Pukul satu dini hari Delisa masih menatap jalanan dari jendela berjeruji. Seorang satpam baru saja melintas, beberapa saat kemudian dua ekor anjing. Delisa akan selalu siap bila gerombolan itu datang sewaktu-waktu.
Tidak ada waktu dalam kesadaran Delisa. Segala hal terjadi dalam hentakan-hentakan, bertubi-tubi, seperti titik-titik cacar yang datang serempak, seperti hujan berjarum-jarum yang mengikuti gravitasi, seperti jamur-jamur yang seragam lalu tumbuh berwarna-warni setelahnya, seperti biang yang bernanah di leher bagian belakang seorang gadis kecil yang memanjangkan rambut dan selalu berkeringat.
Gadis kecil itu adalah umpama, sekaligus dirinya. Tahun ajaran baru, seragam berwarna biru. Sebuah sekolah swasta mahal yang plural. “Mahal sekali harga modernitas,” kata Delisa masa kini sekaligus masa itu, tapi tentu saat itu ia mengatakannya dengan cara berbeda, “Aku malas membayar, walau paman telah memberi uang.”
Paman mengantar Delisa setiap hari, dengan vespa berwarna api. Vespa paman terlihat seperti tumpukan panci. Delisa tidak suka sebab bingung harus bagaimana dan di mana meletakkan kaki. Vespa dibuat untuk orang dewasa atau minimal bukan untuk seorang yang pendek kaki. Kaki Delisa pernah mengangkang di depan salah satu anggota keluarga. Nah, ia tidak ingin mengingatnya. “Biru dicampur merah menjadi warna apa?” Merah itu darah. Merah itu marah. Merah itu ah, kata seorang paman yang lain.
Bagi Delisa yang liyan adalah keluarga, bagi keluarga yang liyan adalah Delisa. Ia menepi. Ada orang-orang aneh di pinggiran:
1. Seorang aktivis marxis berkumis. Menulis untuk koran kampus, memimpin organisasi yang dibiayai CSR perusahaan asing. Ada akuarium di kamarnya, yang di dalamnya setiap hari selalu ada ikan mati. Ada lampu warna-warni yang tak pernah mati. Meski bukan kekasih, Delisa berkasih-kasihan dengannya.
2. Anak punk-balada intel yang hanya suka main tiga kunci tapi punya alat musik yang begitu banyak yang dibelinya dari toko online bahkan dengan jalan sampai berutang.
3. Sigit, tetangganya yang keterbelakangan mental yang hanya suka pada uang logam bergambar bunga dan binatang dan tak suka uang lima puluh ribuan bergambar Soeharto atau seratus ribuan bergambar Soekarno.
4. Seorang teman SD yang memiliki kehendak bebas mengangkat roknya sendiri untuk memperlihatkan isinya pada teman-teman lelakinya.
5. Seorang teman rumah yang mengharuskan orang memanggil “kakak” hanya karena usianya beda beberapa bulan saja.
6. Dan lain-lain.
Dan yang liyan pada yang lainnya. Akhir-akhir ini bibinya terasa jahat. Ia merasa orang itu akan membunuhnya dan berlagak bahwa itu kecelakaan agar bisa menguasai seluruh hartanya dan terbebas dari utang-utang. “Semestinya kamu membebaskan bibimu dari utang-utang itu. Berapa sih utang bibimu? Tidak sebanding dengan pengorbanannya menjagamu ketika kecil dulu. Orangtuamu hanya sibuk mencari uang, bibimu yang merawatmu.”
“Berapa upah seorang pembantu atau baby sitter? Sepertinya tidak sebanding dengan uang muka sebuah mobil dan cicilannya hingga lunas,” Delisa ingin bertanya seperti itu tapi ia takut dibunuh. Ia takut diracun ketika bibinya menyuguhkan teh. Apakah mereka sengaja menaruh banyak gula agar diabetes memisahkannya dari harta-harta? Adakah biji-biji kecubung di antara biji-biji selasih dalam es campur yang diantarkan ke rumahnya?
Kebun tebu di kampung halaman, paman yang membawa parang, satu kalimat tentang kepemilikan bisa membuat benda itu melayang, jangan sampai kepala kepalang lekang. Tangan pamannya yang berurat akrab dengan kerja keras, mungkin juga dengan kekerasan. Anak-anak lelaki pamannya yang biasa membantu di kebun itu, merasa memiliki kebun itu. Pamannya tak pernah memberi apa-apa walau hanya sesendok gula. Bagi hasil hanya omong kosong, bahkan hingga ibunya mati akhir tahun lalu.
Tidak ada waktu, jadi rasanya ibunya mati saat ini. Baru tadi, lima menit yang lalu. Untunglah perempuan itu mati secara alami, karena sepertinya ia akan menyusun rencana untuk membunuh Delisa. Seorang ibu tidak membunuh dengan cara yang kasar, ia bisa saja membunuh dengan cangkang yang lembut. Menyuruh melakukan hal-hal yang ibunya sudah lakukan di masa lalu adalah cara terbaik untuk membunuh Delisa. Padahal tidak sekalipun ibunya terlihat bahagia dengan keputusan-keputusannya.
Delisa melihat boneka yang terletak di samping jeruji jendela. Boneka dari seorang sepupu perempuan. Ia curiga kenapa sepupunya itu memberikan boneka yang tingginya hampir dua meter, sebab buat apa seseorang memberi orang kaya kalau bukan untuk akhirnya meminta yang lebih mahal? Benar saja, suatu hari sepupunya itu membawa sebuah koper untuk menginap sementara di rumahnya. Untung saja Delisa cepat mengusirnya sebelum ibunya meninggal. Delisa ngeri bila sepupunya membuatkan makanan, tidakkah ia meludah di makanan itu? Atau menaruh racun anjing seharga lima ikat kangkung untuk menguasai rumahnya?
Sudah seminggu ini Delisa menghapus dan mem-block seluruh keluarga besarnya dari media sosial dan nomor kontak, karena sebelumnya ada saja yang mereka minta atas nama keluarga. Ia benci sekaligus ngeri pada mereka semua.
Ia takut di jalan ada yang tiba-tiba menyiram wajahnya dengan air keras sambil berkata, “Sana operasi plastik, uangmu kan banyak!” Atau bisa saja ada yang menyiram bensin dan menyalakan api padanya dan berkata, “Pergi kamu ke neraka, dasar perempuan lupa rumpunnya!”
Delisa sengaja menyalakan tidak hanya sebagian lampu di rumahnya, melainkan seluruhnya. Ia ingin lihat dengan terang-terang siapa yang datang membawa parang, racun anjing, mulut manis, airmata, wajah memelas, dan segala senjata rayuan untuk membunuhnya.
Di luar masih hening, tetapi zombi-zombi itu bisa tiba-tiba muncul di depan rumah. Ia takut berhadapan dengan semua orang yang merasa berjasa atas adanya dirinya dan semua keberuntungannnya.
Benar saja, sekarang ada sekitar lima puluh orang di depan rumahnya. Ada paman yang membawa kapak, ada bibi yang membawa satu karung gula, ada paman lain yang mengendarai vespa sambil menenteng bensin dalam botol topi miring, bibi lain yang bergincu merah dan selalu tersenyum dengan mata melotot, paman lain lagi yang membawa akta hibah atas tanah yang belum ditandatangani dan pulpen yang menyatu dengan ujung-ujung jarinya. Di belakang mereka ada sepupu-sepupu Delisa; seorang yang menawarkan asuransi, MLM, forex, antam, dan banyak jenis investasi bodong atau tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Seorang yang berpakaian agamawan dan selalu mengingatkan tentang pakaian. Seorang yang memanggul cangkul di belakang leher yang berwajah kasar dan sepertinya tidak segan menampar. Dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Juga keluarga jauhnya dan keluarga dari keluarga jauhnya yang tidak ia kenal tapi sangat mengenalnya.
Delisa Delisa Delisa, sepertinya hanya ia keluargaku satu-satunya. Aku melihatnya di dalam cermin, di samping jendela berjeruji. Apa yang akan ia lakukan sekarang?
“Delisa, ayo minum obatmu,” kataku. Delisa itu aku.
Aku yang itu adalah aku yang membunuh satu keluarga di hari pesta pernikahan di sebuah gedung. Seluruh keluarga besar kami meninggal karena keracunan makanan. Tidak ada yang tahu karena aku membayar seseorang yang sungguh profesional. Tetapi aku terlalu percaya pada roh orang-orang mati. Jadi ketika hening pada malam hari, suara-suara di dalam kepalaku menjadi ribut. Roh-roh orang mati itu melayat kami yang hidup.
Aku yang ini adalah aku yang tidak membunuh. Oh ya, mana mungkin aku membunuh? Nyawa itu murah bagi kelas tertentu, tetapi sungguh, kami tidak membunuh. Aku pergi dari pesta pernikahan itu ketika seorang MC, seorang lelaki gemuk yang lenjeh—ah, dia lebih cocok jadi MC di acara ulang tahun balita yang menampilkan badut penjual junk food —membuat lelucon tentang cincin pernikahan yang kesempitan sebab cincin dan pernikahan dan alat genital perempuan itu masih baru. Buat apa mengotori tangan dengan benalu-benalu yang memakan hidup kita? Potong benalu itu, lalu suruh orang buang ke Tempat Pembuangan Akhir sebuah kota yang religius.
“Kita? Kamu dan anjing-anjing saja! Aku tidak ikut-ikut,” kata Delisa.
Gang Metro-Gunung Sari, 29 Oktober-9 November 2020
Biodata Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer hotel di Gili Trawangan. Kini ikut bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Cp: 087838534107
— Cerpen, Delusi Delisa
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post