
Matahari mulai miring ke barat, gerimis yang ritmis memberi sugesti sore itu, gemerciknya tidak lagi memberi kesakitan padaku. Ia turun di permukaan aliran sungai yang lembut, damai yang menenangkan. Seakan berirama serupa dendang ibu sebelum tidur. Aku sempat berpikir, seberapapun penyakit yang turun hari ini tidak akan menemui rasa pada tubuhku. Sebab perkara terkejam seumur hidup telah kuperbuat. Kecuali jika Tuhan berkata; semuanya akan baik-baik saja.
Peristiwa semalam telah menghantarkanku ke tepian Sungai Batang Bayang. Satu mayat sengaja kuhanyutkan di sini. Ya, aku dituduh membunuh Luis. Sebilah pisau sakin menancap di hulu jantung lelaki bala itu. Mungkin setelah kejadian ini, aku akan berurusan dengan pihak berwajib, keluarga, sanak kerabat dan semua yang bersangkutan dengan Luis.
Tapi, andaikan mereka tahu, pembunuhan itu adalah kenginan Luis sendiri. Barangkali napsu setan merayu hebat saat itu. Apa lagi kalau bukan perkara wanita, hal yang sudah lumrah di kalangan lelaki bodoh, semacam aku dan Luis.Tidak ada perjanjian tertulis sebelum ia terbunuh. Semua terjadi begitu saja. Dan setelah perkara itu, mempertahankan Mira adalah hal yang sia-sia.
***
Sebulan sebelum pernikahanku dan Mira, Luis datang ke rumahku. Aku sama sekali belum mengenalnya. Kupersilakan ia duduk di meja beranda rumah. Semburan asap rokoknya mengepul di hadapanku. Aku bertanya siapa dia dan maksud kedatangannya. Tapi ia hanya diam dan memperlihatkan raut wajah dengan mata berkaca-kaca. Lima menit berlalu, tamuku itu belum juga bersuara. Aku memutuskan untuk meninggalkanya di meja beranda rumah, dan segera mengurak langkah ke pintu rumah.
“Aku mantan pacar, Mira. Empat tahun lebih kami bersama.” Ia berucap dengan membuang pandang. Segera aku mendekatinya dan kembali duduk tepat di depannya.
“Apa maksudmu? Aku ini calon suaminya, dan kami akan menikah satu bulan lagi.”
“Ya, aku tahu itu. Ia telah memilihmu sebab kau orang berada, dan orang tuanya memang mencari menantu sepertimu, bukan semacam aku yang penggangguran, melarat yang hanya punya cinta dan air mata. Tapi, tidak semudah itu aku melepas bunga yang kumekari empat tahun itu.”
“Terus sekarang apa maumu?”
“Tinggalkan dia! Atau antara kau dan aku, mati atau tidur di kandang situmbin.”Ia segera pergi dari rumahku. Memasang wajah yang teramat rancu.
Rasanya begitu terngiang ucapannya barusan. Namun, untuk menjaga semuanya agar baik-baik saja, aku sama sekali tidak memberti tahu Mira ataupun pihak keluarga. Ini adalah hal yang wajar jika mantan kekasihnya itu bersikap demikian. Masih untung ancamannya hanya terhadapku, bukan pada Mira ataupun keluarga kami.
Selang dua hari usai kedatangannya, ia kembali lagi mengetuk pintu rumahku. Kali ini dengan niat ingin membenarkan ucapannya dua hari lalu. Ia memohon untuk yang terakhir kalinya agar aku membatalkan rencana pernikahan dengan Mira. Tapi apa boleh buat, undangan sudah tersebar, dan kami pun memang saling mencintai.
Di beranda, aku kembali duduk dengan Luis, kembali menatap raut yang suram, kesedihan di setiap kerut mukanya. Sebagai laki-laki, aku ikut serta merasakan kepedihan yang di tanggungnya.
“Kau tahu, mengapa aku begitu mempertahankan Mira, yang jelas-jelas ia lebih memilih orang berpunya sepertimu, pun keluarganya juga merestui. Sedangkan berserak perempuan di luar sana. Empat tahun bukan alasan yang kuat bagiku dalam cinta pembodohan ini.”
“Terus apa yang membuatmu begini?” Tanyaku geram.
“Almarhum ayahku yang telah mendonorkan satu ginjal untuknya, ketika ia dirawat enam bulan lebih, ayahku yang diam-diam memberikan ia kehidupan layaknya orang normal. Almarhum sangat merestui kami, hingga beliau rela mengorbankan ginjalnya agar ia bisa melihatku bersanding dengan Mira di pelaminan. Tapi apa balasannya? Setelah semua ini, ia malah merelakan hatinya untuk orang lain.”
“Mengapa tak kau jelaskan padanya atau keluarganya.”
“Sudah berbusa mulut ini berkata, secuil pun mereka tidak percaya. Mereka hanya mengira ini hanyalah omong kosongku untuk dapat memiliki Mira.” Dari matanya aku melihat kejujuran, Luis tidak berbohong. Tapi di sinilah letak kekejammanku, di depannya aku juga berkata bahwa aku juga tidak percaya.
“Kau akan percaya nantinya!” Ucapnya sambil tersenyum. Segera ia mengeluarkan pisau di hadapanku. Aku berpikir ia akan menyerangku. Tapi malah sebaliknya, ia sendiri yang menancapkan pisau sakin itu ke hulu jantungnya sendiri. Aku panik, tidak akan ada satupun orang yang akan mempercayaiku jika aku berkata ia bunuh diri di hadapanku.
Di aliran Sungai Batang Bayang, kulempar mayat itu untuk menghilangkan jejak. Satu lagi kekejaman berbungkus kebodohan kuulangi. Tapi polisi tidak sebodoh yang kukira. Tidak sampai satu hari ketika sedang mengeja nasib dengan ritmis gerimis. Aku yang sedang menikmati irama germecik gerimis yang menimpa permukaan sungai, sore itu ditangkap di tepian Sungai Batang Bayang. Bukti-bukti, hasil olah TKP dan para saksi semua mengarah padaku. Terbilang oleh kesaksian warga bahwa setiap hari, lelaki bernama Luis itu duduk di pagar depan rumahku. Mungkin ia sungguh menjadi bayangan untukku agar melepaskan Mira.
***
Di balik jeruji ini, aku jua merasakan apa yang dirasakan Luis, ketika tidak ada satupun orang yang mempercayaiku, termasuk orang yang aku cintai, Mira. Dan kebaikan kita tidak akan selalu berbalas sama, jika mengharap pada orang yang salah. Pesan terakhir Luis kini nyata kurasakan. Tapi, apakah di balik jeruji ini Tuhan akan datang, dan berkata; semua akan baik-baik saja? Keegoisan telah membunuhku, napsu ingin memiliki telah membuatku buta, hingga mengabaikan hati yang semestinya.
Bayang, 2021

- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post