Ron sering mengorek lubang pantat. Dalam tiga detik, setelah perbuatan telunjuknya itu, ia akan mengendus. Ujung hidungnya berkedut setelah menghidu sebuah aroma yang akan membawanya terbang ke alam bawah sadar, membawa imajinasi liarnya meledak-ledak di kepala. Jemari tangannya kemudian lincah menggerayangi papan keyboard. Menderetkan huruf demi huruf menyusun kata, merangkai kalimat, lalu menyusun paragraf di mana tubuh pamannya selalu bersembunyi ke dalamnya.
Ron butuh waktu tiga belas detik, menghirup aroma yang tak biasa tersebut dan membawa alam bawah sadarnya berkelana. Menelusup sembunyi ke dalam setiap huruf dalam deret paragraf yang ditulisnya. Sejak ia tinggal bersama paman Daff yang sangat ia sayang, Ron selalu punya ritual khusus sebelum menulis.
Ron dulu menganggap dirinya gila. Namun, ia sadar semua yang dilakukannya seolah tergerak dari suara hatinya. Sekitar tiga bulan lalu memang ada petugas apartemen tiba-tiba datang. Melihat kondisi kamar ketika sebuah aroma aneh menyeruak dari dalam kamar. Mereka bermaksud melihat kondisi paman Daff setelah tahu, pria usia kepala enam itu ternyata sudah tak bergerak di pembaringan. Paman Daff harus dibawa ke dokter setelah salah satu tetangga kamar yang baik hati memanggilkan dokter untuknya. Kanker usus besar bisa saja membawanya dalam kematian. Sebelumnya, paman Daff sering mengeluh sakit perut, kata Ron.
Ron tak acuh. Tempat ini bukan di Indonesia yang siapa saja bisa mengemis meminta belas kasihan demi kesembuhan dan kesehatan, termasuk kepada pemerintah. Visa Ron belum diperpanjang. Honor cerpen belum turun. Gaji buruh membersihkan salju di depan balai kota belum diberikan. Ron mengusir petugas kesehatan itu dalam kesantunan. Paman Daff akan sembuh dalam perawatannya.
Ron satu kali pernah membayangkan, jutaan bakteri e-coli berkembang biak di atas papan keyboard akibat kebiasaannya dari lubang pantat dan telunjuk. Bakteri itu bisa saja berkedut-kedut. Meliuk-liuk mengikuti huruf S, atau menjejakkan dua kakinya yang panjang ke samping kanan atas dan kanan bawah mengikuti pola huruf K. Berkamuflase agar bakteri itu tak tampak saat ia akan membersihkannya. Namun, Ron tetap pada pendirian. Papan ketiknya tak akan kotor atau terkena bakteri. Tangannya selalu ia cuci setelah selesai menceboki paman Daff yang buang air besar sembarangan di seprai. Lain hal jika ia akan menulis. Keyboardnya dengan rendah hati harus menerima sebuah aroma yang keluar dari lubang sana. Hanya dengan aroma itu, Ron bisa lancar menulis dan menumpahkan segala isi di dalam kepalanya dalam deret paragraf yang menawan.
Ron memulai kebiasaan itu setelah tak sadar ia membuka sebuah web tentang organisasi partai merah kala itu yang di-blacklist pemerintah. Sebuah simbol alat tukang dan alat tani saling tumpang tindih. Partai itu memang didirikan untuk menaungi para buruh dan tani. Ketika partai itu mencetuskan skandal dalam sebuah agenda untuk mengubah haluan ideologi, TNI AD kala itu menjadi garda terdepan melawan. Ron ingat betul, keluarganya keturunan Issac Panjaitan yang banyak menjadi anggota TNI di Jakarta. Setelah kejadian berdarah gestapu, paman Issac berusaha meninggalkan Jakarta menuju Medan. Memilih melepas pekerjaannya demi keselamatan keluarga. Ron yang ketika itu masih ingusan, belum begitu paham, begitu kuat ketakutan paman Issac pada sesuatu yang telah terjadi sebelumnya. Detik yang berdetak kala itu mirip moncong senapan yang siap memuntahkan sebutir peluru ke kepalanya, menghabisi seluruh keluarganya. Sebuah ancaman dan saling tuduh merasa paling benar yang jadi alasan.
Ron ikut saja. Tak banyak tanya, tak banyak melawan. Kita cari tempat aman, begitulah penjelasan paman Issac berulang-ulang. Sehari setelah sampai di Medan, Ron makin tak paham. Paman Issac segera membawanya pergi ke Stutgart, menyusul istrinya yang sekolah dan bekerja di sana. Ron tak punya ayah ibu dari kecil. Mengikuti ke mana paman Issac pergi adalah pilihan. Termasuk ketika tiba-tiba, ia harus memanggil paman Issac Panjaitan dengan panggilan baru, paman Daff. Ya, paman Daff saja. Tidak usah pakai nama marga seperti orang Batak pada umumnya. Siregar, Panjaitan, Marbun, Siahaan, dan sebagainya. Ron sepakat.
Ron mengendus telunjuk, setelah sebelumnya jari itu masuk lubang. Ada aroma yang memabukkan menguar dari sana. Ron masih mengingat-ngingat, kapan terakhir kali paman Issac meminta cebok. Kapan terakhir kali paman Daff meminta dibuatkan telur ceplok setengah matang. Kapan terakhir paman Daff terakhir minta dipotong kuku jari tangan dan kakinya. Dan kapan terakhir paman Daff tak sengaja ikut mengendus telapak tangannya.
“Apa-apan ini? Kamu belum cuci tangan. Bau asam.”
Ron melihat telur ceplok itu berhamburan di bawah. Menyisakan ceceran lumer kekuningan di lantai. Buru-buru Ron ambil sapu, ambil kain pel. Dalam sepuluh menit, lantai bersih seperti semula. Namun, paman Daff telah duduk di atas kursi roda di samping jendela. Melihat langit Eropa barat selalu saja berwarna abu-abu tua dengan deretan pohon oak sepanjang pinggiran jalan terdiam beku, gemetar menahan kedinginan.
“Ron, aku ingin sekali minum salju. Mengemutnya. Maukah kau mengambilkannya untukku?”
Ron diam. Bertambanya usia, manusia akan kembali seperti awalnya. Menjadi bocah ingusan umur belasan bulan. Minta ini minta itu. Kemauan tak dituruti bisa menangis, tantrum, lalu membanting apa saja di depannya. Ron bisa saja tak menuruti keinginan paman Daff. Toh, ia sudah menyembunyikan benda berbahaya di gudang. Hanya ada dia di depannya jika paman Daff marah. Dengan tubuh kurus kering itu tak mungkin ia bisa membanting atau berani melawan dirinya yang tinggi gempal.
Ron tetap diam meskipun paman Daff masih menunjuk ke luar dengan telunjuknya. Padahal Ron sudah seminggu ini tak keluar rumah. Bertahan dengan gaji bulan kemarin dan makanan antar dari penjual makanan daring. Ia tak mau pamannya nekat keluar dan menahan hawa dingin ekstrem di luar. Terlalu berbahaya. Apalagi, angin berhembus lebih kencang dari biasanya dengan membawa hawa dingin di bawah suhu rata-rata. Kurang dari empat derajat celcius.
“Bagaimana kalau dengan es krim Viennetta di kulkas?”
“Kamu hobi mengalihkan pembicaraan. Mirip mendiang istriku. Sudah, aku maunya itu. Kalau tak mau biar kuambil sendiri keluar.”
“Tangganya licin. Paman malah membuatku khawatir. Paman di sini saja. Aku akan mengambilkannya.”
Ron menurut saja. Padahal, seminggu sebelum ia memutuskan terus mendekam di dalam kamar, ia masih teringat betul dengan seorang dokter yang dipanggilkan tetangganya di sebelah kamar apartemennya. Pria paruh baya dengan kumis tipis, seolah kumis itu sisa kismis dari roti yang belum dibersihkan di atas bibirnya. Namun, kenangan lalu di kepalanya tak akan pernah mati. Di Jakarta, ketika suasana dendam terus membara, Ron pernah melihat pria itu di samping rumahnya. Memasukkan seseorang yang terkulai diam ke dalam mobilnya.
Ron kecil tak akan pernah tahu, apakah bapak-bapak di samping rumahnya sedang bermain dokter-dokteran atau apa. Ia, hanya terus melihat di saat tubuh mungil Ron bertengger di antara dahan pohon mangga. Ia melihat persis di samping rumahnya pria itu bersama satu pria lain. Mengucap sesuatu dalam bisik yang Ron pun tak akan bisa mendengarnya. Namun, hari ini, atas nama kemauan paman Daff, Ron menurut saja. Melangkah pelan ke bawah menyusuri lorong tangga darurat. Lift sedang rusak. Begitu kata petugas perawatan apartemen yang bisa dibilang termurah di kotanya.
Ron memasukkan lima sendok salju di halaman depan ke dalam cangkir. Gegas membawanya ke atas sebelum salju itu mencair. Namun, sesampainya di depan pintu kamar, paman Daff tiba-tiba telah terbaring diam di pembaringan. Mulutnya menganga. Ron memastikan jika paman Daff masih bernyawa.
“Aku sudah bawakan saljunya. Kenapa paman tak jawab? Duduklah, nanti kubantu. Ya, meskipun aku tahu salju tidak untuk dimakan. Kalau paman Daff merasa mual setelahnya, hentikan saja.”
Ron bingung. Paman Daff tetap bergeming. Lalu, ia ingat di lantai dua dari bawah, ia bertemu lelaki yang mengaku dokter dan meminta membawa pamannya ke rumah sakit. Lelaki tetangganya yang pernah ia lihat lebih dari dua dekade tahun lalu.
Ron mengumpat. Jangan-jangan ia datang dan sengaja menyelinap ke kamar ini dan melihat situasi aman tanpa penjagaannya. Ron gegas keluar, turun, dan menanyakan lelaki yang dimaksud pada resepsionis dan tugas penjaga. Menjelaskan pria dengan ciri-ciri tersebut. Mereka semua kompak menggeleng tidak ada.
***
Ron tiba-tiba kaget. Sebulan lebih setelah gempar aroma tak sedap keluar dari kamarnya dan membuat resah tetangga kamar, polisi berdatangan ke kamar Ron. Paman Daff masih setia terbaring di pembaringan. Tubuhnya sedikit membiru dan mengalami pembusukan. Dan setelah berita yang menggemparkan itu, entah kenapa ia tak bisa lagi menulis. Di tepi ranjang yang kosong, di mana Ron dititipkan di dinas sosial setempat, ia rasakan lubang pantatnya terasa nyeri dan gatal. Seolah ribuan cacing kremi bersemayam di sana.
Ron hanya bisa meletakkan kedua tangannya di atas meja. Meneteskan air mata ketika nyala laptop di meja malah balik memandang wajahnya. Di atas papan ketik itulah, paman Daff telah bersemayam, mendongengkan segala kisah hidupnya. Kini, ia sudah tak bisa apa-apa. Suster sialan yang selalu menjaganya telah membersihkan laptopnya dan tangannya dengan cairan antibakteri. Juga membersihkan ingatan cinta pada paman Daff bahwa ia pernah tinggal sebagai sepasang “kekasih”.
Ron, hanya mampu bergumam pada langit senja di ujung jendela, seolah gumpalan-gumpalan abu-abu tua di depan menyindirnya, “Sabda Tuhan dibuat demi kesempurnaan semesta. Ada rindu ada dendam, ada hitam ada putih, ada perempuan ada laki-laki. Dan kamu mengacaukan sabda semesta dengan memilih jalan yang berbeda.”
Biodata Penulis:
Dody Widianto lahir di Surabaya. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Media Indonesia, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Fajar Makassar, Rakyat Sultra, Suara NTB, dll. Akun IG: @pa_lurah.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post