
Tubuhnya tipis serupa papan triplek murahan. Kini tubuh itu sempoyongan, seperti akan terbang dibawa angin yang berhembus. Takut akan jatuh, Yusuf, lelaki kerempeng paruh baya itu berpegangan pada sebatang pohon. Ia baru saja turun dari bus yang ditumpangi dari pulau Jawa ke tanah kelahirannya. Perjalanan selama dua hari tiga malam di atas bus dirasakannya bagai berada dalam karung peraman pisang; ujung-ujung jari kakinya turut membengkak.
Sembari mengokohkan posisi berdiri di tepian jalan raya, ia tukikkan pandangan jauh ke depan. Ia berdecak kagum bercampur heran. Tanah kelahirannya kini sudah jauh berubah. Hamparan sawah dan gerombolan pohon telah berganti menjadi jalan aspal bertrotoar. Rumah gadang yang dulu akrab dengan masa mudanya, kini berganti dengan rumah berfondasi cakar ayam. Berjejer-jejer dengan arsitektur minimalis bak bangunan elit di kota Jakarta. Yusuf melongo, ia merasa asing dalam perubahan tanah kelahiran yang semula tidak pernah dibayangkannya.
Ia seret langkah menuruni tikungan di kiri jalan raya, menuju saluran air memanjang. Di seberang saluran air nampak onggokan rumah gadang kini tinggal puing. Di sebelah puing itu berdiri satu rumah lain. Kedua bangunan berbeda model dan sejarah, menyeret Yusuf ke dalam ingatan campur aduk, tentang ibu, tentang dua saudara perempuannya yang telah tiada. Tatapannya kini lurus tak beralih, menyigi rumah mewah model minimalis yang berdiri kokoh di sebelah onggokan puing rumah gadang. Ia menerka-nerka batas area tanah warisan almarhum ibunya, dulu. Mungkinkah itu rumah Ija? Ija? Ya, Ija, Kemenakan sulung saya? Yusuf menerka-nerka sendiri dalam hati, tanpa berpindah tatap.
Keyakinan Yusuf bahwa rumah megah itu adalah milik Ija dikuatkan oleh ingatan kalau rumah itu dibangun persis di atas lahan yang dulu adalah tanah sawah milik ibunya. Tidak ingin berlama-lama dalam sangsi, Yusuf memberanikan diri melangkah ke depan rumah mewah itu. Kalau benar itu rumah Ija, kemenakannya, Yusuf sudah punya rencana. Ia ingin menumpang tinggal dengan Ija selama di kampung. Kalau dipikir-pikirnya kembali dengan hati dalam, ia merasa malu. Setelah belasan tahun jadi perantau, kini ia pulang ke tanah kelahiran membawa kekalahan. Lantas akan menumpang tidur pula di rumah kemenakan? Ah, tetapi pikiran konyol itu ia tepis sebisanya. Saat ini ia tak punya rumah lain tempat pulang sesampai di tanah ibu. Ditambah, menurut pikiran Yusuf, wajar saat ini ia menjejak ke rumah kemenakan, sebab dialah yang telah membesarkan Ija selepas ibunya meninggal dunia.
Sampai di teras rumah mewah itu, Yusuf belum berani untuk sekedar mengetuk pintunya atau berucap salam. Lidahnya terasa kelu. Pun kakinya jadi ngilu.
Sedang ia berpikir-pikir, mengetuk pintu atau tidak, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka dari dalam. Seorang perempuan muda bertubuh subur berkulit kuning langsat melongok dari balik daun pintu yang berukir. Perempuan itu menatap wajah Yusuf cukup lama. Sorot matanya antara kaget dan seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Eh, Mamak!?” tiba-tiba perempuan itu telah berseru menyapa Yusuf. Rupanya ia telah ingat siapa yang kini berdiri di depan rumahnya.
“Iya, Ija. Ini mamakmu, Yusuf!” Yusuf menjawab dengan suara sedikit bergetar. Dadanya disusupi rasa rindu bercampur haru. Ija telah dewasa, bahkan bentuk tubuhnya telah menunjukkan ciri khas perempuan telah beranak.
“Astaga! Ija kaget. Mamak pulang kok nggak bilang-bilang sih? Haduh, Ija kaget banget. Haduh, kapan Mamak nyampe? Mari masuk dulu ke rumah Ija.” Ija nyerocos dengan kalimat-kalimat yang terdengar ganjil di telinga Yusuf. Tetapi Yusuf cepat mencoba mengerti saja, kemenakannya sudah terbawa gaya perempuan-perempuan kekinian di perkotaan. Tak perlu dianggap ganjil lagi di telinga, sedang rumahnya saja sudah bergaya kota.
Pelan Yusuf kembali kepada ingatan untuk menjawab pertanyaan Ija. Ia tersenyum.
“Aku baru sampai. Baru turun dari bus yang lewat di jalan depan sana.”
“Oow begitu. Ya udah, Mamak masuk dulu sini ke dalem. Ntar Ija bikinin minum dulu, ya.” Sambil terus berbicara dengan logat kota, perempuan itu begitu saja berjalan lebih dulu memasuki rumah. Tidak menoleh lagi ke arah belakang. Ia nampak demikian menikmati kediriannya yang begitu modern di hadapan Yusuf. Menyaksikan aksi Ija, Yusuf tergugu. Sebagai mamak, ia berharap Ija akan mengambil tas di tangannya dan membawa ke dalam rumah. Tetapi itu hanya menjadi harapan saja bagi Yusuf. Yusuf canggung dan merasa terjungkal oleh sebuah batu besar. Nyatanya tak ada batu besar di dalam rumah itu. Perasaannya saja yang sedang demikian tak karuan.
“Ija bikinkan kopi, aja ya Mak!” Ija berseru dari dapur.
Yusuf tak menjawab. Meski sudah berusaha mengganggp biasa, tetapi ujung-ujungnya telinga Yusuf pekak juga dengan gaya bicara kekotaan kemenakannya yang tidak menyadari siapa sekarang yang diajaknya berbicara.
Lelaki itu membawa badannya duduk di atas kursi kayu jati yang mewah. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Semua perabot nampak mewah ditata rapi. Lemari pajang dari kayu jati. Televisi berukuran besar di atas rak berukir. Guci-guci terbuat dari keramik. Lampu hias di sudut ruangan. Lukisan indah-indah. Sungguh memanjakan mata. Beberapa foto Ija, suami beserta anaknya terpajang di dinding. Tak ada foto dirinya di antara foto keluarga Ija. Ada yang mulai berubah pada Ija. Yusuf sudah dianggap orang asing dalam rumah kemenakan-nya sendiri.
Ija adalah putri sulung dari saudara perempuan Yusuf. Dia tidak lupa, sewaktu kecil, Ija selalu digendongnya, jika kakaknya sibuk turun ke sawah. Kasih sayang Yusuf makin bertambah saat ibu Ija meninggal, disusul ayah Ija beristri lagi. “Tak mungkin Ija melupakan aku. Mungkin saja dia tak menyimpan fotoku,” dalam hati Yusuf membatin sendiri.
“Kenapa Mamak tak memberitahu dulu kalau akan pulang? Kan bisa dijemput Uda Hasan dengan mobil Ija,” celoteh Ija saat datang membawa baki berisi gelas kopi dan piring-piring berisi kue.
“Hasan? Siapa Hasan?”
“Haduh, Ija lupa bilang tadi ke Mamak, Hasan itu suami Ija.”
Sungguh pertanyaan bodoh! Yusuf merutuk dirinya sendiri atas pertanyaan yang barusan dilontarkan setelah mengetahui Hasan adalah suami kemenakannya. Tentu saja Ija sudah bersuami, sudah 10 tahun berlalu.
“Maaf, aku tak sempat mengabari kalau akan pulang hari ini. Aku buru-buru,” Yusuf kembali menjawab pertanyaan Ija yang semula. Kali ini ia memberi jawaban tidak benar. Sesungguhnya ia pulang karena dua alasan yang lain.
“Suamimu kemana, Ija?” Yusuf memulai pembicaraan. Ia ingin membuka jalan untuk mengemukakan rencana menumpang tinggal di rumah Ija sementara waktu.
“Oh, Uda Hasan sedang ke kantor. Alhamdulillah Uda kerja jadi camat di kantor kecamatan.” Nada suara Ija lebih tinggi ketika mengatakan hal itu.
“Hebat suamimu kini, Ija. Aku ikut bangga,”
“Tentu, Mamak. Berkat usaha dan doa,” balas Ija dalam ekspresi wajah demikian sumringah.
Yusuf tercenung. Dia bingung bagaimana akan menyambung kalimat agar tujuannya sampai. Diketuk-ketukkannya jari ke lengan kursi.
Selang beberapa detik, Yusuf mendapat ide penyambung percakapan. Ia mengambil gelas kopi dan meneguk beberapa kali.
“Sawah kita di ujung jalan sudah menguning padinya. Kapan dipanen, Ja? Mamak sudah lama tak makan beras dari padi di sawah warisan Uwak.” Seakan ingin mengingatkan tentang tanah warisan ibunya, Yusuf sengaja menyambung percakapan dengan soal tersebut.
“Oow, itu..,” kalimat Ija terjeda. Ia seperti ragu melanjutkan.
Beberapa detik hening sebelum akhirnya Ija menyambung perkataan. “Itu.., itu bukan padi kita, Mak,” ia berkata dengan wajah ditekuk.
“Kau lupa Ija? Tentulah itu padi kita. Sawah itu, kan warisan dari uwak,” timpal Yusuf meyakinkan Ija.
“Mak, sawah itu sudah digadaikan ke orang lain, setahun lalu,”
Kue yang semula di tangan Yusuf jatuh ke lantai. Ia begitu kaget mendengar ucapan Ija.
“Siapa yang menggadaikan?” tanggap Yusuf kaget.
Ija gemetar dan pucat. Tak ada jawaban.
Yusuf merasa tak yakin sawah itu digadaikan tanpa seizinnya. Kalau benar digadaikan tanpa seizinnya, berarti ia telah ditipu kemenakan. Harga dirinya sebagai mamak telah ikut digadaikan Ija.
“Digadaikan ke siapa? Untuk hal apa? Tolong kau jelaskan!” ulang Yusuf lebih lantang.
Wajah Ija pucat. Ia meremas-remas jemarinya sendiri.
“Maaf, Mak, sawah itu digadaikan ke orang dari kota. Uda Hasan butuh uang untuk mencukupi biaya beli mobil dan uang untuk mencalon jadi camat.”
Gigi lelaki jangkung itu gemeretuk menahan amarah mendengar penuturan Ija. Sesuai adat, tanah warisan dari uwak yang diturunkan kepada anak dan cucu perempuannya tidak bisa digadaikan atau dijual begitu saja. Kalaupun digadaikan, hanyalah untuk biaya memperbaiki rumah gadang yang rusak, pernikahan kemenakan perempuan, atau biaya pemakaman kerabat. Atas izin mamak! Itu yang paling penting!
Persoalannya kini, Hasan bukan bagian dari keluarga Yusuf. Lelaki itu adalah urang sumando. Tak ada hak Hasan mengambil secuil pun keuntungan dari tanah pusaka keluarga Yusuf. Tetapi hal itu telah terjadi!
Hilang keinginan Yusuf menumpang di rumah Ija. Ia berdiri sambil menjinjing tas.
“Aku tidak bisa lama-lama di sini. Kau sampaikan pada Hasan, secepatnya sawah waris itu harus segera ditebus kalau kau tak mau aku jadi kayu pancang di pematangnya!”
Yusuf meninggalkan rumah Ija dengan hati berkecamuk. Dia merasa sedang berjalan di atas titian patah, makin ke ujung makin tak akan sampai. Kejadian pahit masa silam kembali melintas cepat dalam ingatan Yusuf.
“Anak tak ber-mamak di negeri ini selayaknya mencari mamak ke keluarga saparuik lain dalam suku kita. Kalau tidak begitu, tanah waris dari ibumu akan jatuh ke tangan orang lain,” perkataan menohok itu ditujukan orang-orang kepada Yusuf, dulu. Karena ibunya tak memiliki saudara laki-laki, maka ia dipandang rendah.
&&
Yusuf mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Terasa dingin berembun. Hujan yang tadi turun, kini telah reda. Ia menuju ke sebuah rumah lain di ujung sawah menghampar. Dari lelaki yang ditemuinya di saluran air ke pesawahan, ia mendapat informasi rumah itu adalah milik Isah, kemenakan kedua Yusuf. Bergegas Yusuf menuju ke rumah itu.
Ia berdiri di halaman rumah semen yang belum selesai di bangun. Yusuf berdiri mematung di halaman rumah yang belum rampung itu. Dari arah belakang rumah terdengar suara ayam ramai berkotek. Tak lama berselang, seorang perempuan menjinjing keranjang berisi telur-telur ayam diiringi sesosok bocah lelaki muncul.
“Isah,” sapa Yusuf menyambut kedatangan perempuan itu.
Seorang perempuan berbadan tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus. Perempuan berwajah letih. Melihat Yusuf berdiri di halaman rumah, perpemuan itu sejenak terpana sebelum akhirnya mengenali pemilik tubuh kurus.
“Mamak? Mamak Yusuf? Kapan Mamak sampai?” wajah perempuan itu berubah sumringah dengan senyum lebar saat menyadari lelaki di hadapannya adalah Yusuf, mamaknya yang telah 10 tahun meninggalkannya.
“Tadi pagi,” Yusuf menjawab penuh haru.
Tergopoh perempuan yang dipanggil Isah menyalami Yusuf. Ia mencium tangan dan mengambil tas pakaian di tangan lelaki itu. Hati Yusuf sedikit terobati menyadari Isah jauh lebih santun daripada Ija.
“Mari, Mamak masuk dulu ke dalam! Minum dulu, Isah buatkan kopi. Maaf uda Leman sedang ke ladang upahan,” Isah memberitahu perihal suaminya tanpa ditanya.
Darah Yusuf tersirap. Ke ladang upahan? Suami Isah bekerja menerima upah dari tanah milik orang lain? Lagi-lagi Yusuf menemukan fakta yang tak ia duga-duga.
Yusuf melangkah mengikuti Isah memasuki rumah. Tidak ada perkakas mewah di sini, seperti di rumah Ija. Pandangan Yusuf tertumbuk pada sebuah kursi kayu, tepatnya bangku kayu tua tergeletak di sudut ruangan. Yusuf melarikan pandangan buru-buru. Ia menjatuhkan ke ujung kakinya. Di sana matanya bersitatap dengan lantai tanah. Yusuf menghela nafas dalam yang berat ketika menyadari di mana ia berdiri sekarang.
Seperti halnya yang dilakukan Ija, Isah juga membawakan minuman untuk Yusuf. Namun yang ia hidangkan ke hadapan Yusuf hanya air putih. Kemenakannya itu terlihat canggung saat menaruh teko berisi air putih.
“Jangan kau repotkan dirimu dengan kedatangan mamak, Sah,” hibur Yusuf, seakan ingin menghapus rasa canggung pada diri Isah dan gundah di hatinya sendiri.
“Aku ke sini hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Begitu juga anak-anakmu,” sambung Yusuf dalam suara yang ditekan.
Kali ini ucapan Yusuf hanya dibalas dengan anggukan oleh Isah. Wajah perempuan itu seperti sedang disemuti beban berat.
Untuk kedua kalinya Yusuf terpaksa mengurungkan niat menumpang sementara di rumah kemenakannya. Ia simpulkan, sebaiknya cepat pamit. Namun sebelum ia mengangkat tubuh, mendadak ia tergelitik menanyakan hal lain.
“Sawah kita yang di ujung sungai bagaimana, Isah? Ada hasilnya cukup untuk kau dan anak-anakmu?” Pertanyaan itu jadi jalan pembuka baginya untuk memastikan bahwa Isah tak melakukan tindakan seperti Ija.
Ada beberapa lama Isah tak menjawab. Isah hanya menekuk wajah dalam-dalam.
Yusuf cepat membaca yang tersirat di balik sikap Isah. Keinginannya menyambung percakapan sirna sudah.
“Maafkan kami, Mak, sawah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan uda Leman. Uda Leman jatuh dari truk pasir setahun lalu. Isah jual sawah itu untuk biaya operasi kaki uda.”
Tenggorkan Yusuf tercekat. Tak ada lagi yang bisa ditanyakannya. Ditelannya ludah, terasa asam. Habis sudah semua yang ia perjuangkan dulu.
“Oh, sudah zuhur, Sah. Aku hendak ke mesjid dulu,” Yusuf mencari jalan untuk pergi tanpa mengobarkan kemarahan seperti yang terjadi di rumah Ija.
“Mamak tak usah ke mesjid. Sholat di sini saja.” Isah berusaha menahan langkah Yusuf. Nampak ia begitu bersalah atas apa yang dilakukannya.
“Nanti sore aku ke sini lagi,” kilah Yusuf dengan janji yang asal saja.
Sebelum melangkah keluar rumah, Yusuf mendekati putra kecil Isah, menggendongnya sekejap dan memasukkan beberapa lembar uang ribuan ke dalam genggaman bocah itu. Tanpa bersuara pamit lagi, Yusuf berlalu dari hadapan Isah.
&&
Yusuf menyudahi zikir dan doanya. Ia mendadak merasa tak paham dengan doa yang ia lafaskan sendiri. Ia ingin bercakap dengan Tuhan, tetapi kehilangan cara menyusun kalimat yang dirasa layak. Doanya begitu semrawut, sesemrawut rambutnya yang mulai memutih.
Usai sholat, dibawanya langkah ke teras masjid. Di depan kolam ikan ia berhenti. Pada riak air kolam Yusuf bersitatap wajahnya sendiri. Tak lama wajah lain muncul, wajah Puti, istrinya.
Dulu, 10 tahun berlalu, Yusuf memang nekad, bahkan mungkin bodoh memaknai cinta. Masa itu ia berpikir cinta adalah madu paling manis. Padahal nyatanya setelah ia selami, cinta hanya semacam tipu muslihat. Seperti aksi pesulap atau pemain sirkus, cinta menipu mata hati dengan hal yang tak nyata.
Yusuf nekad melarikan Puti ke tanah Jawa karena tak mendapat restu dari mamak dan ayah gadis itu.
“Aku sanggup menghidupimu dengan cinta yang kumiliki, Puti,” itulah kalimat polos yang pernah diucapkan Yusuf saat Puti meragukan aksi nekad mereka.
“Uda, ini keputusan gilo! Minta izinlah dulu pada mamak dan ayah Puti kalau mau kita menikah,” protes Puti saat Yusuf menarik tanganya ke atas bus tujuan Jakarta.
Yusuf terbahak mendengar permintaan polos dari gadis yang sudah membuatnya mabuk darat itu.
“Puti, Puti. Mana mungkin aku minta izin ayah dan mamak-mu. Namanya kita akan kawin lari. Kalau ayahmu mengizinkan kita menikah tak mungkinlah kubawa kau lari malam hari seperti ini.”
Ketika menaiki bus yang akan memberangkatkan mereka, Yusuf begitu yakin dengan keputusannya. Ia larikan gadis itu ke Jakarta. Tak punya mamak dan belum memiliki pekerjaan bukan halangan untuk memiliki cinta, bukan? Tuhan tak mengukur sahnya cinta dengan adanya mamak dan adanya pekerjaan, Begitulah pendirian Yusuf saat itu. Darah muda Yusuf begitu pekat untuk menerjang tradisi yang tak terbantahkan di kampung halamannya. Sekencang bus antarpropinsi melarikan penumpang, sekencang itu pula keyakinan Yusuf menikahi Puti.
“Kau jangan takut, kita akan bahagia di Jakarta, nanti.” Bisik Yusuf ke telinga Puti setelah bus meninggalkan kota kelahiran mereka. Puti tidak bersuara. Gadis itu menatap wajah Yusuf dengan pandangan gamang sebelum akhirnya menjatuhkan kepala di bahu si lelaki pemilik cintanya. Dalam hati Yusuf tertawa terbahak-bahak. Ia merasa menjadi lelaki paling perkasa ketika itu.
Ah! rupanya, bahagia itu hanya genap seminggu saja berpihak pada Yusuf dan Puti. Zaman sudah modern, intel dikirim ayah dan mamak Puti sampai ke Jakarta. Intel-intel itu menemukan Puti serta Yusuf sedang bergelung di dalam rumah bedeng yang baru disewanya. Tanpa salam-salam sapa, Puti dibawa pulang oleh intel-intel itu. Puti tak menolak untuk kembali pulang. Gadis yang baru seminggu berstatus sebagai istri Yusuf rupanya tak sanggup hidup makan angin dan minum mimpi.
Cinta galadia! Yusuf menyumpahi nasib dan perasaannya yang pedih. Rupaya cinta memang tipu muslihat. Indahnya cinta rupanya hanya sejarak perjalanan nasi ke dalam tenggorokan. Sampai di dalam lambung rasa enaknya hilang.
&&
Terasa pahit di tenggorokannya. Yusuf baru sadar, sedari pagi perutnya belum diisi nasi. Dirogohnya saku celana. Kosong. Tak ada selembar pun uang di sana. Ia baru ingat lagi, sisa uangnya telah ia bagi kepada anak Isah, tadi pagi.
Tarikan nafasnya terasa berat. Harga diri dirasakannya telah dibeli begitu murah oleh nasib di usianya menjelang tua. Tak ubahnya seperti kain obralan yang dijual pedagang di pasar raya seharga ribuan saja.
“Assalamualaikum!” sebuah suara yang berat menyapa dari belakang. Yusuf menoleh. Sesosok laki-laki tua telah menatapnya dari belakang punggungnya. Tatapan lelaki itu seperti menebak-nebak siapa gerangan Yusuf. Yusuf sendiri belum lupa ciri khas wajah lelaki yang menyapanya; wajah tirus dan hidung pesek. Lelaki itu adalah Engku Rajo, garin mesjid. Yusuf belum lupa raut wajah lelaki yang dulu mengajarinya ilmu silat, sebelum Yusuf menggunggung Puti ke Jakarta.
“Walaikumsalam, Engku, rupanya” Yusuf tersenyum lebar sembari maju menyalami lelaki itu.
“Ondeeh! Kau rupanya, Yusuf? Maha Besar Allah! Kau pulang rupanya! Baa kaba, baa kaba kau, Yusuf?” Engku Rajo menyapa Yusuf begitu semangat sambil menepuk bahu bekas muridnya itu.
“Kabar hamba, angin kancang, Engku. Kapal saya karam,” balas Yusuf yang disertai tawa terbahak. Engku Rajo ikut tertawa seolah dia sudah paham apa yang dimaksud lelaki di hadapannya.
“Kalau begitu, nanti malam kau di sini saja. Aku sudah lama ingin bercakap-cakap dengan kau,”
Tak mengiyakan, tak pula menolak, Yusuf merasa tawaran Engku Rajo untuk bermalam di mesjid menjadi ide cemerlang untuk menyelamatkan dari dinginnya angin malam. Memang benar, ia tidak punya tempat tidur untuk malam ini dan mungkin juga untuk malam-malam selanjutnya. Diikutinya langkah Angku Rajo ke sudut teras mesjid. Hatinya berdendang-dendang merasa bertemu teman bercakap, sementara perutnya bergoyang-goyang dihoyak rasa lapar.
Padang, 2020-2021
Catatan
Rumah gadang : rumah adat, rumah tempat menetap keluarga matrilineal di Minangkabau
Kemenakan : anak dari saudara kandung perempuan dari pihak ibu.
Mamak : saudara laki-laki dari pihak keluarga ibu.
Uda : panggilan untuk laki-laki yang lebih tua.
Uwak : nenek
Urang sumando : menantu laki-laki dalam ikatan pernikahan matrilineal di Minangkabau.
Indak bamamak : tidak memiliki mamak.
Saparuik : sama berasal dari perut atau keturunan seorang nenek buyut dan masih merupakan bagian dari suku yang sama di Minangkabau.
Gilo : gila
Galadia : kata umpatan dalam bahasa Minangkabau; kurang ajar.
Ondeeh : aduh
Baa kaba : wah, bagaimana kabar
Kancang : kencang
RIWAYAT PENULIS
Iswadi Bahardur adalah prosais dan penyair yang berasal dari kota Padang, Sumatera Barat. Selain menulis puisi dan prosa, dia juga adalah dosen di STKIP PGRI Sumatera Barat dan sedang studi program doktoral di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Solo. Puisi-puisi terbarunya termaktub antara lain, dalam antologi Rantau (2020), Banjarbaru Rain (2020), Sang Acarya (2021), Khatulistiwa (2021), Antologi Puisi Jazirah Delapan; Ombak, Camar, dan Kerinduan (2021), dan Antologi puisi Angkatan Sastra Milenial HB Jassin (segera terbit). Kisah-kisah memoar dan catatan inspiratifnya termaktub dalam buku Memoar Guru Berprestasi (2021) dan Allah Tahu Kita Mampu (2021). Cerita bersambungnya dapat dibaca di platform kepenulisan digital Novelme, KBM App, dan Noveltoon. Dia dapat ditemui melalui instagram @adhi_trusardi dan facebook Iswadi Bahardur Adhi.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post