Mendung yang menggelayut di langit Surabaya sejak siang tadi akhirnya menghujani kesepian seorang perempuan dalam beberapa minggu ini. Butiran air yang bersorai di luar sana, selain menyapa lewat lirisnya tempias mengenai jendela kaca, menjadi alasan pula bagi butiran lain yang menggenang di kelopak matanya. Jika itu terlalu berlebihan, setidaknya butiran bening yang saling mengait, beradu laju merambat zig-zag turun, tak pelak menautkan serangkaian kisah yang telah dia alami sebelumnya.
Ruangan ini sepi, betul-betul sepi, namun sejatinya ada gemuruh yang terus berdengung di kepalanya. Telah beberapa hari, May lebih banyak duduk melamun menghadap ke jendela, dengan sesekali menulis sesuatu seperti yang sedang dilakukannya sekarang. May berusaha menyusuri ingatannya kembali, tentang suami, tentang buah hati, dan segala kenangan tentang keluarga yang kini tak bersamanya lagi. Ia sendiri tak tahu apakah ini nanti berguna, sedangkan ia tidak punya banyak pilihan untuk segera menemukan cara meredam amuk rasa kehilangan yang semakin menyiksa. Sedih? Mungkin iya. Tetapi May sadar, lebih banyak beban yang harus ia lepaskan. Meskipun ia tahu, sepenuh jiwa harus ia pertaruhkan untuk merawat upaya itu, bersama hari-hari sepi yang tak terkira, di usianya yang sudah kepala empat ini.
Ingatan May mengembara, kesadarannya ragawinya melindap, kesadaran yang lain merayapi tepi antara luka dan bahagia, menyelami lorong-lorong sunyi yang pernah ia kenali. Pena yang sekarang ada di jepitan ibu jari dan telunjuk kanannya menjadi pisau yang membabat belukar kesedihan, sekaligus lentera yang menunjukkan jalan pulang menemukan dirinya kembali. Sudah tak terhitung tetesan gerimis jatuh mengenai lembaran-lembaran catatan yang semakin basah. Berkat cara itu, ingatannya perlahan terkumpul, terajut satu demi satu, terangkai pelan dalam ekstase yang menyelam ke dasar batinnya. Bahkan ia tak sanggup membendung ruap kenangannya di masa lalu, jauh sebelum ia berkeluarga.
May kembali mengingat, perihal cinta dan pernikahan yang terlalu gampang dihubungkan alasannya oleh orang lain. Padahal baginya, dua hal itu nyaris tak berkaitan sama sekali. Bahkan May selalu tak habis pikir ketika banyak orang dengan sesuka hati meletakkan kesetiaan sebagai simpul keduanya. Satu hal yang menurutnya ceroboh dan sangat mengada-ada, karena sempurnanya kesetiaan menurutnya hanya tersimpan dalam naluri anjing yang dipersembahkan kepada tuan-tuan yang beruntung. Ia sadari bukan ingin mengatakan tak mencintai suaminya, tetapi ada alasan lain yang tak kurang sederhana untuk menjelaskannya.
“Apa katamu? Cinta?” Sanggah May dulu, kerap meruntuhkan nyali siapa pun laki-laki yang pernah mencoba mendekatinya.
Cinta bagi May bukan tentang rasa memiliki, bukan tentang keikhlasan memberi, atau sekadar menghalalkan berahi. Cinta baginya menyudahi sebuah pencarian pada batas-batas yang terlihat, melampaui segala bentuk ekspresi dan pengungkapan. Sehingga cinta menurutnya hanya cukup dimengerti, diresapi kehadirannya, lantas dijalani takdirnya, tanpa mempersoalkan status dan pengakuan siapa pun. Cinta yang ia yakini, tanpa sadar telah menempa dirinya serupa berlian bagi orang lain, bukan sekadar bunga di taman yang keindahannya memancar dari rekahan dan mekar yang sebentar.
Semua berawal ketika May mengenal Gibranlelaki yang bukan suaminyasaat SMP, yang itu berarti sudah lewat 26 tahun silam. May mengenalnya sebagai laki-laki yang menyebalkan karena begitu dekatnya Gibran dengan teman-teman wanitanya di sekolah. Atau mungkin sudah bawaannya begitu, seseorang yang berjiwa seni akan memberi nilai penting pada keindahan-keindahan yang ada di depannya, tentu saja termasuk wanita.
May menyaksikan begitu banyak bualan ala laki-laki playboy yang sering ditunjukkan Gibran saat di sekolah. Lukisan mawar yang merona merah, seekor burung langka dengan aneka warna bulu yang cerah, pemandangan danau yang eksotis dan memantik gairah, sketsa wajah kembang sekolah, atau puisi-puisi cinta yang kerap muncul di majalah, menjadi sekian bukti bualan yang ia maksud.
Njijiki! begitulah cara May mengumpat ketidaksukaannya pada tingkah Gibran di masa remaja. (Njijiki, bahasa Jawa – jijik)
Sampai pada suatu ketika, setelah bertahun-tahun May menderita keberadaan Gibran sebagai takdir yang terus saja mengikutinya, semakin sering lelaki pembual itu hadir dalam kemuraman yang pernah May alami. Tuhan sepertinya terlalu berpihak pada ketulusan Gibran yang awalnya dianggap May sebagai omong kosong belaka. Padahal sudah tak terhitung berapa kali Gibran mengungkapkan isi hati kepada May, hingga betul-betul membuatnya risih bukan main. Dan sebanyak itu pula May hanya menanggapinya dengan ketidakseriusan atau bahkan seringkali dia abaikan dengan candaan selayaknya basa-basi pertemananan. Sikap itu ia lakukan semata untuk mengalihkan topik pembicaraan agar hasrat batinnya tersimpan dalam-dalam, karena May betul-betul tak ingin sesuatu yang bergemuruh di dadanya itu diketahui oleh siapa pun.
“Ayolah May, kau perlu bukti apalagi?” begitulah kira-kira cara Gibran merajuk.
Kalaupun semua drama itu bertahun-tahun dia peragakan, sebetulnya May hanya ingin memastikan kemantapan hatinya sendiri, bukan karena enggan atau sejenisnya. Sejujurnya May telah jatuh hati meskipun hanya dia ketahui sendiri. Itu karena May sudah tak mampu lagi membantah cara Tuhan menghadirkan Gibran pada beberapa peristiwa penting di kehidupannya. Justru bukan saat bahagia, semacam wisuda atau kenaikan pangkatnya di pekerjaan, melainkan saat-saat dirinya jatuh bahkan ketika tertimpa kemalangan yang tak bisa ditolak. Seperti saat keluarganya tertipu puluhan juta akibat kabar palsu tentang dirinya di rantau. Kenyataannya, lagi-lagi ia tak bisa mengelak hadirnya Gibran pada detik-detik kejadian itu, serupa kebetulan yang dalam batin ia harapkan, seperti doa yang diam-diam ia panjatkan. Sejak saat itu hatinya luluh, keputusan penting telah dia rengkuh, sembari menanti saat yang tepat menerima lamaran Gibran.
Sudahlah, baiknya kau simpan dulu kata-katamu itu, Gibran. Toh tanpa itu semua kita bisa tetap jalan kan? Menikmati indahnya kota, berburu buku-buku cerita, atau sekadar menunda patah hati dengan ngopi berdua. Iya kan? godanya panjang suatu ketika.
May berusaha menjaga irama cintanya dengan Gibran agar tak jatuh kepayang. Dia tak mau rasa suci itu menjadi sesuatu yang hina manakala terungkap bukan pada saatnya. Dia ingin menyongsong kepastian dengan cara yang betul-betul terhormat, tak perlu mengobral kemesraan jika memang belum pantas dilakukan.
Pada akhirnya takdir pula yang memberinya pelajaran. Ketika pada waktu-waktu berikutnya dia dan Gibran, masing-masing terpuruk dalam kesibukan meraih gelar sarjana, disusul tenggelam dalam rutinitas pekerjaan, keduanya nyaris tidak pernah berhubungan lagi, apalagi berjumpa dalam masa yang hanya bertumpu pada kebekuan tanda-tanda. Tanpa surat, tanpa lawat, dalam episode penantiannya yang tak kunjung pekat, Gibran mengabarkan rencananya menikah dengan seseorang. Lewat pesan singkat, Gibran mengawali kabar bahagianya itu demikian:
May, sadarilah bahwa tidak setiap orang mampu menyimpan perasaan cinta kepada sahabatnya, karena hal itu akan selalu menjadi mimpi buruk bagi hari-hari dia selanjutnya. Aku tahu, sungguh beruntung orang-orang yang mampu menahan diri, bersedia memendam hasratnya dengan senyum keceriaan bersama sahabat yang ia cintai. Daripada dia harus menuruti panggilan suci mengutarakan genderang kejujuran akan perasaan cinta yang selama ini menghiasi jalinan persahabatan itu.
Sebaliknya May, aku pun menyadari bahwa sungguh celaka orang-orang yang bernafsu memiliki sahabatnya dengan bara cinta yang berkobar-kobar, daripada menjaga agar api itu menyala dengan keanggunannya. Sehingga tiba saatnya nanti, nyala itu bersedia diri memberikan kehangatan untuk hati sahabatnya itu ketika menggigil kedinginan. Atau cukup ia upayakan mengirim seberkas cahaya, ketika langkah sahabatnya dirundung gelapnya harapan.
Terima kasih May, atas segala pelajaranmu selama ini, tentang persahabatan dan kesetiaan sebagai teman. Dan maaf, jika selama ini aku terlalu membuatmu tidak nyaman. Sebab pada akhirnya, aku sadar bahwa memilikimu bukanlah harapan.
Gemuruh seolah tak bosan merayap dari kejauhan, dan May seperti menemukan dirinya kembali ketika ingatannya tiba pada bagian itu. Dia bukannya mengakui bahwa mengenang hal itu serupa dengan kerinduan lain yang mengoyak kesetian. Namun tiba-tiba dia merasa inilah saat paling tepat, bukan lagi merangkai gemingnya masa-masa penantian untuk sebuah pernikahan, akan tetapi untuk lebih bersungguh-sungguh menyelami palung kedalaman batinnya sendiri. Ia lekas berpikir, bukan terlambat untuk menemukan berlian yang selama ini tersimpan dalam hatinya, setelah puluhan tahun bertahan dalam sunyi yang dia sengaja. Apalagi dia sadar, sudah tandas kebahagiaannya melewati masa-masa hidup berkeluarga bersama suami yang setia dan sepenuh hati mengasihinya. Perlahan May semakin mantap merenda kenyataan dan harapan yang pernah dilaluinya. Bahwa sampai detik ini, tiada nama lain di hati dan bahkan hidupnya selain,
Klek!
May terhenyak dan terliputi rasa dingin pada sekujur badan, bersamaan ketika seorang suster membuka pintu, masuk ke kamar ini dan menepuk pundaknya. Suster itu membuka kunci roda di bawah kakinya, menyertai kembalinya kesadaran bahwa sudah saatnya ia mengakhiri khusyuk ziarah batin kali ini. Suster itu perlahan memutar haluan kursi roda yang ia duduki, membuatnya tahu bahwa perempuan itu ternyata tak sendiri. Beberapa langkah di belakangnya berdiri seorang laki-laki dan wanita cantik berkerudung beserta dua orang anakperempuan dan laki-laki. Semuanya tersenyum, mata mereka benderang, wajah mereka memancarkan kehangatan hingga sanggup menepis dingin yang dirasakan May beberapa saat lalu.
Laki-laki itu mendekati kursi roda di mana Maybeberapa detik sebelumnya sedang menulis sesuatutercenung bersama buku di pangkuannya. Badannya tidak terlalu tinggi namun tegap. Raut mukanya bersih dengan kerut halus yang teduh, sedangkan mulutnya komat-kamit seperti sedang mengucapkan sesuatu. Kedua anak kecil itu membawa senampan keceriaan, mengingatkannya pada dua malaikat yang pernah meramaikan kebahagian hidupnya semula. Sementara wanita cantik berkerudung itu dengan senyum tandas bergegas membetulkan selimut di kaki terbalut perban yang baru diganti pada malam sebelumnya.
Seketika May seperti dihinggapi rasa tak asing. Sudut bibirnya tertarik, ketegangan di wajahnya sedikit meremang, dingin yang menghinggapi batinnya berderaian. Tetapi sayangnya sejak terjadi pengeboman sebuah gereja tiga minggu lalu di kota ini, May yang kehilangan suami dan anak-anaknya dalam peristiwa itu, kini tak bisa mendengar lagi. Kedua telinganya tuli dan sebagian dari tubuhnya mungkin tak kembali.
Semenjak kejadian itu, dia merasa terpuruk hingga larut dalam kebisuan, dan hanya mau bercakap-cakap dengan batinnya sendiri. Ia tak berusaha mengenal siapa pun dari sekian banyak orang yang telah masuk ke kamar ini. Namun dari balik beningnya genangan yang bukan karena hujan sore hari ini, mata May masih cukup jelas untuk membaca tulisan nama bertinta emas di dada laki-laki dengan raut muka teduh itu. ***
Biodata Penulis:
Ian Hasan, kelahiran Ponorogo, saat ini bergiat di Sanggar Pamongan Karanganyar, selain juga terlibat di beberapa komunitas seni, budaya, dan pendidikan, termasuk Komunitas Kamar Kata. Menyukai klepon, kain udeng, tembakau lintingan, dan kekayaan produk tradisi lainnya. Dapat dihubungi lewat surel: [email protected], nomor telefon/WA: 081390129798, dan akun instagram: @ian_hasan.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post