Patung Tuanku Rao yang menjulang setinggi mobil ALS itu sudah berdiri bahkan sebelum pertigaan itu ramai macam sekarang. Jika dulu patung pria bersorban dengan tangan kekar menarik tali kekang kuda putih itu menjadi pusat perhatian, kini pedagang sate dan bakso yang biasa mangkal saban sore jauh lebih mendapat tempat di hati orang-orang Rao Utara, toh patung hanya sekedar patung, tak akan berubah meski dalam sehari tak dipandang.
Di ujung tali kekang kuda putih yang sudah lumutan itu, kabel-kabel hitam silang-menyilang macam jerat burung puyuh di balik rumpun-rumpun padi, sesekali bergoyang dihempas angin yang turun dari atas Bukit Barisan. Cuaca panas, ubun-ubun sudah seperti kena rebus.
“Ke mana kita dulu, Rin?” tanya Kotek sambil mengganti gigi motor supra kretek yang dipinjamnya dari kantor Wali Nagari. Entah sudah berapa lama motor tua itu tidak mendapat sentuhan tukang service, bunyinya sudah kakak-beradik dengan deru mesin bajak.
“ATM dulu, baru ke pasar,” balas Rindu. Laki-laki asal Medan itu mengumpat beberapa saat kemudian karena kakinya terjepit pedal gigi yang ditekannya. Sedangkan Anisa yang menumpang di belakang terhuyung karena motor tiba-tiba menambah kecepatan, reflek tangannya menampar kapala Rin yang tak mengenakan helm.
Siang itu pasar Sabtu Rao Utara penuh sesak, pedagang sindir-menyindir dengan teriakan keras, berusaha merayu pembeli yang berkeliling mencari harga paling murah. Apa mau dikata, ini sudah 2023, bahan masak apa yang murah sekarang? Kalau dulu terong dan daun ubi jalar demikian murah, sekarang meski sudah ditawar penjual tetap ngotot harganya memang segitu se-Indonesia, tak bisa diturunkan lagi, pameo tomat dan cabe harga mati seakan sudah jadi barang lumrah sekarang. Jarang ada yang menawar untuk dua jenis barang ini, kalau ada pun yang berani, paling kena semprot pedagang yang sudah kenyang kena rayuan pembeli.
“Kemarin harga cabe masih lima puluh ribu sekilo, sekarang kenapa malah jadi tujuh puluh?”
Ibu-ibu di samping penjual mainan anak-anak menaikkan alisnya, lalu keluarlah petuah-petuah segar dari mulutnya yang sedang mengunyah pinang masak, yang barangkali tiap minggu itu-itu saja yang diulangnya pada para pembeli.
“Aih, kemarin jangan ditanya lagi, zaman susah sekarang ini, semuanya hampir gagal panen. Itupun sudah balik pokok saja kujual pada kau.”
“Aih, kuranglah, Uni, saya ambil dua kilo rencana, akan ada acara mendoa sedikit di rumah.”
“O begitu, lulus anak kau yang mendaftar kuliah di UNP itu rupanya?”
Ibu-ibu yang menjinjing keranjang belanja tersenyum sebagai jawaban, anaknya yang barangkali masih SD sejak tadi tak lepas matanya menatap mainan ultramen yang tergantung di kios sebelah, namun lidahnya kelu hendak mengatakan ingin membeli itu, mungkin karena sudah sering kena tolak mentah-mentah oleh ibunya.
“Kalau begitu ambil sajalah harga pokok untuk kau, enam puluh lima saja kau bayar padaku, Imaih, tapi jangan lupa kau undang aku ke acara mendoa itu.”
Imaih kembali tersenyum, kali ini agak hambar. Dia terus memilih cabe yang masih baru-baru dan panjang, sengaja betul dipilihnya satu-satu karena takut rugi. Kalau penjual bisa memainkan harga, pembeli juga bisa memilih barang yang bagus untuk diambil, rusak sedikit haram dia mau menerimanya.
Di tengah hiruk-pikuk demikianlah Rindu dan dua kawannya datang hendak mencari ikan asin, kertas belanja yang ada di tangannya sudah diberi centang semua, kecuali ikan asin itu. Demi melihat anak-anak muda belanja ke pasar, Imaih yang sedang memilih cabai pun terusik hendak menyapa.
“Wah, banyak sekali belanjaannya, Dik, kapan acara nikahnya?”
Rindu, Kotek, dan Anisa saling pandang. Nyaris tertawa sebetulnya. Namun Yayuih, pedagang rempah di pasar Rao itu untung saja buka mulut untuk meluruskan.
“Mereka ini anak-anak KKN di Simamonen sana, bukan mau kawin. Ada-ada saja kau ini, Maih,” katanya sambil melihat ke dalam kantong asoi yang sudah membludak. “Sudah lebih dua kilo itu, apa lagi yang akan kau pilih?” Sambil mengulurkan tangan untuk mengambil dan menimbangnya.
“Adik-adik mau cari apa lagi? Kentang murah sekarang, Dik, atau kalau mau wortel juga murah, besar-besar juga.”
Anisa melihat catatan belanjanya yang sudah dibawa dari posko, memastikan tulisan ikan asin itu tidak berubah menjadi kentang, lalu buru-buru menggeleng pada Yayuih yang sudah penuh harap.
“Kami tinggal mencari ikan asin, Buk, mungkin di sebelah sana,” ujarnya memelototi Rindu dan Kotek untuk segera mengangkat karung penuh sesak yang mereka gondol tadi. Keduanya langsung paham, buru-buru pamit karena tidak enak berlama-lama di sana, sulit bagi mereka menjawab pertanyaan tanpa rem dari ibu-ibu pasar yang ceplas-ceplos.
Sorenya, setelah semua barang lengkap, perut terisi dan mulut pun sudah mengepulkan asap rokok Sumatera bungkus hijau yang dibeli Kotek dari lepau sebelah orang menjual makanan kucing, ketiganya berangkat pulang. Tak dekat jarak antara pasar Rao dengan Simamonen, jalannya pun curam dengan banyak tikungan siku yang patah-patah, belum lagi rumah penduduk yang tidak merata di sana. Maklum saja, KKN bukanlah di tengah kota dengan lampu sorot dan kafe-kafe bertebaran sepanjang jalan. Desa tempat tinggal mereka benar-benar jauh di pedalaman Sumatera, tak ada akses internet di sana, tak ada jalan aspal, dan tak ada listrik yang menyala 24 jam.
Sejak di pasar tadi Anisa sebetulnya sudah sangsi hendak membiarkan Kotek dan Rindu pergi ke Tapui untuk membeli tembakau, namun karena kalah jumlah, terpaksa gadis itu mengekor saja sambil mengutuk dalam hati. Kecemasannya akan pulang malam ternyata terbukti beberapa jam kemudian. Rayuan Kotek tentang pergi membeli tembakau karena akan lebih hemat daripada rokok pabrik memakan waktu tiga jam lamanya. Baru ketika mentari sempurna hilang di balik pucuk Bukit Barisan, mereka kembali melewati tugu persimpangan Tuanku Rao yang sedang menggebah kudanya itu.
“Apa kubilang! Pulang malam kita nanti kalau ke Tapui juga membeli tembakau,” rutuk Anisa di belakang, namun Rindu dan Kotek diam saja. Hatinya harap-harap cemas karena akan menempuh daerah tak berpenghuni. Meski mereka bertiga, namun di lokasi KKN yang baru mereka tinggali, siapa tahu apa yang akan terjadi?
Sejak simpang tugu Tuanku Rao, Kotek sudah tancap gas dengan motor supra kreteknya, Rindu yang di belakang pun tak mau kalah. Berkali-kali mereka menggebrak lubang dan berkali-kali pula tak diindahkan. Yang tersiksa justru Anisa, dia terpaksa harus berpegangan pada besi belakang motor jika tidak ingin tertinggal, dan Kotek sama sekali tak peduli dengan itu.
Hingga jalan aspal itu sempurna habis, tak ada orang lain yang mereka jumpai baik ke dalam maupun ke luar kampung, enam buah jorong sudah mereka lintasi dan hanya tersisa satu jorong lagi untuk sampai ke Simamonen, lokasi KKN mereka. Namun di sanalah tantangan terberatnya. Jalanan lengang, jalan sempurna buruk, penerangan yang tidak ada, ditambah pepohonan sawit dan kebun jagung berhektar-hektar yang melingkupi seisi jalan. Perlahan, Anisa mengecek ponselnya yang tak lagi menunjukkan sinyal, dia hanya sekedar melihat jam berapa sekarang dan butuh berapa lama lagi mereka akan sampai di halaman posko, dalam doa dia sudah mulai melafalkan ayat kursi.
Pendakian demi pendakian sudah berhasil ditaklukkan, hanya tinggal beberapa ratus meter lagi untuk mencapai sebuah anak sungai sebagai penanda batas kampung mereka dengan kampung sebelah, namun di sanalah naasnya, motor yang mereka kendarai tiba-tiba padam secara mendadak, tak hanya satu, dua sekaligus. Gelap seketika, macam ada seseorang yang memadamkan lampu. Anisa nyaris langsung menjerit, namun dia sigap melompat dari motor dan menyalakan ponselnya, Kotek dan Rindu mencoba mengengkol kembali motor mereka namun nihil, motor itu sudah macam kehabisan bensin, tak mau menyala lagi.
“Kita harus berjalan,” ujar Kotek beberapa saat kemudian, setelah peluhnya mengucur karena mengengkol motor.
“Gila! Mana mungkin kita meninggalkan motor ini di sini.” Lalu memandang karung goni besar yang terkulai di setang depan motor. “Lalu akan kau apakan belanjaan seberat ini? Mana mungkin kita membawanya.”
“Jam berapa sekarang, Nisa?” Kotek berusaha bersikap tenang, entah dia yang paling merasa bersalah atau memang usianya yang paling dewasa, yang jelas laki-laki itu berusaha bersikap biasa saja di tengah kegelapan yang menyiksa.
“Pukul sembilan malam,” jawab Anisa singkat, lantas memandang berkeliling. Tak ada apa-apa di sana, hanya ada gelap dan sesekali terdengar kepakan burung, atau mungkin kelelawar.
“Ayo, bantu aku menurunkan beban ini,” pinta Kotek pada Rindu. “Atau kau tunggu di sini berdua, aku akan berlari ke posko untuk memanggil yang lainnya.”
Anisa langsung menggeleng seketika. “Kita sama pergi, harus sama pula kembali, jangan mengada-ada kau, Kotek, ini semua ulah kalian! Harusnya sejak tadi kita sudah pulang.”
Tiba-tiba Rindu memberi isyarat untuk diam, cahaya lampu ponsel Anisa meredup, dalam kegelapan seperti itu cahayanya lebih terlihat macam mata nyamuk alih-alih menyebutnya sebagai senter. Ketiganya berdiri saling mendekat, bulu kuduk mereka sudah berdiri sejak tadi.
“Kalian dengar itu?” seru Rindu nyaris macam orang tercekik.
“Jangan macam-macam kau, Rin, kita sedang di tengah hutan sekarang.” Kotek berusaha tetap berani, namun jauh di lubuk hatinya dia sudah mengumpulkan niat jika ada sesuatu yang datang akan langsung memasang langkah seribu.
“Aku tidak bergurau,” balas Rindu. “Seperti suara orang mematahkan ranting.”
Mata ketiganya awas, terlebih lagi Anisa yang menjadi satu-satunya wanita di dalam kejadian itu, dia menepi ke dekat belanjaan, berpegangan ke setang motor dan memejamkan mata, mulutnya tetap komat-kamit, kali ini melafalkan Al-Baqarah juz pertama.
Di ujung sana, memang terdengar seperti suara orang mematahkan ranting, lalu dari tikungan bawah, di dekat jembatan kecil dengan anak sungai yang mengalir perlahan tadi, muncul sesosok tinggi besar, hitam, dan seolah membawa pentungan yang sangat besar. Menyaksikan pemandangan seperti itu, Kotek tanpa ragu langsung mengajang langkah. Malang, bajunya tersangkut potongan bekas batang jagung yang sudah dipanen hingga membuat laki-laki itu terjerembab dan berguling masuk ke anak sungai, bunyinya berdebam macam induk kerbau terjatuh. Sedangkan Rindu dan Anisa hanya diam mematung, tapak mereka sudah mecam dipakukan ke tanah, bahkan lidah pun ikut-ikutan kelu, mereka hanya pasrah, tak dapat melakukan apa-apa.
Peristiwa menegangkan itu ternyata hanya berlangsung sesaat, karena pada detik berikutnya sosok itu sudah nyata dihadapan mereka, seorang perempuan besar yang membawa keranjang belanja, di belakangnya berjalan seorang laki-laki tua yang menggenggam senter empat batu. Melihat ada yang berdiri di tengah jalan, perempuan itu kaget karena ternyata orang yang dijumpainya masih sangat muda.
“Heh, apa yang kalian lakukan malam-malam di sini?” hardiknya. Lalu sesaat kemudian dia sadar kalau keduanya sudah bertemu di pasar Rao tadi siang. “Mana kawan kalian yang satu lagi?”
Rindu menunjuk ke lereng yang sedikit curam dengan tangan gemetar, lalu melirik celananya yang sudah basah dan hangat. Aroma pesing konciang menguar beberapa saat kemudian.
Penulis, Hasbunallah Haris lahir di Solok Selatan, 29 Maret 2001. Kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Giat dalam menulis cerpen dan novel serta beberapa esai budaya. Instagram : @hasbunallah_haris.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post