburu burung-burung liar di hutan. Tampak dari muka tua mereka ada kerisauan yang meraja. Asbab, sudah hampir menjelang sore bujang-bujang mereka belum kembali ke rumah.
Dengan wajah pasi dipenuhi keringat dingin sebesar biji jagung aku pun akhirnya menghampiri mereka. Tentunya dengan hati penuh kecemasan dan ketakutan. Alih-alih aku takut apak dan amak akan menyerapahiku sebagai anak bujang ceroboh dan pekak5. Atau, seorang kakak yang tidak becus menjaga adiknya padahal main bersama-sama. Semua itu kini tertampung di benakku. Mau tidaknya, aku harus siap menerima apa pun resikonya termasuk mendengarkan ocehan-ocehan mereka padaku.
“Zul, mana Unai?” amak langsung menodongku sebelum aku mengatur nafas.
“Iya, mana adikmu, Zul! Jangan bilang adikmu itu hilang di hutan!” apak menimpali.
Aku yang diberondong pertanyaan macam itu mendadak lidahku kelu dan kaku. Aku tidak bisa bersuara apalagi mengatakan sepatah kata. Bumi yang kupijak mendadak terasa lengket dan menempel di kaki, tidak bisa aku gerakkan kembali.
“Baiklah! Kalau kamu diam berarti ada yang tidak beres!” amak langsung menyudutkan aku.
Kulihat mata apak langsung berkilat. Seperti mata elang yang mau menerkam mangsanya.
“Ya, sudah apak tidak akan memarahi kamu. Sekarang tugas kamu minta tolong panggilkan jorong6 dan para warga kampung untuk minta bantuan beramai-ramai mencari Unai di hutan!”
Ahhh…, akhirnya aku bisa bernafas lega sebelum aku mengatakan sebenarnya apak sudah lebih dulu mengatakannya. Tadi kukira apak akan murka sekali padaku saat tahu anak bujangnya ini tidak becus dan meneledorkan adiknya di dalam hutan. Usai itu tidak banyak kata, kulakukan apa yang diperintahkan apak. Namun aku lebih dulu membersihkan badan.
“Oya, jangan lupa kamu asar dulu. Minta pertolongan-Nya agar dimudahkan bertemu dengan adikmu,” apak memberitahukanku sebelum aku membersihkan badan.
Aku mengangguk. Setelahnya melangkah gontai ke kamar mandi.
Itulah sifat apak yang tidak bisa diduga. Walaupun dalam keadaan kesulitan atau sedang dilanda kekhawatiran ia tetap selalu bersikap bijak. Beruntung aku memiliki figur apak seperti itu. Sebagai anak-anaknya tentu sangat menginginkan hal itu.
***
Tidak lama kemudian jorong dan para warga sudah berkumpul di depan rumah kami sesuai dari perintah apak untuk meminta bantuan kepada mereka untuk mencari Unai di hutan. Di mana tempat aku dan Unai memburu burung-burung liar yang ada di sana. Sedangkan apak mempersiapkan segala sesuatu untuk dibawa oleh mereka sebagai perisai saat nanti di hutan.
“Kenapa bujangmu bisa sampai berada di hutan sana, Sul?” jorong membuka suara pada apak untuk mencairkan kebekuan sebelum kami berangkat ke hutan mencari Unai.
Apak yang ditanya seperti itu matanya langsung menatap ke arahku. Aku yang tahu menjadi pusat perhatian apak hanya tertunduk, lesu. Kemudian beralih pandang ke jorong yang menanyakan sebab Unai kenapa bisa berada di hutan yang menurut warga kampung Kanagaria hutan itu angker.
“Ya, namanya juga anak-anak jika sudah sudah main tidak mengenal waktu apalagi yang membahayakan dirinya,” jawab apak sekenanya.
Setelah itu apak memberikan aba-aba kepada para warga untuk segera mencari Unai di hutan. Sedangkan aku menjadi ‘kompas’ penunjuk arah mereka. Karena akulah yang lebih tahu kemana saja aku memburu burung-burung liar di dalam hutan itu bersama Unai. Itu semua atas arahan apak agar akulah yang menjadi penunjuk jalannya.
***
Setiba di hutan kami pun langsung berpencar. Kami berbagi beberapa kelompok untuk pencarian Unai. Tidak lupa kami masing-masing membawa perlengkapan atau peralatan untuk mencari Unai dan juga untuk menyelamatkan diri masing-masing. Di antara mereka ada yang membawa kentongan, senter, kelewang7, dan benda-benda yang menurut keyakinan kami bisa menangkis atau menyelamatkan diri. Bukan itu saja untuk berlindung dari makhluk astral. Di antara kami pula juga ada yang membawa garam, bawang putih dan bambu kuning serta daun kelor. Semua kami lakukan agar bisa terlindung dari hal apa pun saat mencari Unai berlangsung di hutan.
Akhirnya kami pun mulai melakukan pencarian itu. Dengan berbagi kelompok kami berpisah mencari Unai. Sedangkan aku berkelompok dengan apak. Mungkin ia khawatir jika aku bergabung dengan yang lainnya. Lagi-lagi itulah apak dalam keadaan seperti apa pun ia selalu mementingkan keselamatan anaknya.
Lama, dalam pencarian itu. Sampai malam menjelang pun kami tidak merasakannya. Tapi tetap nihil, tidak ada hasil yang kami dapatkan. Kami tidak menemukan Unai. Padahal malam semakin merambat pekat. Tidak mungkin pencarian itu dilanjutkan. Apalagi hutan yang kami masuki menurut desas-desus hutan itu angker dan banyak hewan liar serta buas berkeliaran.
Akhirnya jorong pun memberitahukan para warga untuk menghentikan pencarian Unai malam itu. Sebab akan bahaya bila dilanjutkan pencarian itu. Apalagi saat mereka keluar dari hutan bau anyir langsung merebak.
“Baiklah para warga semua pencarian Unai kita lanjutkan esok pagi saja. Bila kita paksakan pencarian ini tentu akan membahayakan diri kita sendiri. Maka dari itu Bapak-bapak untuk bisa menerima keputusan ini…”
Usai mendengar pemberitahuan dari jorong para warga tidak ada yang membantah. Mereka langsung melanjutkan keluar hutan untuk menuju ke rumah masing-masing. Begitupun dengan aku dan apak. Kami hanya mengikuti perintah jorong. Karena ia-lah ketua dalam pencarian Unai itu.
***
Dan di lain tempat, dari kejauhan hutan ini. Saat kami ingin keluar dari hutan dan ingin kembali ke rumah. Amak hanya seorang diri saja di rumah.
Ternyata di sana, di rumah, amak di datangi oleh sosok Kakek tua berambut putih, berjenggot putih dan memakai mirip sorban di kepalanya berwarna putih pula. Hingga bila dilihat secara seksama semua didominasi dengan warna putih. Amak yang didatangi sosok itu pun terkejut. Apalagi saat dilihat kembali di bahu sosok itu ada Unai yang terlelap dalam gendongannya. Seperti Kakek yang sedang menidurkan cucunya.
“Aku hanya mengantarkan anakmu ini saja!” ucap sosok itu.
“Jangan dibangunkan, dia sedang terlelap,” lanjutnya.
Amak tidak langsung menerima Unai dari tangan Kakek itu. Sosok itu mengingatkan pada dirinya sewaktu kecil yang sama pula dialami pada diri amak. Tapi antara kejadian yang dialami amak sewaktu kecil dulu dan Unai hanya berbeda permasalahan. Jika amak saat itu tersesat, tertinggal dari teman-temannya semasa kecilnya seusai mandi di sungai melewati hutan. Amak yang tahu dirinya tersesat hutan kala itu ia hanya bisa menangis, terisak.
Aneh, saat amak sedang menangis seorang diri tetiba ia dihampiri oleh Kakek tua untuk membantunya pulang ke rumah. Kakek itu berambut putih, berjenggot putih dan memakai mirip sorban di kepalanya berwarna putih pula. Ia sangat ramah pada amak saat itu.
Tidak butuh lama Kakek tua itu mengantar amak ke rumah. Saat itu keadaan rumah dalam keadaan sepi. Usai itu ia langsung meninggalkan amak seorang diri. Tapi karena amak saat itu masih kice8 ia langsung mengejar Kakek itu dan menanyakan siapa sebenarnya lelaki tua berambut putih yang berada di hadapannya.
“Kakek sebenarnya siapa? Tahu-tahu kok sudah ada di hadapanku saat aku sedang meratap karena tersesat,” ucap amak saat itu.
“Aku ini masih ada hubungan darah pada ayahmu itu. Dan hutan adalah tempatku! Maka dari itu siapa pun ia bila darahnya masih sama denganku kemana pun aku akan selalu menjaganya. Seperti yang aku lakukan ini padamu! Nanti jika kamu besar akan tahu siapa aku sesungguhnya setelah akan diberitahu ayahmu,” panjang lebar lelaki renta berjenggot putih itu memberitahukan.
Amak saat itu hanya manggut-manggut saja. Walaupun dalam benak kecilnya masih penasaran.
Kini hal itu amak alami kembali dan ia mulai menyadarinya jika Kakek yang membawa Unai adalah moyang dari keturunan keluarganya yang memutuskan dirinya untuk selalu menjaga kelestarian hutan dan ketentraman dari tangan-tangan jahil yang ingin merusak hutan dengan cara menebang liar. Bukan itu saja juga melindungi keturunan dari mara bahahaya seperti yang amak lihat saat itu. Kakek ringkih itu membawa Unai.
“Iya, aku yang dulu membantumu tersesat di hutan seusai mandi di sungai,” ucap Kakek itu tersenyum sambil membuka memori kecil amak. “Ya, sudah aku tidak ingin berlama-lama menemuimu! Khawatir nanti keberadaanku diketahui warga kampung. Ini ambil Unai dari tanganku,” lanjutnya.
“Baik, Kek!”
“Oya, sekarang kamu tidak perlu lagi risau apalagi khawatir apabila anak-anakmu itu bermain ke dalam hutan karena masih ada aku! Aku akan selalu menjaga keturunanku sampai kapan pun,” sebelum sosok itu meninggalkan amak terlebih dulu ia memberikan pesan.
Amak yang mendengarkan pesan itu hanya mengangguk saja. Mungkin ia masih dalam keadaan tidak percaya. Jika ia bisa bertemu inyak9 itu kembali disaat keadaan yang sedang risau dan khawatir dikarenakan Unai tersesat di hutan.
Tapi saat amak ditemui sosok itu—dan membawa Unai dalam keadaan terlelap amak bisa tersenyum dan bahagia. Lagi-lagi Unai sudah ditemukan dan ia bisa bertemu kembali dengan sosok yang membantunya sewaktu kecil dulu.
Usainya, sosok itu pun meninggalkan amak setelah mendapatkan pesan darinya. Dan amak langsung membawa Unai ke dalam kamar untuk dibaringkan.
***
Tidak berapa lama kemudian saat kami bersusah payah mencari Unai namun belum ada hasil—dan dilanjutkan keesokkan harinya. Kami pun tiba di rumah dengan penuh lunglai dan lelah. Aku dan apak pun disambut amak dengan wajah semringah. Sebelumnya para warga sudah membuyarkan diri mereka lebih dulu untuk kembali ke rumah masing-masing.
Aku dan apak heran melihat amak tidak menampakan kerisauan dan kekalutan di wajah tuanya melainkan ini memancarkan cahaya dan berseri-seri. Tentu saja apak pun terkejut apalagi aku. Unai belum ditemukan tapi amak tidak menaruh rasa apa-apa. Aku menjadi penasaran.
Dan saat aku ingin memberitahukan bahwa pencarian Unai belum mendapatkan hasil, amak langsung memberitahukan jika Unai sudah pulang bahkan sedang tertidur pulas di kamarnya. Lagi-lagi ini membuat aku tidak percaya. Sedangkan apak sedang beristirahat di ruang tamu.
“Silakan saja kamu lihat adikmu di kamar! Dia baik-baik saja kok, Sayang!” seru amak memecahkan penasaranku.
Kaki kecilku pun langsung menuju kamar Unai. Dan saat aku ingin masuk ke kamar Unai betapa terkejutnya aku ketika melihat ada seekor harimau di dekat Unai. Aku yang melihat hewan buas itu mendadak bulir-bulir kristal dingin mengguyur sekujur tubuhku. Ingin teriak tapi suaraku tidak keluar, seketika tenggelam di tenggorokan. Apalagi saat harimau itu perlahan-lahan ingin mendekatiku saat aku melihatnya bersama Unai yang sedang terlelap. Karena aku tak sanggup lagi untuk melihat apa yang akan dilakukan harimau itu kepadaku. Aku pun langsung tak sadarkan diri. Saat itu aku tidak ingat apa-apa lagi.[]
Keterangan :
- Amak : Emak atau Ibu
- Apak : Ayah atau Bapak
- Angku : Kakek
- Hantu aru-aru : Hantu yang menghuni atau penghuni di dalam hutan yang dipercayai sebagian masyarakat Sumatera. Hantu ini suka jahil dan usil, selalu menyembunyikan korbannya apalagi jika itu anak-anak kecil
- Pekak : Nakal
- Jorong : Ketua kampung (desa) atau tokoh masyarakat
- Kelewang : Senjata khas Sumatera Barat
- Kice : Kecil
- Inyak : Raja rimba yang diyakini menjaga tanah Melayu dan Minangkabau. Namun ada yang memercayai jika itu adalah wujud jelmaan leluhur yang bisa menyerupai seorang lelaki tua (kakek)
Bionarasi Penulis
KAK IAN, penulis dan aktivis anak. Kini aktif/juga founder di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya sudah termaktub di koran nasional dan lokal. Karya-karyanya telah termaktub di Kompas Minggu Klasika, Padang Ekspres, Solopos, Minggu Pagi, Merapi, Fajar, Riau Pos, Haluan, Radar Surabaya, Radar Banyuwangi, Radar Bromo, Radar Madiun, Pontianak Post, Medan Pos, Malang Post dll. Serta penulis pernah menjuarai berbagai lomba kepenulisan baik menulis cerita anak (CERNAK), cerpen, puisi, dan cerita remaja (CERMA) maupun artikel. Penulis juga sedang menekuni menjadi pendongeng ini sudah memiliki buku solo maupun antalogi. Karya terakhirnya, “Kumpulan Cerita Remaja : Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama. Penerbit Mecca, Desember 2019.” “Kumpulan Cerpen : Hikayat Kota Lockdown, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.”
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post