Dulu, lahan ini kosong tak berpemilik. Tak pernah ada yang melirik. Setiap kemarau tiba, tanah-tanahnya retak mengeluarkan panas. Lantas, Bapak menanam pohon glodokan tiang. Dua puluh sembilan jumlahnya. Kini, pohon-pohon itu tumbuh subur, berjajar, berbentuk seperti piramida mengerucut ke atas dan tinggi sekitar tiga puluh meter tumbuh subur berjajar. Daunnya berwarna hijau, panjang, dan bergelombang. Aku masih mengingat jumlahnya dengan jelas juga alasan Bapak menanam pohon ini dulu.
Waktu itu umurku baru dua belas tahun. Bapak mengatakan ia memilih pohon itu karena akar pohon glodokan tiang, tak akan merusak bahu jalan meski sudah berumur ratusan tahun kelak. Dan jumlah yang Bapak tanam adalah pengingat bagiku tentang jumlah huruf-huruf hijaiyah.
Setiap berjalan melewatinya Bapak pasti akan memintaku mengeja alif, ba, ta, hingga ya. Aku menjadi hapal dan menamai batang satu dengan alif, batang kedua, ta, dan begitu seterusnya hingga batang ke dua puluh sembilan dengan ya.
Beberapa kali, Bapak mengajak kembali ke pohon-pohon yang ia tanam jika aku lupa. Entah mengapa dibawah angin yang bertiup menggugurkan daun glodokan tiang aku mampu mengingat kembali huruf-huruf yang telah kulupakan. Dan Bapak lantas menghadiahi satu permen sebagai hadiah keberhasilanku.
Aku pernah berlakon pura-pura lupa hanya demi sebuah alasan bisa berjalan bersama Bapak juga untuk sebutir permen. Aku menyukai rasa manis dari setiap isapannya pun ketawa Bapak saat aku melafalkan alif hingga ya dengan lancar. Satu-satunya hal yang selalu Bapak pesankan padaku adalah sesulit apa pun hidup jangan pernah melupakan sumber solusi.
Hal yang paling kuingat tentang Bapak adalah pohon glodokan tiang dan huruf-huruf yang terukir dalam angan. Selepas kepergian Bapak dengan cara yang paling muskil aku menjadi membenci tempat itu juga seluruh kenangannya. Bagaimana bisa pohon-pohon yang ia rawat dengan cinta, tumbang dan menimpa Bapak. Menyisakan kejadian tragis, kepala pecah dan mati di tempat.
Kehidupan tak berjalan baik setelahnya, aku menjadi pemurung dan mengurung diri. Berhari-hari terdiam dalam kamar yang sunyi. Panggilan Ibu aku biarkan begitu saja. Memilih menutup rapat pintu.
Aku ingin melupakan setiap potongan kenangan bersama Bapak. Kehilangan yang benar-benar kehilangan membuatku menyimpan dendam dalam diam. Aku membenci glodokan tiang dan mencari-cari alasan meninggalkan alif, ba, ta. Sengaja. Mungkin cara ini bisa membuatku lupa.
***
Sekarang, ada yang kusesali saat umur merangkak senja. Kesendirian dalam sunyi, menikmati angan dalam kenangan usang. Potongan-potongan keberhasilan masa muda melintas bagai siluet tak bisa disudahi.
Ya, ya, ya, aku masih mampu mengingat dengan jelas bagaimana menjadi primadona kelas. Teman-teman berkata aku sempurna, dengan tubuh tinggi semampai, kulit putih bersinar, rambut hitam lebat. Sekali lirikan saja mampu menghadirkan debar pada dada setiap pria. Aku sangat bangga, kala itu. Dan lantas menggampangkan setiap cinta yang menyapa. Pemilih memang berhak memilih yang terbaik.
Bukan hanya itu, Tuhan juga takdirkan aku memiliki kepandaian. Hitungan matematika aku kuasai dengan baik. Juga pelajaran lainnya terlalu gampang bagiku. Pintar dan cantik, menghadirkan rasa iri pada kaum hawa dan keinginan kuat memiliki bagi kaum Adam. Aku menikmati semuanya tanpa keluhan. Tentu saja, mana mungkin mengeluh jika takdir sedemikian sempurna membersamai hidup.
Dengan segala kesempurnaan ini, aku mulai melupakan sakitnya kehilangan Bapak juga pohon gelodok tiang. Kuliah ditempat terbaik, lulus dengan predikat cumlaude mengantarkan aku bekerja pada sebuah bank ternama. Karirku melesat bak roket. Terlalu mudah bagiku mendapatkan nasabah. Wajar jika pimpinan suka karena aku mendatangkan keuntungan bertubi-tubi.
Hari-hariku sibuk, sangat sibuk hingga melupakan usia tak bisa menunggu kelonggaran. Berjalan terus, merambat tak bisa dicegah. Kepergian satu persatu orang-orang terdekat tak jua mampu menghadirkan fakta bahwa hidup pada akhirnya adalah mati.
Berkali-kali Ibu menitip pesan agar aku kembali pada pohon gelodok tiang, tapi aku sungguh tak ingin kembali mengingat semua kejadian paling menyedihkan dalam hidup.
“Nanti saja, Bu.” Aku tahu Ibu sedih dengan setiap penolakan ini, tapi aku memang tak ingin mengorek kembali luka batin. Masih lekat dalam ingatan bagaimana mata Ibu sembap.
Mungkin Ibu sudah merasakan bahwa tak banyak lagi waktu untuk menemani hidupku lantas berusaha mengingatkan tentang hal yang paling utama.
“Nak, besok temani Ibu ke pohon glodokan tiang, ya. Kita lihat apa jumlahnya masih dua puluh sembilan?” ucapnya di suatu malam saat aku baru pulang kerja.
“Kinan besok sibuk, Bu. Lain kali saja!” Kutinggalkan Ibu begitu saja, menuju kamar.
Aku masih tetap sibuk mengumpulkan berpeti-peti rupiah yang entah untuk apa. Pergi pagi, pulang larut. Menghabiskan waktu berlama-lama dalam ruangan ber-AC. Menghitung dan terus menghitung uang yang masuk. Bertemu kolega dengan wajah yang setia menyungging senyum meski beberapa kali perkataan mereka sering menyinggung nurani.
Waktu sempurna menelan kelonggaran masa mudamu. Habis tanpa sisa. Pencapaian jabatan hingga puncak tertinggi tak membuat diri puas. Ibu berpulang saat umurku sudah hampir menyentuh kepala empat. Tak sempat kupenuhi keinginan terakhirnya. Kembali pada pohon glodokan tiang dan mengeja setiap huruf yang terukir di sana.
Satu hal yang membuatku sedih, setelah kepulangannya aku baru menyadari Ibu meninggalkan puluhan kitab yang ia letakkan di hampir setiap tempat. Aku menangis kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Saat aku ingin kembali, ternyata kemampuanku mengenali huruf-huruf itu sudah sirna, lenyap di makan waktu. Aku terjebak dalam sebuah kemarahan atas dasar kehilangan hingga menelantarkan alif, ba, ta.
Dalam frustasi yang bertumpuk-tumpuk, kuhabiskan waktu dengan membaca puluhan buku hingga tuntas. Namun, ada satu yang tertinggal. Lantunan alif, ba, ta, telah kulupakan akibat abai yang kulakukan dengan sengaja. Aku melupakan buku terbaik dari yang paling baik. Hatiku masih milikku, ragaku masih milikku. Sayang otakku melupakan dua puluh sembilan huruf hijaiyah. Aku sudah terlalu renta untuk mengulangnya.
Kini mataku mulai merabun hingga huruf-huruf terlihat bertumpuk, menyatu tanpa sekat. Terbatas pandangan. Semakin rabun saat tak mampu kutahan mata yang mengembun.
Sekarang saat waktu berpulang semakin dekat, aku menyesali masa muda yang longgar akibat kemarahan yang sia-sia. Kesuksesan duniawi berada dalam genggaman. Jabatan tertinggi ada dalam pelukan. Sia-sia semua.
Aku merindukan alif, ba, ta di saat terlambat menjadi penghambat. Penyesalan tak mampu kusudahi. Bagaimana caraku meninggalkan sesal sedang mata kini menjadi penghambat.
Aku kehilangan bekal pulang sejak alif, ba, ta kulupakan dengan sengaja.
***
Dyajeng, lahir di Bali, beberapa karyanya pernah terbit di media online seperti Bernas.id dan Rahma.id. Dwi Admayani, Dyajeng. Alamat: BTN Gebang Satria Permai nomer 12, Mataram, Lombok, NTB
Email: [email protected]
No telp/ WA: 082339522956
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post