
Kau seharusnya tahu, Nadya. Seringkali para orangtua gampang sekali berlindung di balik keberadaan mitos yang telah merasuki kepala. Terkait hal itu, aku tak tahu apakah di waktu sebelumnya, ibumu pernah menyampaikan perihal kelahiranmu. Bukan, bukan tentang bagaimana dan di mana kau dilahirkan, tetapi lebih terkait pada cerita seputar lepasnya tali pusarmu di usia sepekan.
Saat itu aku tak bisa menolak ketika ibumu memaksaku mencarikan bunga Nagasari, yang dia remas-remas hingga membaluri seluruh permukaan telapak tangannya. Baru kutahu, telapak tangan itulah yang kemudian ia gunakan untuk menekan-nekan sepasang biji ketumbar di pusarmu dengan segenap perhatian. Aku tak luput mengingat betul ketika ibumu memintaku segelas air putih untuk menelan bulat-bulat tali pusarmu tanpa merasa jijik atau ragu sedikit pun. Kulihat ibumu begitu tuntas menyelesaikan serangkaian upacara kecil itu, menutupnya dengan memangkumu sepanjang malam hingga pagi.
Kalau perlu kugantikan, kamu bilang aja. Sembari memijiti kakinya yang selonjor, aku sempat menawarkan diri.
Tidak usah, Kangmas masih harus aku repoti lagi besok pagi, tukasnya.
Malam itu sekadar kutemani ibumu menumpahkan segenap harapannya atasmu, tentang segala kemungkinan yang telah ia siapkan jawaban, perihal nasib dan keberuntunganmu yang erat terkait dengannya. Terkhusus mengenai alasannya menelan tali pusarmu, ia yakini itu menjadi penawar bala dan kesialan yang kemungkinan mendera hari-harimu kelak.
Kau tahu, kepercayaan semacam itu serupa ular yang tinggal di ujung gua dengan lorong gelap. Kita akan sulit mengunjungi gua yang seperti itu kecuali si penunggu merelakannya. Maksudku, kau yang terlahir di jaman setelahnya akan tahu, kepercayaan kuno seperti itu susah dimengerti akal.
Tetapi sebagaimana kualami, keyakinan baru yang ingin kau tunjukkan itu pun terasa sama sulitnya untuk dibuktikan. Apalagi sekadar menyangkal dengan kata-kata, akan membuat ia bernasib tak jauh beda dengan pendahulunya. Tersebab itu, aku pikir untuk kali ini kau tak perlu membenci ibumu, setelah sebelumnya kau kerap bersitegang dengannya. Memang, ada orang tua pernah mengatakan perihal hari dan pasaran kalian yang kebetulan sama.
Sebagai lelaki satu-satunya di rumah ini, aku sengaja lebih banyak terdiam, berusaha merangkai pokok-pokok cerita yang berjalan, agar tersedia kesiapan atas datangnya pertanyaan seperti halnya sekarang. Karena suatu saat kau akan merasakan sendiri, menjadi ibu yang tak hanya berpikir tentang dirinya. Atas pertimbangan itu, di dalam hati ibu terkadang sulit menerima kehendak lain, tak terkecuali keinginan buah hatinya sendiri.
Andai saja kau tahu, betapa kasih sayang ibumu sepenuhnya tercurah padamu, sampai pada hal-hal kecil pun begitu cermat ia perhatikan, sekalipun hidup pas-pasan dan jauh dari kota. Seperti halnya pernah kulihat di usia lima tahun kau menangis sesenggukan sembari berpegangan ke pintu, pada sore yang panjang dan sedikit basah. Kala itu ibumu memaksa menyisir lalu mengepang rambut ikalmu terlebih dulu, menunda keinginanmu untuk segera berlari menyusul teman-temanmu yang ramai bermain lompat tali di halaman tetangga sebelah, sesaat usai hujan reda. Ibumu seperti tak terima jika kau terlihat berantakan dan tak terurus, di depan teman-temanmu apalagi tetangga pada umumnya.
Ah, masih kuingat dari balik kaca jendela depan, kulihat senyum ibumu mekar bunga saat melepas kerianganmu dari kejauhan. Sore itu pula terungkap kali pertama perihal ibumu telah mengandung janin yang kelak menjadi adikmu, kabar gembira yang sudah lama kami tunggu-tunggu. Kau pulang dengan kecanggungan mendapati ibumu terbujur pucat di pembaringan, sebelum kemudian kugendong kau ke kamar barumu.
Pernah memang, angin bertiup kencang membawa segulungan asap, terasa sesak menghimpit dada, manakala kelahiran adikmu disambut surat PHK dari tempatku bekerja. Demi alasan kebaikanmu dan meski terasa berat bagi kami, kau dijemput bibimu ke Jogja di bulan berikutnya. Bertahun-tahun kau tinggal bersama keluarga bibimu, berharap dapat memancing kehadiran buah hati, sekalipun pada kenyataannya mereka tak kunjung punya anak hingga sekarang. Dari foto-foto yang kami terima, kau terlihat bahagia sepanjang bersama mereka: hari kelahiranmu dirayakan tiap tahun, parasmu semakin cantik dengan baju yang acapkali baru, sering makan enak di restoran, masih ditambah prestasi sekolahmu yang selalu membanggakan. Kupastikan raut wajah ibumu terlihat bahagia ketika menerima telepon atau seamplop foto dari bibimu. Tetapi aku pun tahu, di dalam sorot matanya terdapat lorong panjang yang pengap, setiap kali usai menerima kabar tentangmu. Sering dia bergumam di depanku, bagaimanapun, Nadya tetap anakku, sembari matanya berkaca-kaca.
Aku tahu, sampai sekarang kau tak bisa terima dengan keberatan ibumu merestui keinginanmu melanjutkan kuliah di luar kota. Apalagi semenjak kau tahu bagaimana teman-temanmu begitu bersemangat, mendapatkan sepenuhnya dukungan orangtua dalam menggapai cita-cita mereka. Kau pun seringkali mengatakan perasaan tidak adil atas keputusan kami pernah menitipkanmu ke orang lain. Kau pasti ingat, bagaimana dulu aku berharap kau dapat mempertanggungjawabkan keputusanmu kali ini dengan mau sedikit berpikir panjang, selain upaya keras bertahun-tahun yang kau buktikan dengan prestasi di sekolah.
Cobalah kau pikir lagi masak-masak, pintaku berusaha menenangkan.
“Apa yang perlu diperjelas lagi, Yah?” dengan ketus kau jawab.
“Aku bukan sedang mengajak berdebat, Nadya,” pungkasku.
“Takdirmu tak bisa jauh-jauh dari kami,” tegas ibumu menimpali.
“Lalu bagaimana penjelasan untuk sembilan tahun kalian jauhkan aku?” Kau mengungkit.
“Buktinya kaupun sekarang kembali, kan?” Ibumu bertambah sengit.
Sejak pertengkaran itu, kau jadi lebih sering membangkang, terutama pada ibumu. Bahkan pada akhirnya kau nekat melanjutkan kuliah di Semarang meski tanpa restu sepenuhnya dari perempuan yang melahirkanmu itu. Aku terpaksa mengantarkanmu dengan bekal kecemasan perihal kemungkinan luka yang diderita ibumu tersebab keputusan yang kuambil sepihak. Ah, boleh jadi tersebab pikiranku kelewat risau saja.
Jangan pernah berpikir ibumu tak mencintaiku, demikian pula sebaliknya. Sejujurnya, kami dipertemukan beberapa tahun sebelum kelahiranmu. Aku yang bekerja di toko bangunan milik kakekmu, suatu ketika mendapati seorang gadis mudayang kelak menjadi ibumumulai ikut bekerja pula di sana. Sesekali mataku mencuri pandang, hanya sanggup mengagumi kecantikannya, mengingat keberadaanku sebagai karyawan. Belum lagi jika mempertimbangkan hal lain, semacam perasaan serupa dari karyawan laki-laki yang bekerja di toko kakekmu. Bertahun-tahun nyaliku hanya cukup untuk memperhatikan kesantunan tingkah laku dan sikapnya, tidak hanya kepada kakekmu, tetapi juga kepada setiap pelanggan toko yang datang. Persaingan antar karyawan untuk mencuri hati ibumu, tak pelak kian menjadi-jadi. Sedangkan ibumu masih saja bersikap sama kepada siapa pun, alih-alih terkesan diistimewakan sebagai anak gadis juragan.
Suatu ketika kakekmu memanggilku ke ruangannya, setelah beberapa bulan tak ada kiriman stok material ke toko dan pelanggan pun berangsur sepi. Baru kuketahui, selain usaha kakekmu hampir saja bangkrut, ada persoalan lain di luar kendalinya. Kali ini kau boleh tahu, ia memintaku jadi suami anak gadisnya bersama kenyataan kau di kandungannya. Dia tegaskan bahwa tak ada laki-laki lain yang pantas menjadi menantunya selain aku, mengingat persoalan yang tengah mendera saat itu. Aku pun menerima permintaan itu, demi mengambil satu jalan keluar atas kekusutan yang tengah terjadi. Kurasakan kemenanganku mendapatkan ibumu harus dibayar dengan kekalahanku atas hal lainnya. Lagipula aku pun tahu, siapa sesungguhnya lelaki yang menghamili ibumu. Entahlah, yang pasti sejak keputusan itu, usaha kakekmu kembali pulih seperti sedia kala.
Kembali ke kisahmu, Nadya. Aku tak pernah sedikitpun merasa benci atas kehadiranmu. Sama sekali tak terlintas di pikiranku, dalam tubuhmu mengalir darah lelaki lain yang akan mencederai kasih sayang di antara kita: aku, kau, dan tentu saja ibumu. Justru aku seringkali mendulang rasa khawatir ketika tak sanggup menjadi ayah dan suami yang baik, seperti halnya ketika harus melepasmu tinggal bersama bibi. Kuakui, keputusan itu menjadi mimpi buruk yang harus kumintakan maaf padamu, terlebih ibumu.
Aku yang selama ini menjadi tempatmu berkeluh-kesah, menjadi tahu perihal penilaianmu atas kami. Kau bilang kami terlampau kolot, tak mampu menyesuaikan perkembangan zaman, tak becus memahami kebutuhan anak muda sekarang. Kehidupan mahasiswa membuatmu seolah mengerti tentang kebebasan memilih, termasuk dengan siapa kau berteman. Kau betul-betul menggunakan kesempatan kuliah sebagai cara melampiaskan keinginanmu sepenuhnya. Kau sering tunjukkan rasa iri terhadap adikmu kelewat berlebihan. Enak ya, minta apa aja keturutan, sindirmu ketika pulang mendapati sepeda motor baru.
Kau semakin sering menjelma ilalang kering, mudah sekali tersulut percikan api. Sepasang mata membara kerap bertengger di wajahmu belakangan ini. Tak bosan-bosannya kau mengungkit masa kecilmu yang jauh dari kami, kurangnya kasih-sayang, dan segala keinginanmu yang belum terpenuhi. Kau seakan terus menuntut kekosongan di waktu sebelumnya terisi. Kau bahkan nyaris tak ambil peduli ketika kukabarkan kepulangan ibumu beserta ratap penyesalannya atas banyak hal yang tak kau ketahui.
Dan kau perlu tahu, tak ada gunanya lagi menjelaskan perihal janin yang telah tiga bulan tertanam di rahimmu. Aku bukannya menolak jika kau memintaku menikahkanmu dengan lelaki yang telah menghamilimu. Tetapi kau harus tahu, ada lelaki lain yang lebih tepat kau panggil ayah daripada aku.
***
Penulis: Ian Hasan Lahir di Ponorogo, saat ini tinggal dan bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas, termasuk Komunitas Kamar Kata. Buku Kumpulan Cerpen perdananya berjudul Lelaki yang Mendapatkan Jawaban Atas Kjisahnya Sendiri, terpilih sebagai finalis Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula Rasa 2022.
_____
Surel : [email protected]
Instagram : @ian_hasan
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post