• Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
Selasa, Mei 13, 2025
  • Login
  • Daftar
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai
No Result
View All Result
Redaksi Marewai
No Result
View All Result

Cerpen: Arika Memeluk Boneka, Minggu Pagi Itu | M. Rifdal Ais Annafis

Redaksi Marewai Oleh Redaksi Marewai
20 Desember 2020
in Sastra
1.2k 37
0
Home Sastra
BagikanBagikanBagikanBagikan

“Apakah ayah tidak pernah ingin memahami aku? Segala rindu tentang ibu dan kenangan keluarga dulu? Senelangsa inikah efek perceraian itu.”

M. Rifdal Ais Annafis, Arika Memeluk Boneka Pagi Itu

Minggu pagi, adalah kesenangan lain bagi Arika. Sesorang anak perempuan dengan mata bercahaya, rambut legam menjuntai, segurat senyum bertautkan garis kerut kedua belah pipi itu akan memeluk boneka panda berukuran sedang di teras rumah. Bersisian dengan sebuah pot berisi bunga kamboja yang bermekaran. Aroma-aroma khas itu mengambang pada udara dan ia, akan berusaha menghirup pertama kali sambil menunggui ayahnya pulang berolahraga dengan sepeda, setelah dijemput teman-teman sekantornya pagi-pagi sekali. Seberkas cahaya menggenggam belahan kaca jendela lalu memantul pada punggung gadis kecil itu, menjalarkan kehangatan. Potongan ingatan tiba-tiba membentur kepala dan ia terkenang percakapan dengan ayahnya saat setelah larut malam terlelap di sofa depan televisi menunggu pulang kerja.

Lelaki kekar penyimpan segala lelah dimatanya itu, menggendong Arika sambil menerbitkan bulat sabit indah di wajah lalu membisikkan sesuatu yang membuat Arika terngiang sepanjang malam.

“Minggu ini, akan menjadi milikmu sayangku, karena Ayah akan menuruti semua permintaanmu dan letupan rindu itu.”

“Terima kasih Ayah, ungkapan ini yang aku tunggu-tunggu.” Matanya berkaca-kaca. Langit mengerjap berkali-kali dan awan legam berarak perlahan.

Minggu pagi itu, adalah kesunyian yang tak dapat dipungkiri, mereka seperti menjalar pada pintu berornamen Jepara, lantai-lantai, meja kayu sederhana, juga pigura gantung dengan potret sebuah keluarga bahagia. Gadis kecil itu tetap di tempat semula dan kali ini, ia memilin potongan rambut menjuntai untuk mengusir segala rindu di kepala sambil menatap kelokan jalan depan rumah, berharap ayahnya cepat pulang dan rencana-rencana yang ia bangun sepanjang malam terpenuhi. Gadis kecil itu bergumam lirih, bercakap-cakap sendiri, “Ayah, sudah lama kita tak menghabiskan waktu berdua setelah kepergian ibu, apakah didadamu, hanya kerja dan kerja?”

***

Sebuah malam di kotak waktu memahat kisah-kisah kita jatuh pada ruang keluarga. Waktu itu, tubuhku menggigil terbalut selimut di sofa depan televisi yang menyiarkan tentang cerita keluarga selebritis bergelimang harta dengan bahagia, tak ada tangis, dengungan amarah, apalagi pertengkaran tak berguna. Tetapi di dalam kamar, sesosok ayah yang kukenal berteriak garang menjejalkan segala pertanyaan pada ibuku yang menjerit, terisak sambil memecah bola lampu.

Gadis kecil sepertiku, hanya memeram, berusaha mngusir ketakutan meski embun-embun yang hinggap di dahan-dahan pohon luar rumah menggenangi pelupuk mata lalu jatuh bulir gerimis membasahi kedua belah pipi. Esoknya, sesaat setelah aku terbangun, aku berdoa pada Tuhan bahwa kejadian tadi malam hanya mimpi buruk karena lupa membaca doa sebelum tidur. Aku membuka pintu kamar, tiap cahaya matahari yang lolos dari celah-celah jendela membentur wajahku dan secepat itu pula, aku cari-cari sosok ibu di kamarnya, ke halaman barangkali ia masih menyapu, lalu ke kamar mandi dan aku tak menemukan siapa-siapa. Tempat terakhir yang belum aku datangi adalah dapur, lalu kulangkahkan kaki dengan berat takut-takut aku tak menemukan ibu lagi seperti tempat-tempat yang telah kusinggahi. Setelah aku dorong pintu dapur, yang kudapati hanya Ayah yang berkutat dengan wajan penggorengan lalu kutanya kan di mana ibu, “Ibumu sedang keluar beberapa hari dan Ayah akan menyiapkan sarapan kesukaanmu, nasi goreng” begitu kata Ayah dan aku percaya saja karena Ayah tak pernah berbohong.

Hari-hari seperti berkejaran dengan waktu dan aku setia menuggu di teras depan rumah sambil memeluk boneka panda sedang untuk menunggui ibu datang. Aku selalu membayang, setelah ibu datang akan memeluknya erat dan menerima hadiah lagi, mungkin saja boneka panda berukuran besar seperti yang dijanjikan ibu saat aku digendong sebelum tidur dulu. Tetapi ibu tak pernah datang lagi setelah kejadian itu. Aku rindu ibu, pelukan-pelukannya, suara-suara merdunya, dan masakan lezatnya. Tiba-tiba sebuah gerobak penjual es krim keliling muncul dari kelokan jalan dan memutar lagu tentang ibu yang menyayat.

“…Ibu kusayang// Masih terus berjalan// walau tapak kaki penuh darah penuh nanah// seperti udara kasih yang kau berikan// tak mampu kumembalas//Ibu…(Iwan Fals, Ibu)” pelupuk mata menggenang bulir-bulir embun lagi, dan jatuh perlahan membasahi boneka panda yang kupeluk. Aku makin rindu ibu, rindu Ayah, rindu orang tuaku memelukku di depan televisi sambil saling mendongengi untuk mengantarku tidur, sudah lama aku tak merasakannya lagi.

***

Hari ini, minggu pagi ini dengan memeluk boneka panda berukuran sedang, Arika menunggui Ayahnya pulang berolahraga dengan teman sekantornya. Ia telah memetik sekeranjang bunga, beraneka aroma membaur pada sekelilingnya membuat mata gadis itu demikian basah setelah beberapa hari lalu, neneknya mengabarkan kabar duka dan mematahkan segala keinginan yang ia pupuk sepanjang hari. Ternyata, malam itu, pertengkaran antara ayah dan ibunya benar nyata, bukan mimpi. Kejadian pertengkaran itu membuat kedua orang tua yang sangat ia cintai memilih bercerai dan ibunya, mantap melangkahkan kaki pulang ke rumah neneknya. Lalu Ibu yang sangat ia cintai wafat di kamar tidur sambil menyebut nama gadis kecil itu sebelum benar-benar kembali pada Tuhan. Dan ia sekarang akan mengunjungi makam Ibunya bersama Ayahnya, dengan membawa sekeranjang bebunga yang ia petik sendiri, boneka panda berukuran sedang juga sisa rindu yang menggumpal di pelupuk mata. Ia berjanji akan menceritakan segala ketakutan, gelisah ingin di gendong lagi, ingin didongengi lagi dan juga ingin bercanda seperti bingkai-bingkai foto di dinding rumah, sangat bahagia.

Tetapi ayahnya belum juga datang, ia tiba-tiba bergumam lirih sambil memejamkan mata, “Apakah ayah tidak pernah ingin memahami aku? Segala rindu tentang ibu dan kenangan keluarga dulu? Senelangsa inikah efek perceraian itu.”

Guluk-guluk, 2020


M. Rifdal Ais Annafis Lahir di Sumenep, Madura 16 Pebruari 2001. Alumnus Ponpes Annuqayah, Sumenep serta melanjutkan studi di Universitas PGRI Yogyakarta Jurusan Pend. Bahasa & Sastra Indonesia. Terakhir November lalu, Juara l Cipta Puisi Nasional di Universitas Negeri Semarang. Tulisannya tersebar di media cetak, online, dan majalah tanah air bahkan mancanegara. Bisa dihubungi di gmail: [email protected]


  • About
  • Latest Posts
Redaksi Marewai
ikuti saya
Redaksi Marewai
Redaksi Marewai at Padang
Redaksi Marewai (Komunitas Serikat Budaya Marewai) adalah Komunitas Independen yang menyediakan ruang bagi siapa saja yang mau mempublikasi tulisannya, sebuah media alternatif untuk para penulis. Kami juga banyak berkegiatan diarsip manuskrip dan video/film dokumenter, mengangkat sejarah dan budaya Minangkabau. Bebebapa dari karya tsb sudah kami tayangkan di Youtube Marewai TV.
Silakan kirim karyamu ke; [email protected]
Redaksi Marewai
ikuti saya
Latest posts by Redaksi Marewai (see all)
  • Syekh Yahya Al Khalidi, Mursyid Tareqat Naqsabandiyah Al Khalidiyah dari Nagari Panjua Anak (1857 – 1943) - 11 Mei 2025
  • DISKUSI KELOMPOK TERPUMPUN PEKAN NAN TUMPAH SERI KEEMPAT USAI DIGELAR - 10 Mei 2025
  • Pelesiran: Rayuan Pohonan Lontar di Kota Karang | Raudal Tanjung Banua - 29 April 2025
Tags: BudayaCaritoPelesiranPunago Rimbun

Related Posts

Cerpen – Cengir | Gagah Pranaja Sirat

Cerpen – Cengir | Gagah Pranaja Sirat

Oleh Redaksi Marewai
12 April 2025

Cengir KETIKA kami pastikan bahwa Cengir benar-benar telah meninggalkan kami: rumahnya kosong. Sebatang rokok dan korek api masih terpancang...

Cerpen Konvoi Kantuik | Asrul Zulmi

Cerpen Konvoi Kantuik | Asrul Zulmi

Oleh Redaksi Marewai
12 Maret 2025

Bu Ningsih sedari tadi berusaha sekuat tenaga agar kelopak matanya yang berkeriput itu tidak terpejam lebih dari lima detik....

Cerpen UMANAIK | S&J PRODUKSI

Cerpen UMANAIK | S&J PRODUKSI

Oleh Redaksi Marewai
7 Maret 2025

S&J PRODUKSI             Tulisan-tulisan dengan nama dan identitas singkat pengenal lainnya, terpampang di batu-batu dengan corak ciri khas arab....

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Pergantian Tahun bagi Yang Tak Kekal dan Harum : R

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Pergantian Tahun bagi Yang Tak Kekal dan Harum : R

Oleh Redaksi Marewai
22 Februari 2025

Pergantian Tahun bagi Yang Tak Kekal dan Harum : R Pintu terkuak, dari mulutnya kau muncul tiba-tibaBertelimpuh kian rapuh,...

Next Post
Sisampek: Tradisi Nasi Lamak Kuning Dalam Acara Pernikahan di Pesisir Selatan | Melany Marza

Sisampek: Tradisi Nasi Lamak Kuning Dalam Acara Pernikahan di Pesisir Selatan | Melany Marza

Fenomena Retorika: Sebuah Seni Berbicara dan Perkembangannya di Masyarakat

Fenomena Retorika: Sebuah Seni Berbicara dan Perkembangannya di Masyarakat

Discussion about this post

Redaksi Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Ruang-ruang

  • Budaya
  • Sastra
  • Punago Rimbun
  • Pelesiran
  • Carito

Ikuti kami

No Result
View All Result
  • Kirim Tulisan ke Marewai
  • Budaya
  • Carito
  • Sastra
  • Berita Seni Budaya
  • Pelesiran
  • Punago Rimbun
  • Tentang Marewai

© 2024 Redaksi Marewai

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In