Takkan pernah aku lupa, setiap pukul 4 pagi, Ibu akan menyalakan tungku untuk merebus singkong dan ubi jalar. Setelah itu duduk di hadapan cermin dan memoleskan sedikit pemerah bibir. Tak lama, suara klakson berbunyi. Ibu segera mengambil tas selempang dan berlari keluar. Aku ikut berlari menuju mulut pintu. Dari sana aku melihat wajahnya yang bercahaya.
Sebenarnya, Ibu melarangku untuk bangun sepagi itu. Ia bilang langit masih gelap dan malam masih panjang. Jika melihatku terbangun, ia akan mengusap rambutku yang berantakan sambil tersenyum. Tetapi aku memang sengaja bangun sepagi itu, untuk melihat caranya merias wajah, memasak dan menyapa kawan-kawannya yang sudah menunggu di mobil bak.
Dari mulut pintu, aku melihat Ibu menyapa kawan-kawannya. Kawan-kawannya itu tentu saja ibu dari kawan-kawanku. Mereka saling bercanda dan tertawa. Seakan hidup ini begitu ringan. Sedangkan aku tahu bahwa tiap-tiap pundak itu menanggung beban yang begitu berat. Mungkin beban itu berbeda-beda. Mungkin juga sama beratnya. Aku tidak tahu dengan pasti, sebab mereka begitu pandai menyembunyikan luka.
Tak lama mobil jemputan itu meninggalkan halaman rumah. Aku berteriak memanggilnya. Seketika ia menoleh dan membalas lambaian tanganku.
Bila suatu pagi aku tidak bangun, aku akan marah kepada diriku sendiri. Saat-saat seperti itu adalah penting bagiku. Aku perlu banyak melihat dan belajar. Lazimnya kehidupan seorang perempuan di kampungku, semua akan memiliki nasib yang tidak jauh berbeda. Namun, Ibu kerap menasihatiku agar tidak mengikuti jejaknya. Padahal aku menyukai cara hidup seperti itu: menjadi perempuan yang sibuk.
Aku senang melihat Ibu merias wajah, terutama saat mengukir alis dan memoleskan pemerah bibir. Setelah itu ia mengambil tas selempang berwarna hitam yang kemudian disangkutkan pada bahunya yang lebar. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju mobil yang menunggunya di halaman. Lalu ia akan melompat ke dalam bak mobil itu. Seketika terlintas dalam benakku tentang tugas-tugas berat yang akan ia lakukan pada hari ini.
Di kampung kami, tidak banyak perempuan yang betah di rumah. Mereka lebih senang menjadi seorang buruh. Entah itu buruh tani, buruh pabrik, buruh cuci, buruh angkut, buruh kebun, bahkan buruh tambang sekalipun. Sebagian dari mereka memang terbiasa bekerja sejak kecil. Dididik agar hidup mandiri atau karena keterpaksaan ekonomi.
“Asal kau tahu saja, Win. Melakukan pekerjaan rumah tangga itu jauh lebih capek!” kata Ibu suatu waktu. “Pekerjaan rumah tangga itu tidak ada habisnya!” lanjutnya.
Aku mengangguk-angguk saja, sambil mencari kebenaran dalam sorot matanya.
Sebenarnya Ibu belum lama menjadi buruh pabrik. Tepatnya tiga bulan yang lalu ketika kami sudah tidak punya apa pun untuk dijual. Sedangkan uang salawat atas kepergian bapak sudah lama habis. Kami tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Hutang di warung juga sudah menumpuk. Saat itulah Ibu memutuskan untuk melamar ke sebuah pabrik tekstil di kampung sebelah. Dengan membayar separuh dari gaji pertamanya sebagai biaya administrasi, akhirnya Ibu bekerja.
Sepeninggal bapak, kehidupan kami memang sempurna berubah. Kami seperti perahu tanpa nakhoda. Bapak yang sehari-hari menjadi buruh angkut di pasar ternyata adalah satu-satunya sumber kehidupan kami. Dan itu baru kami rasakan ketika ia sudah wafat.
“Kalau bisa memilih, sebenarnya aku tidak mau jadi buruh pabrik, Win. Karena seberat-beratnya pekerjaan rumah, itulah tugas utama seorang perempuan.”
Akhir-akhir ini kalimat seperti itu sering aku dengar ketika Ibu pulang bekerja. Berbanding terbalik dengan apa yang pernah diucapkannya pada awal bekerja dulu. Mungkin rasa lelah dan pusing yang membuatnya seperti itu.
“Demi Tuhan, Win. Kau tidak boleh seperti perempuan di kampung ini. Kau tidak boleh bernasib sama seperti kami. Kau harus merasakan nikmatnya menjadi ibu rumah tangga. Kau harus menjadi seorang nyonya besar! Nyonya besar, Win!”
Setelah mendengar itu, bermalam-malam aku tidak bisa tidur. Aku gamang memikirkan apa yang selalu Ibu harapkan kepadaku. Andai ia tahu bahwa aku selalu takjub dengan kepiawaiannya. Sungguh, aku ingin sepertinya! Menjadi seorang ibu sekaligus pekerja yang tangguh.
Belum genap empat bulan Ibu bekerja, ia sudah sakit-sakitan. Berat badannya turun begitu cepat. Aku memaklumi karena Ibu belum pernah bekerja penuh waktu. Apalagi kudengar pabrik itu memiliki peraturan yang sangat ketat, juga tekanan yang maha dahsyat. Mungkin itu sebabnya Ibu selalu memakai pemerah bibir, untuk menutupi rasa lelah di wajahnya.
Lantas yang membuat kepalaku menjadi penuh adalah anggapan orang terhadapku: sebagai anak semata wayang. Mereka bilang aku memiliki tanggung jawab yang besar. Namun, aku tidak tahu makna dari tanggung jawab yang besar itu seperti apa. Apakah aku harus ikut bekerja?
“Jangan, Win! Kau harus tamat SMA. Aku hanya perlu istirahat beberapa hari saja.”
“Tapi, Bu…”
“Jangan, Win! Pokoknya jangan!”
Keesokan harinya, pukul 4 pagi, aku kembali melihat Ibu meyalakan tungku dan merebus singkong. Tubuhnya dibaluti seragam kerja berwarna biru muda. Setelah itu Ibu menuju kamar. Aku mengintipnya dari celah pintu yang terbuka. Ibu mengukir alisnya serupa cerulit, lalu menaburi wajahnya dengan bedak. Diambilnya sebatang gincu berwarna merah, kemudian dioleskan ke bibir.
Tak lama suara klakson terdengar. Ibu segera mengangkat singkong lalu menaruhnya di mangkuk. Ibu mengelus rambutku yang panjang sambil memintaku agar tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Kemudian ia mengambil tas selempang berwarna hitam lalu disangkutkan di bahu. Setelah itu, Ibu melompat ke dalam bak mobil sambil tersenyum.
Kejadian itu terus berlangsung setiap hari. Dan rasa kagumku semakin besar. Sampai akhirnya aku dewasa, dan tinggal di suatu tempat yang sangat jauh. Aku selalu bangun pukul 4 pagi dan menyibukkan diri di dapur. Hingga akhirnya sebuah klakson terdengar begitu nyaring. Aku segera menemui suamiku dan membantunya merapikan dasi. Kemudian ia sedikit berlari keluar membawa tas hitam berisi dokumen. Aku hanya termangu di mulut pintu dengan mata yang terasa panas dan berair. Lalu aku memutuskan untuk kembali tidur, menikmati hidup sebagai nyonya besar. [*]
Tentang Penulis
Ede Tea lahir di Bogor 1998. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan media daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Merupakan alumni Klinik Menulis yang juga bergabung dengan Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Email:[email protected]
Discussion about this post