Itu si Samsudin, ia marah-marah, sebab kerbaunya tak mau keluar kandang, kerbau si Samsudin tak mau menuruti keinginan Samsudin. Akhirnya diseruduk oleh kerbaunya sendiri
Kerbau dan Para Penggembala, Indra Junaidi
Hari ini datang pada lusuhnya hati. Kerbau yang sedari lahir bertahan hingga kini masih belum sadar, sebenarnya siapa dalang dari semua ini? Perjalanan begitu panjang nan melelahkan dirinya. Sebuah gelanggang tempat di mana segala dipertontonkan dalam tanduk-tanduk yang beradu. Namun, hantam antara tanduk sepanjang dua belas purnama belakang ini tak lagi tersajikan, sebab hal ini dikarenakan kemarau sepanjang rentang itu belum jua usai.
Di depan tangga rumah si Bujang masih lusuh memandang langit yang cerah. Hujan kebahagiaan yang belum jua turun menderas, hanya gerimis yang tak peduli antara sawah dengan rumput pematang nan telah mengering dan menguning. Di desa, kini sejarah mulai coba dihilangkan di antara lelehan aspal-aspal yang menggelapkan kenangan di benak si Bujang nan lusuh di atas tangga rumah. Sementara, di balik tembok-tembok perkampungan itu telah mekar dengan gagah tiang-tiang penyangga kemegahan ibu kota.
“Beginilah nasib…” ucapnya lirih. Pandangannya terus berlanjut dengan seekor kerbau yang sudah kering di kandang. “Hai Kerbau, enak betul hidup kau, tiap hari tidak ada yang kau pikirkan. Makan minum kau, aku yang carikan. Meski, sepanjang tahun ini kau tidak begitu bekerja, semisal membajak di sawah. Bisa kau hanya bilang: Moooohh.” Bujang itu masih berbicara sendiri di atas tangga rumah ke arah kandang kerbau, seperti orang gila. Semua orang tahu kerbau dan semua binatang di muka bumi ini tidak akan bisa diajak bicara. Ia hanya peduli dengan nafsunya sendiri. Sebab otak yang ada di kepalanya tidak begitu besar daripada nafsunya sendiri.
Si Bujang telah lama menjadi penggembala kerbau dan bekerja sebagai petani. Di Desa Suka Mundur ini hanyalah sebuah perkampungan yang telah menjadi tumbal demi pertumbuhan ibu kota. Para penduduk di sini secara lumrahnya bekerja sebagai penggembala kerbau dan tentunya juga menjadi petani. Lingkungan memang tepat sekali menyediakan pekerjaan secara alamiah. Kampung dengan segala kesuburan tanahnya telah menjadi pengharapan besar bagi para bujang-bujang di kampung tersebut. Namun tahun ini berbeda, sebab ada sesuatu yang menjadi tanda tanya, kenapa hujan pengharapan belum menderas ke tanah yang sudah merindukannya? Nyatanya hujan hanya menderaskan berkahnya untuk kota-kota dengan gemerlap lampu di setiap etalase indah yang semu.
“Hahahah,” tawa kecil dalam hati si kerbau. Di kandang itu, ia telah selama satu tahun tak lagi mengerjakan kegiatan yang berat, paling-paling bila lapar cukup bilang: Moooohh. “Wah enak sekali ya. Keadaan para manusia di kampung ini semakin susah, namun aku semakin senang. Wah krisis yang menguntungkan bagiku dan juga para kerbau lainnya,” kata kerbau di dalam hatinya.
“Nasib-nasib, sampai kapan kemarau ini berakhir? tak ada lagi pekerjaan tentang ladang, sawah dan lain-lainnya yang bisa aku kerjakan,” ucap penggembala itu di dekat kandang.
“Mampuslah kau, yang susah mikirin hidup. Emang aku peduli dengan kau,” balas si kerbau seolah si pengembala bisa mendengar ucapan si kerbau.
“Ya Tuhan, kenapa kemarau tahun ini teramat menyiksa Tuhan?” Telah berapa lembar lagi bulan demi bulan dilalui dengan murung yang tak berkesudahan, lingkungan yang semakin mencekam.
Tiap Sore si Bujang terus berputar pada kegiatan menyabit rumput di pematang sawah. Meski, rumput itu sudah mulai menipis dan mengering karena kemarau sepanjang tahun ini. Tapi waktu terus saja berjalan pada waktu yang bergerak, namun dalam legaran yang sama. Perkampungan yang semakin sesak karena keadaan. Ditambah lagi karena gemerlap kota yang membikin sesak. Sementara, kemajuan ibu kota adalah hasil rampas dari desa-desa.
“Nah ini makan buat kau pemalas,” ucap penggembala itu kepada kerbau. Selalu saja begitu, setiap ingin memberikan makan pada kerbau, si Bujang selalu bercerita tentang keresahan hatinya, seolah-olah kerbau adalah tempat kepulangannya yang paling bisa menjawab segala keresahan hati. Ucapannya kadang seperti orang gila: berbicara sendiri, marah sendiri di dekat kandang itu. Begitulah, semua orang paham bahwa namanya binatang tidak akan peduli dengan resah kita, dengan kegalauan kita tentang hidup yang berat. Namun hal itu tidak menjadi alasan bagi si Bujang untuk menyerah pada keadaan yang terjadi.
“Alah omong kosong,” tangkis si bujang. Suara di televisi langsung dia matikan. Kemudian ia melangkah lagi ke tangga rumah. Seperti biasa pandangannya terus mengarah pada kedalam diri. sambil bertanya pada Tuhan, “Tuhan, Apakah esok akan turun hujan?” Pertanyaannya itu terus ia sampaikan diam-diam setiap hari. Di tangga ucapan itu sering tersampaikan dengan hikmat. Tangga itu seolah-olah menjelma Gua Hira, tempat perenungan diri dari segala kesulitan perjalan hidup di atas bumi ini.
***
Tanpa ada kabar dari angin sore. Tanpa ada kabar dari mimbar di televisi itu. Tanpa ada sebuah berita itu, akhirnya hampir penghujung tahun ini di Bulan November hujan menderas ke desa yang sudah lusuh dihantam oleh kemarau itu. “Waahhhh sebuah keajaiban telah datang,” ucap tetangga si Bujang, “Horeee hujaaan,” seru anak-anak yang melintas di depan rumahnya. Hujan selalu memberikan kebahagiaan pada setiap insan, termasuk anak-anak yang menyambut hujan dengan basah-basahan dan berlarian sepanjang jalan kampung itu.
“Waduh, ini kenapa bisa hujan nih? Padahal, di televisi dan media massa tak ada pemberitaan turunnya hujan,” ucap si kerbau dalam kandang. Hujan itu menghempas dengan penuh semangatnya sampai sore. “Wah bisa-bisa kalau macam ini, aku dan kawan-kawan kerbau pemalas lainnya itu harus kerja lagi dong. Ini tidak bisa dibiarkan. Semuanya harus secepatnya dirapatkan dengan para kerbau yang lainnya. Agar para penggembala di desa ini tidak bertindak lebih jauh akibat hujan yang turun ini.”
Malamnya dengan secepat mungkin para kerbau itu melakukan rapat sampai malam. Pembahasannya tanpa mempertimbangkan segala lini, keadaan si Bujang dan penggembala lainnya barang kali. “Kepada para kerbau yang budiman. Hari ini, telah sama-sama kita ketahui hujan telah turun dari siang sampai sore. Tentu, hal ini akan membuat kita akan kembali bekerja seperti biasa, Membajak sawah. Maka dari itu pada rapat sampai malam ini aku sebagai utusan kerbau si Bujang akan menetapkan regulasi bahwa segala apa pun yang akan dikatakan oleh penggembala kita maka jangan kita pedulikan. Kita besok pasti disuruh membajak sawah seperti biasa,” kalimat lantang dari kerbau si Bujang.
“Izin menanggapi,” ucap kerbau di salah satu kursi.
“Ya dipersilahkan,” balas kerbau si Bujang.
“Saya tidak setuju dengan regulasi yang kau sampaikan. Bahwasanya sudah memang menjadi tugas kita untuk membajak sawah. Selama ini kemarau yang panjang telah membuat kita terlalu manja. Apakah para kerbau yang hadir pada rapat ini tidak ingat kebaikan penggembala kita? Maka sangat di-” Ucapannya tiba-tiba tidak lagi terdengar, sebab pengeras suara itu dimatikan oleh kerbau si Bujang.
“Oke sudah cukup. Saya rasa lebih banyak suara untuk setuju agar kita diam dan tak mau bergerak sedikitpun ketika para penggembala kita mengajak kita ke sawah untuk bekerja.”
“Setuju,” seru serentak para kerbau yang hadir pada rapat itu.
***
Esoknya di hari yang sebenarnya setengah baik. Si bujang bangun pagi-pagi. Matanya sedikit ada harapan, barangkali karena hujan kemarin mengakibatkan beberapa sawah dan ladangnya mulai layak untuk ditanami.
“Hai pemalas,” ucap si Bujang dalam senyuman. “Kau hari ini harus semangat. Sebab, kita akan berjumpa dengan sawah seperti biasa bekerja sampai sore, datang bersama. Hari ini kau akan aku sediakan rumput yang enak di ladang.” Si bujang lalu membuka pintu kandang untuk mempersilahkan kerbau untuk turun. Namun, kerbau tak bergerak sedikitpun. “Hai, ada apa ini?” Semburat kusam mulai tampak di wajah Bujang. “Ayolah sudah waktunya kau untuk kembali ke sawah.” Waktu terus bergulir sampai siang. Namun kerbaunya tak mau juga bergerak dan mempedulikan ucapan si penggembala. Si kerbau hanya diam, tak peduli apa pun yang diucapkan penggembalanya.
“Aaaaaaa,” sebuah teriakan yang datang dari arah timur Desa Suka Mundur.
“Haaa, suara teriakan siapa itu?” tanya bujang yang langsung ke luar menuju sumber suara untuk memastikan keadaan. “Apaa, darah apa ini?” Terlihat olehnya darah bergelimang di pohon, ternyata si penggembala dekat rumahnya itu diseruduk oleh si kerbau yang marah.
“Apa yang terjadi, Mak?” tanya si Bujang kepada salah satu warga yang melihat kejadian.
“Itu si Samsudin, ia marah-marah, sebab kerbaunya tak mau keluar kandang, kerbau si Samsudin tak mau menuruti keinginan Samsudin. Akhirnya diseruduk oleh kerbaunya sendiri,” jawab emak yang ada di tempat kejadian.
Sejak saat itu kerbau dan para penggembala tak saling peduli. Tak saling mengerti. Si kerbau dengan otak kecil yang tidak mau peduli dengan kemauan penggembala. Dan akhirnya musibah itu datang, sawah yang hanya sekali disirami air itu kembali tak pernah tersentuh oleh manusia dan kerbau. Hingga para pendatang dari kota itu mulai mengambil lahan di kampung itu, para penduduk tidak lagi mampu melawan. Bagaimana cara mereka melawan, penduduk di kampung itu sudah lemah karena kelaparan dan tidak ada pekerjaan. Begitulah akhirnya para pendatang semakin berkuasa di tempat tersebut. Para penduduk asli kian tergusur dan satu-satu mulai menemukan ajalnya. Sementara para kerbau menjadi hidangan di meja makan para pendatang.
Pariaman, November 2020.
Profil Penulis
Discussion about this post