Dalam dunia teknis material misalnya, mengacu kepada pendapat John Bird dan Carl Ross bahwa kerapuhan suatu sifat material ditandai dengan adanya patahan tanpa didahului atau mengalami deformasi plastis. Kaca, beton, batu-bata, besi cor, dan keramik merupakan contoh material rapuh karena hampir tidak mempunyai atau absennya fase plastis. Kerapuhan ada dan terjadi karena kurangnya keuletan.
Ketika membincangkan kerapuhan material, sisi daya tahan tak boleh luput diperhatikan dan dibicarakan, sebab daya tahan menggambarkan kemampuan material dan komponen untuk bertahan dari kerusakan dalam masa pakai dan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang relevan. Daya tahan menunjukkan interaksi material terhadap proses produksi dan konstruksi dari karya.
Pada pameran bertajuk “The Un-Brittle” yang dirancang Galeri Omah Budoyo, seniman yang terlibat sangat mengedepankan soalan material dalam pengerjaan karya seninya. Saqat Al Afghani Panai dan Ryan Fernandes merupakan seniman yang menggunakan material logam, Widi Pangestu Sugiono menggunakan material serat tumbuhan/kertas, Faelerie serat sintetis, serta material tanah digunakan oleh Dian Hardiansyah.
Jika ditinjau dari asal muasal sumber material, masing-masing karya kelima seniman memiliki sisi daya tahan. Karya keramik misalnya perlu dibakar pada suhu tinggi agar tanah dan glasir memunculkan kandungan kaca silika, membuat tahan air, tahan lama serta tidak mudah pecah. Pada karya logam, pelapisan dengan jenis cat clear dilakukan agar permukaan plat memiliki resistansi terhadap korosi. Perlunya pengontrolan tingkat pH serat dan kandungan zat tanin melalui pemasakan menjadikan material kertas kuat. Sedangkan pada karya tekstil, material polyester dipilih karena dari segi kekuatan benang maupun ketahanan warna lebih tahan lama daripada katun maupun wol.
Mari kita tengok lebih dekat karya kelima seniman. “Ziarah Bumi” ialah tajuk yang diberikan Dian Hardiansyah untuk merangkum tiga seri karya keramiknya. Tajuk yang ia pilih masih satu rangkaian dan melanjutkan karya dari 2022. Material tanah yang ia gunakan berasal dari daerah Pacitan, Sukabumi, Bangka Belitung, dan Singkawang. Karya yang dihadirkan merupakan eksperimen memunculkan warna red dan gold, hasil perpaduan tanah dengan sentuhan glasir. Karya-karyanya berpijak pada konsep repetitif, instalasi, dan modular. Karya-karyanya meminjam tiruan biomimikri, yaitu visual tekstur-tekstur terkecil yang diambil dari alam, misalnya duri dan sisik dari tumbuhan atau hewan. Tiruan abstraksi yang ia pilih tak serta merta tanpa alasan. Biomimikri dipilih untuk mendukung gagasan-gagasan karya yang dikerjakan dan memunculkan harmoni estetika.
Meskipun fokus utama dari karyanya ialah keindahan tekstur alam, kekuatan kebudayaan, serta nilai spiritual. Namun karyanya kali ini juga menyinggung isu lingkungan, Dian ingin mengedepankan pengetahuan akan tanah yang mulai kritis dan habis. Kesadarannya terhadap lingkungan terpantik dari material tanah yang sangat akrab dengannya. Salah satunya karya berjudul Living On the Unsteady yang terlihat ringkih, merupakan gambaran dari alam yang kondisinya makin memprihatinkan hari ke hari.
Sedangkan bagi Faelerie, benang merupakan garis nyata yang ketika dirajut bisa dibentuk sebagai bidang, bentuk atau volume. Karya-karyanya satu tahun terakhir didominasi warna merah. Menurutnya, tiap perempuan memaknai warna merah dengan berbeda-beda, misalnya sebagai emosi yang meledak-ledak, rasa sakit, penuh kekuatan, berbahaya, perih dan sebagainya.
“Simpul Menyimpul Luka” terdiri dari dua seri karya. Fae memiliki ketertarikan terhadap objek konkret yang telah robek dan terlihat rapuh, tetapi sejatinya masih kuat dan digunakan. Objek-objek yang telah rusak juga memiliki memori atau historis tertentu. Karya-karyanya masih melanjutkan seri dari karya sebelumnya dengan visual abstrak, robek-robek dan menggantung. Hal-hal di sekitar ataupun diri manusia itu sendiri sejatinya memiliki sisi kerapuhan, hal semacam itulah yang ingin disampaikan lewat seri karyanya. Fae membuat karya dengan intuitif, membebaskan dari bentuk-bentuk tertentu sehinggga terbentuk karya abstrak. Karyanya menyuguhkan sesuatu yang tidak diketahui dan kemungkinkan untuk melihat secara saksama setiap detail, bentuk, teknik, tekstur maupun warna yang dihadirkan, tanpa terpaku dengan pertanyaan “apa itu?”, sehingga bisa dilihat sebagai sesuatu yang powerful dan poetic.
Mari bergeser melihat dua seniman muda bermaterialkan logam. Sejak 2022, Ryan Fernandes mengombinasikan teknik batik yang diterapkan pada logam dalam karyanya. Teknik batik logam ialah memindahkan atau mengubah media kain ke media logam, dicanting manual, kemudian dilorot. Teknik cantingnya memberikan motif pada permukaan logam, tetapi unsur warna bukan dari cat, melainkan dari proses korosi yang terjadi pada material.
Aktivitas korosi dari garam (natrium klorida) dan Amonia (NH3), merusak material logam serta menciptakan efek warna biru. Asam Sulfat dan Asam Nitrat memunculkan efek bercak-bercak warna cokelat. Sedangkan penambahan micin (mononatrium glutamat) menciptakan efek warna hijau. Proses kimiawi dilakukan dengan mendiamkan logam selama tiga hari.
Seri karyanya yang bertajuk “Stories about Dad and his Fairyland Series” terdiri dari panel-panel lempengan logam. Ryan menghadirkan pengalaman pribadi dan memori masa kecil bersama ayahnya. Ingatan-ingatan dongeng yang pernah dikisahkan, ia angkat dan hadirkan ke masa kini. Gagasan karyanya berpijak dan menghadirkan memori-memori masa lampau, hal-hal indah yang berlalu dan hanya bisa direka-reka lewat kenangan. Tekstur permukaan logam yang terlihat kasar, rusak, dan berani merupakan simbol dari masa silam yang tak bisa diulang kembali.
Lain halnya denagn Saqat Al Afghani Panai, pada pameran kali ini, membuat dua karya dua dimensi. Karya dua dimensi pertama berbahan alumunium, kemudian di cat akrilik di bagian tertentu. Sedangkan karya dua dimensi lain menggunakan material kuningan dan tembaga dengan latar belakang alumunium. Teknik etsa dengan bantuan bahan kimia Asam Klorida dan air digunakan dalam proses pengerjaan karya. Lewat objek dan visual karyanya, Saqat ingin menyajikan bagian tentang judi dari halaman lima naskah Undang-Undang Tanjung Tanah Kerinci. Naskah Tanjung Tanah berasal dari masa antara abad 13-14 Masehi. Naskah ini menduduki posisi sebagai naskah berbahasa Malayu tertua di dunia.
Saqat khusus mengambil bagian undang-undang tentang judi. Ia ingin menyampaikan bahwa berjudi salah satu kesenangan manusia dari masa ke masa, bahwa judi tetap ada dan hanya berubah medianya saja. Selain itu, judi bisa dimaknai sebagai sisi “pertaruhan” manusia di hadapan rahasia yang tidak diketahuinya. Pertaruhan bisa dimaknai positif dalam urusan bertahan hidup manusia menghadapi alam & peristiwa-peristiwa yang tak pasti.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post