Ibu memotong daun pisang menjadi beberapa bagian lalu membentuk potongan-potongan daun pisang itu menjadi sebuah kemasan. Sejumlah telur yang lepas dari cangkang, air santan, dan gula pasir setengah kilo dimasukkan ke dalam blender bersama dengan iris-irisan buah pisang. Sebelum Tetta terjaga dari tidur, setelah Ibu tutup blender itu dan memutar pemantiknya–semua hanyut dalam alat pelumat makanan.
Kenyataannya, kebahagiaan kami ada di sini. Sebuah dapur yang bila dilihat oleh orang berkasta tinggi barangkali akan menyebutnya sebagai tempat menyimpan barang bekas. Namun di tempat ini kesenangan kami lahir sebagaimana Aku dan Ibu ketika membuat kue barongko yang akan dijual pagi hari. Ibu memasukkan beberapa barongko ke dalam panci, disusul kuambil kompor yang ada di sudut ruang dapur. Belum memasuki proses pematangan, di tengah-tengah Aku dan Ibu bercerita banyak hal yang mengundang kegembiraan, kami tersentak ketika mendengar suara dentam pintu kamar yang dibanting. Suara yang menyisakan geletar di dinding telingaku. Kami diam dan tahu jikalau orang itu tidak lain adalah Tetta. Sosos yang apabila kulihat hanya mengundang kekesalan di hatiku. Dan tanpa kuduga sosok itu telah masuk ke ruang dapur. Kulepas kompor di genggamanku dan secepat mungkin kututup telinga serta mata. Terdengar redup suara pekikan Ibu yang perih. Lebih perih apabila kusaksikan langsung atas apa yang dilakukan sosok mengerikan itu kepada Ibu.
“Tolong jangan, apa salah saya”.
“Ptaaakkk…. Cari pekerjaan yang bikin kaya!”
“Ampun….”
Aku memeluk Ibu dan memegang salah satu pipinya yang basah. Tetta pergi keluar. Ibu terus saja menangis. Dalam tangisnya seperti ada gerak-gerik jiwa dan rasa dengan luapan emosi. Terngiang kata ampun di kepalaku. Demikian suara pukulam yang keras kendati waktu itu kututup telinga sekuat mungkin. Kutenangkan Ibu. Upaya menenangkan Ibu tetap saja gagal. Tidak lama begitu kegagalanku membendung air mata sendiri.
***
Kutopang semua kue barongko yang telah dinaikkan Ibu ke atas tampi. Sedikit rasa jengah kadang kulirik keningnya yang putih kini ditinggal bekas lebam kian menghitam. Semuanya lekas. Kutinggalkan rumah dengan membawa jualan Ibu. Jualan yang saat ini adalah penyambung hidup kami. Tetta tidak akan pernah membawa uang selembar pun apabila pergi keluar rumah untuk bekerja pada pagi hari dan sampai waktu kepulangannya di malam yang larut.
Seperti setelah ibadah isya aku pulang ke rumah dan menemui Ibu untuk kucium punggung tangannya. Semua jualan habis. Hasil dari jerih payah kuberikan kepada Ibu. Kulihat raut wajah kebahagiaan yang paling langkah dalam hidupku. Aku ingin sekali menangis. Bukan karena Ibu tersenyum haru menghitung hasil jerih payah itu. Bukan. Akan tetapi, hal paling langkah yang jarang kutemukan itu rusak pada saat kutatap kembali lebam pada wajah Ibu. Lagi-lagi kulihat ia dibalik genangan air mata. Aku beranjak menuju dapur mengambil parang sebelum kemudian keluar dari rumah mencari pohon pisang. Aku mendatangi pekarangan Daeng Halim. Satu-satunya tetua di desa ini yang memiliki lahan tertentu untuk menanam bibit-bibit pohon pisang. Daeng Halim mengerti. Apabila ia melihatkau dengan setangkai parang yang terikat di pinggul, Daeng halim hanya mengangguk mengiyakan dalam keadaan duduk santai sambil mengisap cerutu kulit jagungnya itu. Cukup kutebang pohon pisang yang selesai panen buah. Kemudian kupotong daunnya dan kusampirkan ke bahu. Aku pulang. Tidak lupa berpamitan kepada orang tua yang baik itu.
Semua sudah lengkap. Telur yang lepas dari cangkang, air santan, buah pisang, dan gula pasir setengah kilo tersusun rapi di teras serta beberapa daun pisang yang saat ini kutaruh melantai. Malam ini kami tidak membuat kue di dapur sebab pelataran rumah menjadi tempat baru kami. Beberapa waktu berlalu, pada saat Ibu membentuk daun pisang menjadi sebuah kemasan, ketika berhasil kupindahkan tabung gas serta kompor di pelataran–kami seketika tersentak. Kali ini bukan karena pintu. Tetta pulang ke rumah. Jalannya sempoyongan. Ia teriak seperti orang kerasukan. Tercium bau yang tidak lagi asing darinya, bau arak Makasar. Kami terdiam. Sesungguhnya aku tahu apa yang akan terjadi sekalipun ada upaya kami menutup mulut. Kututup mulut pada saat sekilas kulihat tubuh Ibu gemetar. Barangkali lebih gemetar seketika Tetta mengulang kesalahan yang sama. Menarik rambut Ibu, menghantam tubuhnya tanpa peduli pekikan Ibu memohon ampun.
Malam ini aku harus bertindak. Apabila tidak, hal yang paling jarang kutemukan itu tidak akan pernah kulihat lagi. Aku tidak ingin melihat lebam di wajah Ibu. Kubuka mata ditambah perasaan kecamuk marah. Dipikiranku hanya satu kepastian. Kini aku tidak berjalan menuju dapur. tidak pula berlari ke rumah Daeng Halim. Tanpa bimbang kukepal tangkai parang sebelum akhirnya kulepas dari sarung. Aku melakukan apa yang tidak harus kulakukan. Untuk hari ini, demi sempurna kulihat kebahagiaan Ibu lagi.
Tetta panggilan Ayah bagi kebanyakan masyarakat bugis
Penulis, Faiq Haykal. Pare-pare Sulawesi Selatan. Mahasiswa di Universitas Negeri Makassar. Bisa ditemui di media sosialnya: Instagram; @fai.q22
Baca juga tulisannya di faiqhaykal.blogspot.com
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post