Solok Selatan, Marewai— Rabab bukan hanya sebuah kesenian biasa. Rabab sesungguhnya adalah pertunjukan sastra lisan, yang mengandung ajaran moral dan nilai-nilai filosofis sesuai dengan budaya Minang. Belajar rabab, berarti belajar berdialektika dan mengerti bagaimana orang Minang beretorika. Hal itu diungkapkan secara bertalian oleh Muhammad Fadhli, Junaidi dan Darmansyah pada pertemuan antara Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat dengan peserta serta pelatih dalam program pendampingan pelestarian rabab Solok Selatan. Kegiatan besutan Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar ini menempatkan Muhammad Fadhli sebagai kurator program, sementara Junaidi dan Darmansyah adalah narasumber ahli. Ketiganya dari Institut Seni Indonesia Padang Panjang.
Dikatakan oleh Junaidi, inti daripada rabab sesungguhnya bukan musiknya. Musik adalah pembalut estetis yang membuat rabab menjadi khas secara musikal. Sementara, isi di dalam rabab itu sendiri tak lain adalah kaba, atau dendang, sebagai kekayaan sastra tutur atau sastra lisan yang luar biasa. “Tukang rabab adalah orang yang sangat cerdas. Kaba dan dendang mengalir bukan sebagai sesuatu yang terkonsep secara kaku. Ia adalah hasil kecerdasan si tukang rabab. Bisa direkayasa sebelumnya, bisa muncul secara langsung ketika rabab di mainkan itu,” sebutnya. Menurutnya, kemampuan seperti ini tidak mudah ditemukan dalam seni pertunjukan modern.
Darmasnyah menjelaskan, kandungan utama dari sastra lisan pada rabab adalah seputar ajaran moral. “Ajaran moral itu yang menjadi inti dalam kisah-kisah yang dikabakan tukang rabab,” katanya. Lebih mendalam, Darmansyah juga memaparkan bahwa rabab di Solok Selatan adalah jejak sejarah yang menunjukkan bahwa antara kabupaten tersebut dengan Pesisir Selatan punya temali keturunan yang tak mungkin terpisahkan. “Di Pesisir selatan sendiri ada dua macam penyebutan untuk kesenian ini. Ada yang menyebut barabab ada yang menyebut babiola. Di Piaman, rabab dimainkan dengan alat yang tidak sama dengan alat di Pessel dan Solsel. Di Piaman rababnya terbuat dari tempurung kelapa besar. Sementara isi rabab dan nilai di dalamnya sama,” katanya.
Muhammad Fadhli atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ajo Wayoik menjelaskan bahwa program pendampingan ini berbeda dengan pelatihan biasa. “Disini kami memadu madankan antara pelatihan dengan perlakuan yang lebih mendekatkan rabab dengan pola marketing, branding serta upaya-upaya lain yang bersifat modern agar rabab menjadi terkemuka lagi di tengah masyarakat,” katanya. Ditekankannya, rabab penting untuk dilestarikan karena memiliki nilai edukatif. “rabab adalah pamenan anak nagari. Disini, otak diasah untuk berdialektika. Jadi bagi anak-anak dan pemuda kita, belajar rabab bukan hanya dalam tujuan untuk menjadi seorang seniman. Tetapi untuk mengasah kemampuan dalam beretorika secara situasional,” katanya. Dia menggambarkan betapa banyak sekarang pejabat yang kurang mampu beretorika sesuai dengan situasi masyarakat yang dihadapi dalam sebuah forum. “Mereka lebih cenderung terkonsep. Jadi sering kali paparannya dalam kata sambutan misalnya, itu jauh panggang dari api. Sementara dalam rabab, seorang tukang rabab sangat mampu membaca situasi dan mengungkapkan responnya terhadap situasi itu secara langsung,” sebutnya. Bisa dibayangkan jika seorang anak atau pemuda yang menguasai kemampuan barabab suatu saat menjadi pejabat. Dia akan piawai sekali soal retorika dan dialektika.
Dalam pertemuan tersebut didapatkan data sebanyak 30 kelompok masih aktif di Solsel. Sementara peseerta yang mengikuti pendampingan ini membludak dari kuota. Ini membuktikan semangat anak-anak dan pemuda di Solsel untuk melestarikan rabab sangatlah baik.
Kadis Kebudayaan Gemala Ranti, secara terpisah mengungkapkan bahwa program pendampingan seperti ini memang ditujukan untuk generasi baru. “Rabab diharapkan tidak hanya menjadi milik kalangan tua saja. Anak-anak dan pemuda harus turut merasakan kepemilikan terhadap kesenian ini. Dengan lestarinya rabab, kita berharap statusnya sebagai warisan budaya tak benda bukan hanya sekedar status saja,” tutupnya.
Discussion about this post