Aku dengar suara ketukan berdentum di atas meja di dalam ruangan kepala sekolah itu, seseorang lagi meluapkan rasa marah. “Dulu kau berjanji jika ia melakukan kesalahan, kau mendidiknya dengan baik, kau tidak akan menyerah. Kenapa tiba-tiba kau berhentikan dia dengan cara mendadak seperti ini?” Suara itu seperti raungan yang terus mendengung, kemudian menjalar dari setiap celah sampai menusuk gendang telingaku. “Dia sudah kelewatan, makanya saya ambil keputusan bijak seperti itu.”
“Kelewatan bagaimana? Dia hanya melanggar aturan kecil, cuma melempar kaca. Kalau sekadar itu masalahnya, aku sanggup menggantinya tiga kali lipat,” aku yang berada di luar, sengaja menghentikan langkah sejenak, membesarkan pendengaranku, merunduk di bawah jendela kaca, menyembunyikan diri. Percakapan yang agresif dan menyerupai peperangan itu harus aku dengar sampai tuntas, walaupun dengan cara mencuri-curi suara itu.
“Jadi begini akhirnya. Kau sebagai kepala sekolah tidak konsisten dengan janjimu sendiri.” Seorang anak laki-laki berambut lurus duduk di samping mereka. Selama aku mengajar di sini, aku sering perhatikan anak itu, sehari hadir, sehari tidak. Dua hari hadir tiga hari tidak. Alpanya sudah berderet-deret di buku absen. Coba kalau ini sekolah negeri, sudah dari dulu dia ditepis jauh-jauh. Tapi ini cuma sekolah swasta. Walaupun tidak semua, kau tahu sendiri nasib sekolah swasta, sering menjerit-jerit minta murid. Kesalahan siswa sering diampuni. Awalnya sudah kubilang kepada wali kelas dan kepala sekolah, segera ditindak lanjuti, dan harus diproses cepat. Anak seperti itu wajib diberi sanksi. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan anak itu dalam kepribadiannya yang runtuh. Mengenai ia yang suka melawan dan bahkan membentak-bentak kepala sekolah, pertanda dia masih butuh banyak bimbingan.
Memang ia banyak rombongan, dan punya banyak geng. Dia termasuk lelaki yang pandai berteman, walaupun dengan preman. Jika dia ada masalah yang perlu diselesaikan dengan kekerasan, ia bisa memanggil kelompoknya lebih dari tujuh puluh orang. Karena itu kepala sekolah pun seolah tak berkutik selama ini. Ia mendadak memberhentikan anak itu setelah ada perintah keras dari atasan, pemilik sekolah, Pak Jawad. Dan aku setitik pun tidak takut pada anak pembangkang itu, juga gengnya. Aku berani berkelahi dengan dia dan juga komplotannya tanpa menggunakan senjata apapun. Dengan jujur kukatakan, aku siap maju ke medan pertempuran seorang diri merobek-robek pertahanannya. Tapi tidak mungkin hal konyol seperti itu aku lakukan. Hanya mereka yang bodoh yang mau melawan kekerasan dengan kekerasan, yang akan melahirkan kebodohan baru, dan menciptakan kehancuran pada diri sendiri. Aku harus memutar otak, melakukan gerak yang lebih jitu. Kalau perlu aku putar haluan, kemudian pergi meninggalkan tempat ini, cukup menunggu informasi dari kepala sekolah. Untuk sementara aku tetap bersembunyi dalam persemedianku mewanti-wanti, menjadi seorang peneliti dalam kasus hitam ini. Siapa tahu semakin ke ujung semakin kacau.
“Kau tahu sendiri anakku sudah dekat ujian. Jika ia pindah sekolah belum tentu ada sekolah lain yang bisa menerima. Apalagi sampai orang-orang tahu, dia punya kasus seperti ini, dan diberhentikan tidak hormat,” suara lelaki itu, yang bisa kutebak ayah dari seorang murid semakin menggelegar. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan dada yang membara. Waktu bicara tangannya bergerak-gerak. Aku yang merunduk mengintip dari jendela menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan-lahan. “Kalau kau bisa jamin, ada sekolah yang bisa menerima Arsen.
Sekarang juga buat surat pemecatannya, aku takpeduli pemecatan terhormat atau bukan. Aku juga risih jika ia tetap sekolah di tempat ini. Ia memiliki kepala sekolah yang tidak konsisten, telah merubah kata-katanya semula. Dan aku tidak ingin kau meralat kembali kata-katamu yang menyuruh anakku berhenti. Aku sudah muak melihat wajahmu dan sekolah ini,” semakin ke ujung semakin panas. Aku yang tertunduk merintih. Napasku tersengal, kemudian aku mendengus. Aku yang takut ketahuan tetap menyembunyikan diri.
“Kenapa kau diam saja? Kasih solusi yang baik untuk kami. Apa perlu kita harus berkelahi di sini?” Suara yang membentak itu seperti petir. Aku takut terjadi hal mengerikan. Akhirnya aku bangkit, mengetuk pintu pelan, mengucap salam dengan sopan. Suaraku yang serak-serak basah langsung terdengar. Mereka menjawab salamku, satu dengan wajah merah, dan satu lagi dengan wajah pucat. Aku berharap setelah kehadiranku tidak ada lagi gerutuan yang bertubi-tubi di ruangan ini. Aku dipersilakan masuk dan dipersilakan kepala sekolah duduk. Sepertinya kehadiranku sudah dihianati kepala sekolah itu, mukanya masam menatapku. Dia tidak bertanya ada keperluan apa aku datang kemari menemuinya. Mungkin dia sudah mati kutu, dan tidak berkutik lagi. Ia menolehku lagi sesaat, kemudian ia palingkan wajah, seolah kehadiranku di sini seperti bayangan. Baru ia angkat suara menatapku lagi.
“Ini namanya Ustad Asnul. Sebagai keamanan di sekolah ini. Dia juga ikut bertanggung jawab dalam masalah anak bapak, paling tidak bisa menengahi. Memang dia masih baru sih. Belum ada setahun mengajar di sini, tapi tanggung jawabkan tetap tanggung jawab, tidak bisa dilepas,” benar dugaanku, aku memang merasa dipojokkan. Ia menyeretku dalam masalahnya. Tapi saat ini aku tidak boleh memberontak bangkit dari kursi mengumbar kesalahannya. Dalam permainan ini aku satu tim dengan kepala sekolah itu, dan aku harus bekerjasama. Jika selama ini kami sering konflik, dan sering berbeda pendapat, itu murni masalah kami berdua. Tapi saat ini, aku merasa aku dan kepala sekolah itu barusaja dimasukkan ke dalam gelanggang. Kami sama-sama mengibarkan bendera yang warnanya senada. Jika aku menyudutkannya, sama saja aku mengotori kesucianku sendiri.
“Kau tidak usah menariknya dalam masalahmu, dan menyebut nama orang lain, siapapun dia. Permasalahan ini murni antara kau sebagai kepala sekolah. Arsen sebagai siswa dan aku sebagai orang tuanya. Lagi pula aku tidak mengenal dia, yang jelas aku tak ada urusan dengan dia,” dari cara orang tua yang tidak tahu sopan santun itu melirikku, aku bisa membaca, dia sudah menganggapku lenyap ditelan angin. Ia tidak suka aku ikut campur dalam perkara mereka, walaupun itu termasuk tanggung jawabku sebagai keamanan. Mendengar ia yang tak menganggapku ada, sebagai seorang guru di sekolah ini, aku merasa diriku dipandang rendah, tidak dihargai sejengkalpun, jelas saja aku tersinggung. Tapi di satu sisi, hatiku tartawa mendengar ia mendebat kepala sekolah yang sering kontroversi denganku dalam berbagai hal. Ia bisa membaca jurus kepala sekolah yang menyeretku dalam urusan ini untuk membentengi dirinya. Sebenarnya aku geram diperlakukan begini. Tapi kebesaran jiwaku, yang siap mengalah demi kemenangan, sangat diperlukan dalam suasana seperti ini, ketika orang yang aku hadapi berhati gelap.
“Kalau menurutku Arsen tidak usah diberhentikan,” aku yakin mengenai ayahnya yang mengatakan ia risih jika Arsen tetap sekolah di sini bohong belaka. Apalagi tentang ia yang tidak ingin kepala sekolah itu meralat kembali kata-katanya. Ia hanya marah dan benci pada kepala sekolah itu, tidak pada sekolah ini. Aku menemukan kebenaran persepsiku, setelah melihat mata orang tua itu terbelalak kemudian melirikku. Sepertinya jiwanya tiba-tiba mengembang. Ia berharap-harap cemas padaku dan menampakkan setitik kegembiraan. Dan ia merasa aku yang sempat dilecehkannya bisa jadi dewa penyelamat untuk keselamatan anaknya. Aku yakin bisa menolong Arsen yang mulai hanyut. Aku tidak ingin membesarkan hatinya, dan aku tidak bermaksud membelanya. Aku hanya melihat dari sisi negatif dan positifnya saja. Jika anak itu berhenti sekolah atau diberhentikan secara tidak hormat, pasti akan memilih menganggur, kehidupan yang dia jalani bergelantungan tak tentu arah. Ia akan tunggang langgang di jalanan. Akhirnya jadi preman. “Pokoknya aku tetap ingin anakku sekolah di sini,” aku dapat maklum, jika pikirannya berbolak-balik seperti itu. Hari ini aku berjanji pada diriku sendiri, wajib hukumnya aku menyelamatkan Arsen, anak berengsek yang sudah diseret arus yang bergelombang mengkeruhkan suasana, menjadikan hidupnya keruh. Untuk menjernihkan anak itu, aku harus objektif. Aku tetap menolak pendapat kepala sekolah yang menyuruh Arsen berhenti, kalau bertujuan buruk pada anak itu, walaupun itu perintah atasan, akan aku lawan.
Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online seperti, Singgalang, Riau Pos, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Koran Merapi, Pontianak Post, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Langgampustaka.com, tatkala.co, Kurungbuka.com, Labrak.co, LP Maarif NU Jateng, Harian Bhirawa, ayobandung.com, Mbludus.com, g-news.id, Literasi Kalbar.com, dll. Sekarang penulis aktif di Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra.
Discussion about this post