Sebelum kiamat kecil itu terjadi di Distrik Seocho, Seoul.
Saat ini aku berada di lantai dasar Sampoong Department Store, sambil menikmati semangkuk bingsu, seusai dari bank untuk menansfer beberapa won ke kantong rekening Yoon Kye. Bukan itu saja sambil menunggu matahari terbenam, baru kumulai lagi melanjutkan perjalanan pulang ke platku. Berharap esok matahari tidak begitu terik seperti saat ini. Supaya aku bisa bersiap-siap dari sekarang untuk menyiapkan kedatangan Ibu dan Yoon Kye dari kampung. Mereka ingin sekali menemuiku sekaligus ingin ke mall terbesar di Distrik Seocho ini di mana sekarang aku tinggal.
Yoon Kye merupakan keponakanku. Ia anak dari adik perempuanku nomor dua. Ia saat ini tinggal di Gamcheon bersama ibuku. Sedangkan ibu Yoon Kye sendiri (yang juga merupakan adik perempuanku) sudah tutup mata selamanya seusai melahirkan Yoon Kye. Sedangkan aku anak sulung dari ketiga anak yang Ibu lahirkan dari satu lubang rahimnya.
Aku anak nomor pertama yang laki-laki. Sedangkan nomor dua dan tiga adalah perempuan. Tentu saja sebagai tulang punggung keluarga, setelah Ayah kami koma beberapa bulan lamanya. Lalu tutup usia karena terjatuh di kamar mandi. Akulah yang dibebankan oleh Ibu sebagai pengganti Ayah. Terlebih adik perempuanku yang nomor tiga. Alias, si Bungsu, ia pergi merantau ke Jeju untuk kerja seperti diriku ini. Jadi aku pun harus lebih peduli dan memerhatikan Ibu di kampung yang padat penduduk dan kumuh itu.
Menurut Ibu dan Yoon Kye, mereka akan segera datang mengunjungiku sekaligus bisa menjejaki mall terbesar di Seoul—yang saban hari di lihatnya dari kotak ajaib. Apalagi Ibu ingin sekali naik escalator, begitu kata Yoon Kye saat memberitahukanku lewat pesan singkat di ponselku. Hm, ada-ada saja keinginan ibuku satu itu.
Malam harinya aku mendapatkan telepon dari kampung halaman. Namun aku tidak langsung mengangkatnya dikarenakan saat itu aku sedang di kamar kecil. Sudah berapa kali aku mondar-mandir dikarenakan perutku tidak bisa dikompromi. Aku tidak tahu seharian tadi makan apa yang pasti membuat perut sangat mulas sekali.
Seusai dari kamar kecil barulah aku meraih ponselku yang sejak tadi berbunyi. Namun sudah beralih menjadi pesan masuk yang kuterima. Ternyata Yoon Kye memberitahukan soal won yang kutransfer ke rekeningnya untuk biaya Ibu dan dirinya menemuiku. Ternyata sudah masuk dengan selamat.
Paman Han Kyu, uang yang Paman kirimkan kemarin sudah masuk. Tapi jumlahnya kok besar sekali. Terus Nenek kirim salam pada Paman. Jangan lupa makan teratur dan jaga kesehatan agar bisa ketemu kami dalam keadaan sehat walafiat nantinya.
Begitulah pesan yang kuterima dari Yoon Kye dari ponsel yang aku kirimkan tiga bulan lalu untuk dijadikan sebagai alat komunikasi kami terutama pada Ibu. Ah, aku jadi tidak sabar menunggu mereka menampakkan kaki di kota ini. Terlebih ibuku ingin sekali mengunjungi Sampoong Department Store untuk yang pertama kalinya.
Baiklah! Terima kasih atas pemberitahuannya. Salam balik buat Ibu. Oya, nanti kita ketemu langsung saja di Sampoong Department Store saja. Kamu nanti naik taksi warna putih saja bersama Ibu biar lebih cepat tiba di sana ketimbang harus ke plat Paman lebih dulu. Nanti akan memakan banyak waktu.
Klik. Send. Kubalas pesan Yoon Kye secepatnya mungkin sekaligus memberitahukan tentang pertemuan kami nantinya. Usai itu kulanjutkan aktivitasku untuk menyiapkan makan malam.
29 Juni 1995, Distrik Seocho, Seoul, kiamat kecil itu akhirnya terjadi.
Sial aku lagi-lagi bangun kesiangan. Kulihat jam digital di ponselku sudah menunjukkan pukul 13.30. Aku pun segera menuju ke kamar mandi dengan terburu-buru. (Saat itu aku belum tahu jika Ibu dan Yoon Kye sudah berada di Sampoong Department Store. Lebih tepatnya di resto cepat saji khusus menyajikan makanan Korea. Mereka sedang menungguku. Apalagi Yoon Kye beberapa kali menghubungi aku lewat ponsel baik pesan singkat maupun meneleponku). Seusai membersihkan tubuhku kemudian aku menyambar remote televisi yang tergeletak di bawah kaki meja tamu. Lalu kuhidupkan plasma sebesar 29 inch yang menempel di tembok platku.
Klik. Plasma sebesar 29 inch pun mematulkan cahaya. Kemudian menampilkan sebuah berita yang membuatku tak bisa berkata-kata. Berita yang tak kuat aku saksikan lebih lama lagi.
Para pemirsa sekalian di rumah. Hari ini Sampoong Department Store telah porak poranda. Mall termegah di Distrik Seocho, baru saja runtuh dan memakan banyak korban jiwa. Namun berapa banyaknya jumlah korban jiwa belum kami ketahui. Namun pastinya nanti kami akan kembali melanjutkan siaran langsung ini. Saat ini reporter kami sedang berada di tempat lokasi kejadian. Maka tetaplah bersama kami…!
Tanpa mematikan pembawa berita itu mengoceh di saluran yang tidak disengaja kupecet. Aku pun langsung angkat kaki seribu. Lari secepat mungkin menuju Sampoong Department Store dan tidak lupa kusambar ponsel yang tergeletak seperti biasanya untuk aku berkomunikasi pada Yoon Kye.
Dalam keadaan terburu-buru dan panik aku pun langsung menyambar taksi pribadi di tengah jalan agar lekas cepat jalan. Tidak lupa dalam keadaan seperti itu aku pun mencoba menghubungi Yoon Kye berapa kali dari balik sambungan ponselku. Tapi tidak ada jawaban. Namun aku baru tersadar jika ponselku banyak pesan dan panggilan masuk dari Yoon Kye.
Paman Han Kyu, aku bersama Nenek sudah ada di resto khusus makanan Korea yang Paman beritahukan padaku. Sekarang aku bersama Nenek sedang makan. Maklum kami sangat kelaparan. Ditunggu secepatnya ya Paman karena Nenek rindu sekali sama Paman.
Saat aku membaca pesan dari Yoon Kye di atas taksi mataku terus mengeluarkan airmata. Apalagi sebelum membaca pesan itu aku berapa kali menghubungi Yoon Kye tapi sama sekali tidak ada kehidupan. Ponselnya tidak aktif.
Saat di dalam taksi dengan keadaan lunglai aku pun terus mengutuk diri sekaligus menyesali atas kebiasaanku selalu bangun kesiangan bila malamnya tidak bisa tidur. Terlebih saat aku bangun kesiangan dan tidak bisa lagi mengetahui keadaan Ibu dan Yoon Kye saat itu. Aku masih terus mengutuk dan menyesali diri.
Tapi entah kenapa di saat itu bayangan Ibu menari-nari di pelupuk mataku seketika. Aku melihat Ibu saat itu sangat bersedih ketika kungin memutuskan merantau untuk mencari penghidupan dan perbaikan ekonomi keluarga. Namun saat itu tekadku sudah bulat aku pun pergi juga ke kota untuk memiliki masa depan yang cerah pula.
Salju saat itu begitu deras turun saat aku meninggalkan Ibu dan Yoon Kye yang masih ingusan. Mereka begitu sedih saat aku harus berpisah pada mereka. Begitupun aku saat itu tak sanggup untuk menoleh ke belakang saat kutahu mereka sangat bersedih atas keputusanku merantau ke kota. Tapi aku harus bertekad untuk mengalahkan rasa kesedihan itu atas perpisahanku pada mereka. Lagi pula aku melakukan itu untuk kebaikan semua dan juga memperbaiki perekonomian keluarga kami.
Degh. Aku terkejut. Ponselku hampir terjatuh saat supir taksi itu memberitahukan aku secara tetiba,
“Tuan, maaf saya tidak bisa cepat-cepat karena sedang macet total. Lagi pula banyak para polisi lalu lintas sedang merekayasa jalan demi keamanan para pengendara. Terlebih seusai mall itu runtuh. Bagaimana ini, Tuan?”
Brengsek, dalam keadaan genting begini polisi seenaknya mengubah jalur jalan! Pikirku setelah suara supir taksi itu membuyarkan lamunanku.
“Cari jalan pintas, Goblok! Kau bagaimana sebagai supir senior tidak bisa mencari solusi.”
“Maaf Tuan untuk saat ini saya tidak bisa melakukannya karena semua jalur ditutup.”
“Ya, sudah! Aku turun di sini? Turunkan! Ini uang bayaranku. Brengsek kau!”
Aku pun lari sekuat tenaga menuju mall yang menjadi kebanggaan warga Seoul yang kini sudah porak poranda. Aku pun terus lari dan lari. Setiba di sana…
Sialan! Aku dilarang masuk oleh para polisi. Saat itu garis polisi sudah membentang di mana-mana ketika kutiba. Aku hanya bisa terpaku begitu juga dengan semua keluarga yang menjadi korban runtuhnya mall itu. Aku melihat bangunan berwarna pink yang ada di hadapanku tiada daya apalagi sudah melebur dengan tanah tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa terus mengisak. Semua airmata sudah kering. Hanya pengutukkan diri dan penyesalan yang ada. Dalam keadaan seperti itu tetiba mataku gelap. Kepalaku pusing. Seketika kunang-kunang menyerbuku. Mungkin ini karena aku belum sama sekali menyentuh makanan saat usai mendengar berita tadi. Aku sudah tak tahu lagi saat itu.
***
“Ibuuu….!”
Sontak aku bangkit dari mati suriku sambil berteriak di bangsal di mana aku dirawat. Saat itu kulihat ada seorang wanita muda berseragam hijau muda sedang melakukan pemeriksaan rutin. Ia sedang ingin menukar tabung infusku yang sudah tandas.
Ternyata ia seorang perawat. Melihat keadaanku yang tidak menentu. Ia pun langsung menghampiri aku untuk melunakan hatiku dan juga menenangkan pikiranku.
“Tidak aku harus melihat kondisi Ibu dan keponakanku. Aku ingin melihat mereka!” teriakku saat itu tak peduli siapa pun.
“Sabar, Tuan! Semoga besok Tuan sudah bisa melihat Ibu dan keponakan Tuan. Untuk saat ini lebih baik tenangkan kondisi Tuan dulu. Mohon Tuan kerjasamanya? Ini di rumah sakit! Lebih baik Tuan istirahat saja agar bisa kembali sehat.”
Aku pun mengiyakan saja ucapan perawat itu sekaligus mengatur nafasku yang tidak terkontrol. Karena aku masih ingin sekali melihat kondisi Ibu dan Yoon Kye.
“Baiklah, Tuan! Saya tinggal dulu. Semoga Tuan bisa menenangkan hati dan pikiran Tuan. Doakan saja Ibu dan keponakan Tuan bisa kembali bertemu.”
Usai perawat itu menghiburku dengan ucapannya. Ia pun lalu meninggalkan aku di bangsal yang tidak kusukai ini. Aku pun menginstirahatkan diriku dan kembali terlelap tidur. Dan dalam tidur itu aku, Ibu dan Yoon Kye berada di sebuah taman yang indah sekali. Ibu dan Yoon Kye terus memanggilku dan aku terus mengejarnya tanpa henti. Namun aku tidak berhasil meraih tangan Yoon Kye apalagi memeluk Ibu.
Bersamaan dengan itu di rumah sakit di mana aku dirawat, di ruang lobi tunggu. Sebuah berita terkini bergema di kotak ajaib. Menyiarkan para korban jiwa yang selamat dan tewas karena runtuhnya mall termegah itu. Dan dari salah satu yang menjadi korban tewas itu ternyata ada Ibu dan Yoon Kye saat pembawa berita mengumumkan nama-nama korban jiwa yang tewas karena runtuhnya Sampoong Department Store.
Saat itu aku masih di bangsal dimana aku dirawat. Aku terus didera oleh rasa penyesalan yang meraja sesekali mengutuk diri. Bahkan bila tidak ada perawat yang saat itu datang mengontrolku mungkin saat ini aku sedang bersama Ibu dan Yoon Kye. Aku ingin bersama mereka saja ketimbang kembali ke kampung halaman.[]
Cerpen ini terinspirasi dari peristiwa rubuhnya mall/pusat perbelanjaan termegah di Distrik Seocho, Seoul, Korea Selatan bernama Sampoong Department Store pada 29 Juni 1995, yang merupakan bencana terbesar pada masa damai dalam sejarah Korea Selatan yang telah menewaskan 502 orang dan melukai 937.
Keterangan :
1. Sampoong Department Store : Sebuah nama mall/pusat perbelanjaan di Distrik Seocho, Seoul, Korea Selatan dan merupakan mall/pusat perbelanjaan termewah saat itu. Sebelum tragedi 29 Juni 1995 terjadi yang merupakan bencana terbesar pada masa damai dalam sejarah Korea Selatan yang telah menewaskan 502 orang dan melukai 937.
2. Bingsu : Es serut yang diberi topping kacang merah, buah-buahan, kue beras, susu manis, es krim, dan sirup buah. Di musim panas, masyarakat Korea Selatan juga sering mengonsumsi sebagai dessert.
3. Won : Mata uang Korea Selatan.
4. Gamcheon: Kampung terkumuh dan miskin di Busan, Korea Selatan. Pada 1950-an, selama perang, Gamcheon merupakan tempat para pengungsi melarikan diri. Beberapa orang pindah ke Gamcheon karena penduduknya sangat miskin. Kemudian warga mulai bekerja dan mendapat uang untuk membangun desa dengan tumpukan bata. Gamcheon hanya punya satu kabupaten pada masa lalu, tapi sekarang ada sembilan.
5. Escalator : Tangga berjalan
6. Taksi warna putih : Di Seoul taksi dibedakan menjadi dua bagian yakni taksi mewah (pribadi) berwarna putih, orange, perak dan hitam. Sedangkan yang biasa di luar dari warna itu.
__________________
Profil Penulis
Kak Ian, penulis, pengajar dan penikmat sastra. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di koran nasional dan lokal serta media online lainnya di antaranya; Majalah Zakat Sukses, Majalah Kelasa Balai Bahasa Lampung, Majalah Anak Adzkia, Majalah Utusan, Majalah Ummi, Koran Tempo, Kompas Nusantara Bertutur, Solopos, Pontianak Pos, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Satelit Pos, Malang Pos, Analisa, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Mojokerto, Padang Ekspres, Haluan, Rakyat Sumbar, Singgalang, ayobandung.com, magrib.id, litera.co.id, merawai.com dll. Bukunya yang telah terbit “Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama” Penerbit Mecca, Desember 2019. “Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown”, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020.
Discussion about this post