Kau jauh lebih beruntung daripada aku. Sebab kau memiliki kebebasan yang tidak pernah aku miliki. Mereka, para tentara, selalu mengawasi rumahku. Padahal, aku dan keluargaku tidak pernah melakukan apa-apa yang membuat mereka terusik. Aku hanya ingin menjadi rakyat sebagaimana rakyat biasanya. Keluargaku juga tidak perlu selalu diawasi gerak-geriknya. Keluargaku bukan golongan teroris. Keluargaku bukan golongan penghianat bangsa. Keluargaku mencintai bangsa ini. Tolong, jangan ada yang meragukan kecintaan dan pengabdian keluargaku terhadap bangsa ini. Andaikata penjajahan belum selesai, maka kupastikan keluargaku akan menjadi golongan terdepan yang mengangkat senjata untuk mengusir para penjajah. Hal demikian dilakukan; tidak lain adalah bukti cinta dan abdi kepada tanah air bangsa Indonesia. Rasa cinta keluargaku terhadap bangsa ini bukan sekadar main-main.
Cinta keluargaku bukan sesuatu yang palsu. Tetapi, mengapa orang-orang di sekeliling rumah selalu mencurigai keluargaku sebagai keluarga penghianat?! Bahkan, mereka semua selalu mencoba menjebloskan keluargaku ke penjara. Mereka selalu melaporkan hal yang tidak-tidak tentang keluargaku; kepada tentara dan polisi. Sehingga, setelah laporan itu selesai diajukan, tentara dan polisi selalu mendatangi rumah dan menggeledah seluruh isi di dalamnya. Saat operasi penggeledahan itu dilakukan, tentu mereka, tentara, dan polisi tidak menemukan barang bukti apa pun yang bisa dijadikan alasan untuk menyeret keluargaku ke jalur hukum dan dipenjarakan. Meskipun sebenarnya di dalam kejadian itu, buku-buku tebal berisi pasal-pasal khusus telah disiapkan dan dibiarkan terbuka di atas meja ruang tamu. Tapi mereka juga tidak bisa untuk semena-mena menangkap keluargaku tanpa bukti yang memadai; sekalipun kebencian di hati mereka telah didahulukan. Jika mereka melanggar dan menangkap orang-orang yang tidak terbukti bersalah, maka bisa dipastikan bahwa orang-orang yang menjaga dan bekerja di dalam penjara adalah pelayan-pelayan raja penjahat.
Aku juga tidak tahu, kenapa hal semacam ini selalu menimpa keluargaku secara terus-menerus dan tidak pernah menemukan titik akhir. Padahal, partai merah yang selalu dianggap memiliki hubungan dengan keluargaku sudah dimusnahkan pada tahun 1965. Seharusnya, hal-hal semacam ini sudah tidak perlu diungkit-ungkit kembali; sehingga terus memanas dan menjadi semacam kutukan bagi anak dan cucu dari keluargaku yang tidak pernah terbukti bersalah. Kecaman dan sanksi sosial selalu mereka terima dengan utuh, mungkin bagi mereka, setiap hari seperti merasakan peluru sedang menembus di atas pusar atau pisau yang menusuk ke dalam telinga. Hal ini seolah memberi petunjuk akan keegoisan dan watak pendendam yang dimiliki masyarakat di Indonesia.
Aku tidak berani untuk menuduh siapapun. Mungkin semua ini memang sudah rencana yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk ditimpakan kepada keluargaku. Aku juga tidak akan meminta Tuhan agar bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi. Aku hanya ingin meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah di bangsa ini. Mungkinkah setiap hari mereka menutup kedua telinga, sehingga mereka tidak bisa mendengar semua tangisan dari keluargaku dan orang-orang yang memiliki nasib sama seperti keluargaku? Atau mereka sengaja membiarkan semuanya? Mereka harus bertanggung jawab! Mereka tidak boleh meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung rakyat.
Kakekku mungkin memang seorang simpatisan Partai Komunis Indonesia. Tetapi aku dan kedua orang tuaku bukan berarti juga menjadi seperti dirinya. Kami memiliki pilihan hidup tersendiri. Jadi tolong, berhenti mencurigai dan memata-matai hidup kami. Kami bukan binatang berdaging empuk; yang harus selalu diburu. Kami bagian dari rakyat bangsa Indonesia, sama seperti mereka yang tidak pernah dianggap sebagai keturunan orang-orang komunis. Darah kelahiran kami tumpah di tanah Indonesia. Maka, dengarlah kesedihan kami dan juga orang-orang yang bernasib seperti kami, agar bisa memahami semua penderitaan dan ketersiksaan yang dialami selama bertahun-tahun.
***
Begitulah aku mengatakan semua keluh kesahku kepada Harati, anak saudagar kaya yang berasal dari Kalimantan. Meski kami baru saling mengenal dari beberapa bulan yang lalu. Tapi aku sangat yakin bahwa dia adalah orang yang baik. Dia perempuan yang mau berteman dengan siapapun, tanpa harus terlebih dahulu mengetahui latar belakang keluarganya.
“Kenapa kau sampaikan semua itu kepada mereka?”
“Karena aku dan keluargaku ingin bebas. Supaya, kami bisa menjalani hidup seperti keluarga-keluarga bebas yang lainnya. Kami ingin hidup dengan tenteram; tanpa terbebankan oleh kejadian-kejadian pada masa lalu.”
“Setelah kau mengatakan semua itu, apakah ada perubahan, atau semacam pertolongan dari mereka?”
“Tidak! Mereka tetap memperlakukan kami seperti biasanya. Kami tetap diawasi. Padahal kami; satu keluarga, tidak menjadi simpatisan partai manapun. Kami hidup sebagaimana rakyat biasa, menjadi petani. Terkadang, juga mencari kardus-kardus bekas di pinggir jalan, di tempat pembuangan sampah toko-toko besar. Lalu, setelah sepekan dikumpulkan, kami menjualnya ke tempat para tengkulak.”
Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan semuanya kepada Harati. Sebab, aku takut jika dia pergi ketika mengetahui bahwa aku adalah seorang cucu simpatisan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Tapi beruntunglah, ternyata dia tidak peduli dengan semua itu. Dia tetap mau berteman baik denganku. Hanya saja, pada saat itu juga, ada sebagian hal yang tidak aku ceritakan semua kepadanya. Dia tidak pernah tahu, bahwa kedua orang tuaku sudah meninggal dunia. Dia hanya tahu, kedua orang tuaku sedang bermukim ke suatu daerah tertentu di Jakarta. Padahal bapakku meninggal dua tahun yang lalu, akibat diserang oleh sekelompok orang tak dikenal yang ke luar dari dalam mobil Avansa berwarna hitam dan bernomor pelat KT 4008 PL. Sedangkan ibuku yang terpukul atas kejadian itu kemudian juga meninggal setelah hari ketujuh kematiannya. Untuk hal ini, aku sengaja tidak menceritakan kepada Harati, agar dia tidak terlalu iba dengan lika-liku hidup yang kujalani.
Dengan demikian, setelah sekian lama saling mengenal, hubunganku dan dirinya semakin terjaga dengan baik. Kami menjadi sepasang manusia yang saling melengkapi, saling melindungi, dan juga saling mencintai. Kami menjalin hubungan asmara kurang lebih sudah berjalan selama lima tahun. Hingga kemudian kami sepakat untuk meneruskan hubungan ke jenjang yang lebih serius, ke pernikahan. Tapi aku belum berani bertemu dengan orang tuanya. Meskipun Harati selalu meyakinkanku, bahwa keluarganya adalah orang baik, yang mau menerima siapapun lelaki pilihannya. Kamipun akhirnya mematangkan niat, sembari mengumpulkan bahan-bahan yang akan dipersiapkan di acara pernikahan nanti. Membeli peralatan yang akan digunakan memasak di dapur, membeli beras beberapa karung, dan juga secara diam-diam aku membelikan dia kalung emas seharga Rp 2.000.000,00. Semua hal itu aku lakukan sebagai bukti kebahagiaan karena bisa menemukan perempuan yang sebaik dirinya. Aku mengumpulkan semua uang dari hasil bertani dan memulung kardus bekas. Selain itu, aku juga mengajukan konsep acara yang cukup matang untuk dipakai pada pernikahan nanti kepada Harati, dan dia menyetujuinya.
Hingga tiba pada suatu hari, ketika pernikahan kurang lebih akan dilaksanakan lima bulan lagi, kira-kira pada akhir bulan September, Harati menjemputku di gang depan rumah dengan motor pribadinya. Dia berencana mempertemukan aku dengan kedua orang tuanya yang sedang berbelanja di Pasar Beringharjo. Kami kemudian berangkat menuju tempat yang telah direncakan. Namun, setelah mendekati tempat itu, tiba-tiba jalan di samping pasar sangat macet. Akhirnya, kami sepakat untuk memarkir sepeda motor di pinggir jalan, di depan toko bernama Sarosa. Kami berjalan kaki, berdesakan dengan orang-orang yang akan berbelanja ke dalam pasar. Di pertengahan jalan menuju lokasi pertemuan, aku melihat mobil Avanza berwarna hitam yang dua tahun lalu menyerang bapakku. Mobil itu terparkir di depan sebuah butik.
Aku juga melihat seorang lelaki yang menembak bapakku duduk di samping mobil itu. Dia berpakaian sangat rapi, lengkap dengan topi fedora yang digunakan saat menyerang bapakku bersama komplotannya. Aku berpikir bahwa hari itu adalah hari keberuntungan, karena pada hari itu, dendamku kepada salah satu pembunuh bapak akan segera terbayar. Sementara Harati berjalan lebih cepat di depanku, sehingga membuat kami cukup berjarak. Aku berusaha mengejarnya, sambil manarik keris di pinggangku. Perlahan, aku buka sarung keris itu. Tepat di depan lelaki pembunuh bapakku, Harati berhenti dan berkata kepadanya: “Bapak, itu Anas, kekasihku.” Jari telunjuknya menuding kepadaku. Seketika lelaki itu menatap dengan tajam, sambil berlari menuju ke arahku. Bahkan dia sampai melepaskan beberapa kali tembakan. Semua orang di pasar menjadi panik. Aku berlari, di antara kerumunan mereka.
“Anas, jangan lari! Jangan lari!” teriak Harati.
Aku mengabaikan teriakannya. Yang terlintas di kepalaku pada saat itu hanyalah bagaimana aku harus bisa berlari lebih cepat lagi, agar bisa selamat, karena dendam kematian bapak belum tuntas terbayar. Setelah berlari cukup jauh, aku menduga bahwa lelaki itu sudah tidak lagi mengejar. Namun, perasaanku tetap tidak bisa tenang, kacau, dan tak teredamkan. Untuk mengingat semua kejadian dan juga pernikahan yang berantakan, aku menulis semuanya. Paragraf terakhir dari tulisan itu, aku tulis dengan perasaan penuh ketakutan. Wajahku pucat dan tubuhku dingin seperti tubuh mayat. Sebab di luar rumah, pada pukul 20.07 WIB; suara tembakan peringatan telah dilepaskan berulang kali. Lelaki itu dan komplotannya datang, sedang mengepung rumahku. Salah satu dari mereka melangkah mendekat ke pintu depan, menggedor-gedor sambil berteriak memintaku agar segera menyerah. Sedangkan dua orang lainnya, memanjat tembok, mencoba memasuki rumah melalui jendela. Tetapi percuma, semua usaha mereka akan sia-sia, karena mereka tidak akan pernah mungkin bisa menangkapku di tempat persembunyian ini.
Tentang Penulis
B. B. SOEGIONO, lahir di Tempuran, Bantaran, Probolinggo. Saat ini merantau di Bali. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, dan esai pernah dimuat di sejumlah media massa di Indonesia, baik itu cetak maupun digital, serta masuk di dalam sejumlah buku karya tulis bersama. Buku puisi terbarunya Matahari Tenggelam di Negeri Lain (Penerbit JBS, 2020).
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post