Ketahuilah bahwa yang membunuh keluargamu adalah bapakmu sendiri. Ia terlalu lemah menggunakan kekuatanku di parangnya, sehingga…, parang itu lepas kendali.
Fahrul Rozi, Parang Putih
Awan hitam menebal dan semakin besar di langit, angin beberapa kali membawa pepohonan diguncang was-was, sebab belimbing yang baru tumbuh akan jatuh. Orang-orang di desa Anyar menaksir akan ada musibah, atau sesuatu yang tidak biasa terjadi. Hal ini membuat semua warga menutup rapat pintu rumah mereka. Di bawah langit gelap, seorang lelaki bertelanjang dada, dengan tangan penuh darah menutup lubang kubur dengan cangkul tua. Lalu hujan jatuh dan darah menghilang dari tangannya.
“Macan putih” terngiang kata terakhir saudarinya.
***
Wari tinggalkan desa Anyar setelah mengubur jasad orang tua dan saudarinya. Ia tinggalkan desa itu saat hujan deras, ketika semua warga tidur, ketika anak kecil yang nakal mengintip kepergiannya dari jendela. Ia tahu betul semua warga takut pada keluarganya yang ahli besi. Karena tentu ahli besi akan membunuh siapa pun dengan senjatanya. Tapi bapak Wari yang dikarunia ilmu Empu Gandring, hanya bisa menempa besi, lain tidak.
Jalan yang dilewati semakin sulit; air sungai meluap, pohon-pohon tumbang karena angin kencang. Ia tidak bisa melanjuti perjalanan sehingga ia harus lari ke pedalaman menghindar jalan sungai. Mencari tempat teduh, tapi yang ditemu hanya padang rumput. ia lari lebih dalam dan yang ditemukan hutan jati. Ia kembali ke padang rumput, menunggu hujan berhenti.
Setelah hujan reda, ia berjalan ke arah hutan jati dan menebang dua pohon jati besar dan lurus tanpa cacat. Ia buat gubuk kecil di padang rumput. Sisa kayu ia jadikan pagar mengelilingi gubuk lalu sisanya ia buat tombak runcing.
Ia tinggal di sana cukup lama. Semua peralatan besi ia tinggal di desa Anyar. Ia hanya membawa parang tua milik bapaknya. Dengan parang itu pula ia menebang dua pohon jati. Parang tua milik bapaknya sangat bermanfaat. Fungsional.
Dan entah pada malam keberapa, pada satu malam yang gelap serta langit berkabut, persis ketika keluarganya tewas, ia terjaga. Terdengar kersak-kersik di halaman gubuknya. Segera ia meraih tombak di dinding, dan bangkit melihat keluar dari balik jendela.
“Siapa kau!?” sergahnya dengan mengarahkan tombak pada sosok berjubah hitam.
“Mengapa kau kemari?”
Sosok di balik jubah itu membuka tudung kepalanya, mendongak sembari berjalan ke arah Wari. Sosok itu berkata, “Aku Tina. Aku tidak bermaksud mengganggu tidurmu. Aku hanya tersesat ketika keluar dari hutan larangan. Tahu-tahu aku sampai di sini.”
“Mengapa kau ke hutan larangan?”
“Bukan urusanmu bertanya seperti itu. Aku hanya ingin segera kembali ke kampung sebelum—” belum selesai perkataannya, Wari telah memotong pembicaraannya.
“Jawablah pertanyaanku sebelum tombak ini menghunus dadamu,”
“Baiklah, baik. Aku ke sana mencari tanaman herbal untuk ibuku. Ia sedang sakit, dan hanya ada satu obat, dan itu ada di hutan larangan. Aku terpaksa pergi diam-diam karena tetua adat melarang warga pergi ke sana. Karena di sana ada macan putih, penunggu hutan tersebut.”
Lagi-lagi terngiang kata saudarinya, macan putih. Tapi ia urung bertanya pada Tina. Ia malah bertanya soal sakit ibu Tina, dan berjanji akan menemaninya mengambil tanaman herbal. Obrolan itu pun berakhir:
“Sekarang antarkan aku kembali ke kampung sebelum matahari terbit,” sosok di balik jubah berbalik memasang tudung kepalanya kembali.
Wari turun dari gubuk, berjalan di depan sosok di balik jubah. Di kanan-kiri berdiri pohon-pohon dan kunang-kunang terbang di sekitar mereka. Bunyi burung hantu serta dengkur katak membuat subuh berirama. Di ujung jalan sana terlihat cahaya menerangi.
Sosok di balik jubah berkata, “sampai sini saja”. Ia melapas jubah hitamnya. Rambut panjangnya tergerai semampai. Mata bulatnya menatap tajam seperti sedang memangsa. Bibirnya merah seperti mawar, ia bekata lagi. “Terima kasih telah mengantarku sampai sini. Aku akan kembali ke gubukmu secepatnya setelah aku punya kesempatan kabur,”
Wari mengangguk. Dan ia melihat perempuan itu berlari ke balik semak-semak, punggungnya bergerak naik turun. Wari masih mencium baunya. Ia melihat bayang-bayang di ujung jalan itu, mungkin ia sudah sampai di rumah. Desa Tina tidak jauh dengan desa Anyar, sehingga sehabis mengantar Tina ia ziarah sebentar ke kuburan keluarganya.
***
Dalam ziarahnya pagi itu, sekelebat ingatan meloncat masuk ke kepalanya. Sebelum mala itu datang, seorang lelaki dengan kepala botak membeli parang dengan jumlah banyak. Setelah ditanya untuk apa, lelaki itu menjawab dengan sedikit gurau, “mengkuliti manusia”. Tentu Wari dan bapaknya hanya ikut tertawa. Sambil menyerahkan sepuluh parang dan enam pisau, lelaki itu berkata, “saya punya banyak pesanan daging sapi yang harus diselesaikan hari ini … yang tadi itu bercanda.” Dan lelaki itu terbahak lagi.
Petang setelah matahari jatuh ke barat, Wari mendengar teriakan dari rumahnya. Ia yang saat itu mengambil air di sungai segera berlari dan mendapati bapaknya terlentang dengan tangan kanan memegang parang yang penuh darah. Ibu dan adiknya berbaring dengan perut terburai, dan bekas sabetan di leher. Tapi ia dengar sesuatu dari mulut adiknya. Mungkin itu adalah tanda atas teka-teki yang hendak diungkapkan adiknya: macan putih.
Jiwanya kembali tersadar. Ia melihat tiga kuburan di depannya basah oleh embun. Bunyi kokok ayam memperingati dirinya agar segera pergi, sebelum, sebelum warga desa Anyar mengetahui keberadaanya.
Dalam gubuk kecilnya ia renungkan potongan-potongan petunjuk. Tapi tak satu pun petunjuk itu datang atau ditemuinya. Ia hanya ingat kata terakhir adiknya.
Maka, ketika Tati datang dengan jubah hitam pada malam gelap, Wari mengambil tombak dan parang tuanya. Ia membawa pijar. Mereka berjalan masuk hutan lalu melewati akar-akar tanaman yang menghambat jalan. Wari berjalan di depan Tati sambil menerangi jalan Tati. Mereka terus saja berjalan dan berjalan. Menyibak ilalang, dan tanaman liar. Tiba-tiba mereka berhenti di depan pagar berduri.
“Kita perlu mencari jalan masuk pagar ini,”
“Aku akan mencari di sana,” katanya menunjuk ke kegelapan.
“Bawalah pijar ini.” kata Wari memberi pijar. “Teriaklah bila sudah menemukan jalan masuk,” sambungnya lagi.
“Kau tidak apa-apa aku tinggal sendiri?” tanyanya. Wari menggeleng, dan,
“Jangan pikirkan aku.” Tati mengangguk, dan meninggalkan Wari.
Wari berjalan ke arah sebaliknya. Menyusuri sepanjang pagar berdiri. Ia berhenti sekedar memeriksa sekitar. Ia melangkah hati-hati. Angin menderu, menggerakkan batang pohon besar di balik pagar berduri. Namun, langkahnya berhenti, seekor macan putih berdiri di depannya. Wari meraih tombak dan siap melemparkannya. Tapi tiba-tiba macan itu menghilang, dan sekejap sudah berada di belakang Wari. Ia meloncat menghindar. Macan putih mengaung, lalu berjalan tegap ke arahnya. Sayangnya Wari terpojok, tangan kanannya bergetar memegang bilah tombak yang ujungnya mengarah ke macan. Dan hewan putih itu makin dekat, dan tak disadari tombak di tangan Wari, jatuh. Ia meraba parang di pinggangnya, raib.
Tiba-tiba macan itu sudah menghilang, dan yang ada di depannya adalah sebuah adegan pembunuhan keluarganya. Dia tidak bisa menebak siapa sebenarnya pembunuh itu, karena dia hanya melihat bayangannya saja. Dia memalingkan wajah ketika adegan memperlihatkan parang ditusukkan ke dada ibunya berkali-kali, dan tebasan ke leher adiknya, tetapi, setelah adegan itu terdengar tangisan yang menyayat. Dia lihat, bapaknya berdiri dengan tangan kanan memegang parang berlumuran darah. Kemudian parang itu lepas dari tangannya dan menancap di jantung bapaknya.
“Ketahuilah bahwa yang membunuh keluargamu adalah bapakmu sendiri. Ia terlalu lemah menggunakan kekuatanku di parangnya, sehingga …, parang itu lepas kendali.”
Wari terpana dengan penjelasan macan putih. Ia merasa bersalah karena mencurigainya. Tiba-tiba macan putih itu berubah menjadi parang, yang persis dengan parangnya. Lalu ia melayang ke atas seperti peri dan menghilang meninggalkan serbuk-serbuk cahaya berkilauan. Wari tidak tahu apa ia sedang bermimpi atau tidak, tapi jika tidak, mungkina dia bisa gila.
***
Tati keluar dari balik pagar berduri dengan tanaman di kantongnya. Ia mencari Wari sepanjang pagar berduri, dan terkejut melihat Wari terkapar di atas tanah. Tati segera mendekatinya, mengecek nadinya. Hidup. Ia memeriksa seluruh badan Wari, tidak ada luka.
Beberapa hari kemudian, Wari sadar dan berkata: “Aku melihat macan putih itu bicara denganku.”
Wari tidak berhenti bicara pada orang-orang yang menjaganya berhari-hari, termasuk Tati dan ibunya, yang telah pulih dari maut. Mereka mendengarkan cerita Wari sambil mengucurkan air mata. Mereka tahu, Wari menanggung beban yang sangat berat. Tapi, Wari tetap bicara meyakini mereka hingga suatu hari Wari berhenti mencoba.
Kutub, 16-03-2020
Fahrul Rozi lahir di Sampang. Belajar di Prodi Filsafat Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun daring.
Discussion about this post