Tidak ia lalui lagi ladang itu, sejak seorang pria mengabarkan bahwa tanah tersebut tempat kuburan massal. Ia hapal betul liku jalan setapak ke ladang itu; suara lenguh harimau dari ngarai, landung yang menyimpan padang ilalang—juga suara simpai mematah dahan. Namun lelah bertahun yang dinikmati itu pupus lantaran seorang peladang mengabarkan soal tanah kuburan massal di Bukit Panjang.
Duan menceritakannya kepada Ia tentang parewa-parewa kampung yang diculik, kemudian dijadikan serdadu. Ia tau itu sebuah berita keraguan, entah diculik atau memang sengaja dibawa. Terlebih lagi Duan tidak hidup pada jaman yang ia ceritakan. Bisa saja hanya bualan semata atau memang adanya. Ia tentu percaya bukan karena cerita yang disampaikan Duan, melainkan karena semua warga tidak pernah lagi melewati jalan tersebut. Suatu ketika seorang peladang menemukan seonggok harta karun berisikan gelang dan anting emas. Ia tau persis di mana warga menemukan benda tersebut, sudah bertahun-tahun Ia melewati jalur itu untuk menuju ladang miliknya yang berada di punggung bukit. Goa yang ditemukan harta itu hampir setiap hari dilalui, tapi tak pernah terlintas dipikirannya untuk masuk dan mencek isi dalam goa tersebut. Duan mengabarkan itu kepadanya, dan Ia menceritakannya kepada aku beserta warga lainnya.
Bila dipandang, bukit yang tidak terlalu tinggi itu seperti sebuah kapal terbalik. Bagian pangkalnya menukik, bagian belakangnya tumpul seperti dinding ngarai yang dilapisi bebatuan. Tidak semua lahan bisa dijadikan ladang oleh warga, hanya sebagian saja, sebab bebatuan menutupi bagin bukit. Namun tidak jarang pula masyarakat mengadu nasibnya ke sana, bukan untuk berladang, melainkan menangkap burung murai batu, burung yang hanya ada di Bukit Panjang. Warga akan menginap di bukit untuk beberapa hari, kadang sampai beberapa minggu. Mereka telah menjadi manusia nomaden kalau sudah melakukan perjalanan sebagai pemikat.
***
Duan menceritakan kisah kuburan massal itu kepadaku, seolah-olah memang sejak lama ia mengetahuinya, namun segan untuk memberitahu masyarakat. Sebab jalan tersebut merupakan jalur terdekat untuk mencapai puncak, dilain sisi dia juga seorang pendatang yang kebetulan mendapat istri orang kampungku. Sebagian warga juga menggunakan jalan itu untuk menuju ladang mereka yang berada di balik Bukit Panjang. Jalannya elok, banyak buah-buahan pula, itu yang menjadikan jalur tersebut tempat utama bagi peladang pulang pergi. Bila haus, ada banyak pohon kelapa yang siap diturunkan buahnya.
“Itu sebabnya tumbuhan tumbuh subur di sana.”
“Wah, kenapa, Pak?”
“Kata orang dulu, tanah pemakaman memang bagus buat tumbuhan. Aku juga tidak tau persis, selain kurangnya hama di sana, mungkin ada sesuatu yang menjaga.”
“Jangan pakai kiasan, Pak, aku susah memahaminya.” Sebutku
“aku tidak menyuruhmu memahami. Tapi kau bisa menganalisa nantinya.” Sambungnya sambil membenarkan cangkul yang lepas dari gagang.
Tidak kusimpan curiga atas cerita yang beredar. Lagian jalur baru sudah dibuat oleh warga, lebih sedikit tanjakannya. Aku ikut senang, karena warga tidak berlarut-larut dengan cerita penemuan emas tersebut. Kami terus berladang seperti biasanya, menanam gambir dan lada. Warga telah membabat habis pohon sawitnya, memberi semprotan pembunuh. Membakar ladangnya untuk ditanam ulang. Di ladang milikku, tidak kulakukan pembakaran serupa, toh, hanya membuat susah saja. Biasanya setiap pembakaran, peladang akan menunggu sampai api padam. Aku paling malas menunggu lama-lama hanya untuk sebuah kefanaan. Aku babat habis tanaman sebelumnya yang tidak menghasilkan apa-apa, selain daun lada yang dihabisi hama. Tahun itu merupakan tahun celaka bagi kami para peladang lada, tidak ada satupun dari warga yang mendapatkan laba dari hasil ladang. Ada yang bertahan dengan menanam bibit sebelumnya, ada yang beralih ke tanaman lain. Aku tetap menaman lada dan gambir. Gambir milikku sudah berumur satu tahun, sayang pula kalau harus dibabat habis. Bagian lain aku isi dengan lada, cabe Langgai (bagian hulu yang terletak diSurantih, Kec. Sutera. Kab. Pesisir Selatan, Sumbar) kalau orang bilang.
Cabe super pedas itu hanya mendapat saingan dari cabe Kerinci. Kalau musim berbilang baik, tidak sedikit para toke dari luar kampung mendatangi peladang. Biasanya harga yang ditawarkan agak sedikit murah dibandingkan dengan harga pasar. Tapi karena peladang tidak perlu susah payah membawa cabe turun bukit, mereka akan menjualnya di tempat. Sedangkan gambir berbeda pula cara menjualnya, selain getahnya yang sudah dicetak—kemudian dijemur, peladang juga kadang menjual daun saja ke toke. Sebenarnya tidak jauh berbeda soal harga, tapi bila dihitung dengan rinci, toke lebih mendapat laba ketimbang membeli gambir kering. Bila harga daun perkilonya seribu, maka harga gambir kering adalah dua ribu lima ratus. Tentu lebih ringan daun dibandingkan getah gambir kering. Hampir sama dengan penjualan cengkeh, cengkeh basah akan dibeli setengah harga dari cengkeh kering. Tahun itu benar malang, tidak ada satupun ladang warga yang menjadi laba, hanya tinggal hutang yang menganga di pembukuan toke.
***
Selang beberapa bulan, Ia bertemu lagi dengan Duan yang menceritakan perkuburan massal. Sebelumnya dia sudah bicara panjang lebar dengan mantan tentara di kampung, lelaki tua itu mantan pejuang PDRI. Ia pernah tinggal di Halaban, Payakumbuh, tempat pertemuan penting soal wilayah kekuasaan Republik Indonesia yang direbut oleh penjajah. Lelaki itu terus menceritakan banyak hal. Ia tau memang ada kuburan massal di bukit di bagian Selatan Sumatra Barat, tapi tidak tau persis entah di bukit mana yang dipakai. Seingat dia bukan di Bukit Panjang, bukit tersebut hanya markas para gerilyawan, tempat parewa yang dididik jadi serdadu pemberani. Ia sempat memotong cerita yang terbata itu.
“apakah di kampung kita pernah terjadi pertumpahan darah, Tuk?”
“pernah.”
“di mana?”
“kan sudah aku bilang, aku lupa banyak hal. Pokonya pernah.” Lelaki itu menyudahi obrolan sambil merebahkan dirinya kembali ke dipan.
Dia tidak memaksakan diri untuk bertanya panjang lebar kepada veteran perang itu, karena ia tau untuk bertahan hidup saja sudah sangat sulit bagi veteran seperti dia. Ia membawa cerita itu pulang, sembari mengaitkannya dengan apa yang sudah diceritakan Duan beberapa bulan lalu. Ia menccoba mengikuti jalur larangan itu kembali, tidak pula ia temui tanda-tanda yang ganjil. Memang ada beberapa batu seukuran paha orang dewasa, ada yang tertanam, ada pula yang tergeletak. Entah karena sugesti atau memang benar adanya, ia merasa bebatuan tersebut adalah nisan. Tapi nisan yang berantakan sekali. Tapi bila ia ingat kembali, bukankah kuburan massal tidak memiliki nisan?
Goa-goa seperti menyimpan degub penasaran, seakan ada bongkahan emas yang siap untuk dibawa pulang. Atau hanya sekadar halau suara walet dan kelelawar. Tetapi ada sedikit yang berbeda; adanya pembabatan lahan di sebuah ladang yang di kelilingi pohon karet, lahan itu berada tepat di tengah-tengah rerimbunan karet. Jalan-jalan terlihat seperti biasa, tidak ada semak di badan jalan. Biasanya bila tidak dilalui selama sebulan, akan banyak tumbuh tanaman liar. Kan warga tidak lagi lewat jalur tersebut, mengapa jalan masih terlihat bersih. Pikirnya begitu.
Kemudian Duan menceritakan kembali tentang kuburan masaal itu kepadanya. Semakin panjang, semakin Ia tidak mengerti apa sebenarnya kuburan massal itu. Duan menyebut lahan itu merupakan kuburan massal para parewa, hari itu sempat pula Duan membahas kuburan para pejuang PDRI. Ia semakin bingung dengan cerita Duan. Anehnya, Duan selalu Ia temui di jalan pendakian pertama menuju jalur larangan, dengan cangkul dan pemahat batu. Matanya merah, kadang Ia mengajak Duan bicara serius malah dibawa bercanda, bila dia yang balik bicara, kemudian Ia ajak bercanda malah dibawanya serius. Duan selalu merokok saat bertemu dengannya, dar situ Ia tau bahwa Duan bukanlah peladang asli kampungnya. Tembakau dan gulungan ia taruh di kantong asoy, diikat pada bagian pinggangnya. Kadang dia tertawa lama untuk lelucon yang hanya plesetan saja.
***
Saban hari warga merawat ladangnya seperti merawat asa anak bini. Gambir dan lada masih tanaman favorit, itulah idola masyarakat kampungku untuk tanaman penghasil uang. Cabe Langgai kami sudah ternama, jadi sayang pula bila bertukar isi ladang. Kalau gambir, tidak perlu diragukan lagi, hasil warga adalah salah satu yang terbaik untuk diekspor ke negara India. Tahun celaka berlalu, warga kembali bercocok tanam seperti biasa. Bibit baru ditanam dalam lubang, bagai harapan yang masuk di kedalaman doa anak bini. Aroma pupuk menyebar di setiap ladang, ngarai menyimpan lenguh harimau, gema suara peladang pulang jadi himbauan.
Bukit Panjang terasa ramai hari ke hari. orang-orang datang bagai ada sebuah acara wisata, padahal musim panen masih lama. Jalan menuju jalur larangan dipagar, bertuliskan “zona larangan” tapi tiap bulan orang-orang berdatangan. Entah siapa yang membuatnya, sedang kepala kampung saja tidak tau. Orang-orang luar datang dengan puluhan alasan; peneliti, penjaga hutan, dan wisatawan mancanegara yang mendapat surat resmi pemerintah. Masyarakat hanya mendapat receh dari jualan minuman, persinggahan yang terbilang buruk untuk orang kelas atas.
Di rumah kita orang-orang bertransaksi bermilyaran, tuan rumah hanya pengepul kopi seharga limaribu rupiah. Duan yang Ia temui tahun lalu semakin tak karuan, di kedai-kedai ia jual cerita para pendatang untuk mengalokasikan Bukit Panjang sebagai hutan lindung, padahal sejak lama ia tau masyarakat kampung bergantung hidup di sana. Ia buat pengumuman yang entah pejabat mana menandatanganinya. Ia bawa berbungkus rokok ke kedai-kedai, diberikan kepada parewa kampung, bangun siang, malam bertanggang.
Tiap bulan baru tiba, mobil pick-up bergantian datang. Entah apa yang dibawa, karung ditumpuk seperti doa anak bini mereka. Kalaulah batu nisan berantakan yang dibawa, untuk apa pula gunanya. Toh, aku sendiri pernah melihat batu itu, hanya batu biasa yang banyak ditemui bukit-bukit lainnya. Bila hari menjelang tengah malam, mereka sibuk pula membawa berkarung dedaunan, tidak seperti daun gambir. Seperti daun tumbuhan liar yang suatu waktu pernah dibawa Duan dengan polibet, aku pernah melihat daun itu dalam bentuk kering yang ditaruh di kantong asoy Duan. Bila daun lada, buat apa pula, lagian tidak ada warga yang bercocok tanam di bagian jalur larangan. Selain sebuah lahan yang di kelilingi pohon karet rimbun. Entahlah, di rumah sendiri orang masuk sesuka hati, sedang kita hanya mengharapkan uang dari air hitam mendidih yang dihidangkan dengan gelas hadiah sabun mandi.
Diluar kejadian itu semua, Duan terus terang mengabarkan tentang kegiatan orang-orang di jalur larangan kepada Ia yang sering ditemui. Aku tidak tau persis cerita mereka, mereka berdua adalah pendatang di kampung kami. Duan, Ia dan aku sama-sama menjadi sebuah terowongan yang entah sampai kapan dapat menghentikan kegiatan di jalur larangan. Sedangkan Duan telah bekerja di sana sebagai penjaga pintu masuk jalur larangan. Setiap ditanya apa sebenarnya yang ada di lahan itu, dia selalu menjawab ada kuburan massal dan akan ada rencana pembongkoran untuk dipindahkan ke makam pahlawan. Terus begitu sampai bertahun-tahun, tapi pintu pagar menuju jalur larangan tidak pernah dibuka. Orang-orang kampungku mulai membeli lahan di luar kampung. Sebagian warga juga memilih pindah lantaran lahan mereka di bukit Panjang telah dijual. Tentu dengan harga lumayan mahal, karena tidak biasanya warga di kampungku mau menjual lahan milik mereka. Apalagi lahan tersebut adalah hasil dari pembabatan hutan rimba sewaktu lahan tersebut belum menjadi hak milik siapa-siapa. Mereka masih bebas menambah lahan, asal mau bekerja sama dengan warga lain.
Dulu, setiap warga yang membuka lahan baru, akan dibantu oleh warga lain. Begitu sebaliknya, kalau ada warga lain yang mau membuka lahan baru, maka juga akan dibantu warga lain. Tidak ada gaji, yang ada hanya makan pagi dan makan siang. Tapi semenjak Duan menceritakan tentang bagian jalur larangan ada kuburan massal, warga tidak berani lagi mengarah ke sana untuk berladang. Padahal bagian jalur larangan masih luar bisa dibuka lahan baru oleh warga. Dua orang: Duan dan Ia yang menceritakan itu kepada warga seperti dua orang yang saling bantu menyebarkan cerita kuburan massal. Persis sama dengan cerita tampat di tepi sungai. Tampat yang disinyalir adalah kuburan seorang tabit kenamaan kampung kami pada jamannya. Biasanya tampat tersebut menjadi tempat warga syukuran, meminta barokah dan lainnya. Bila dilihat hanya seperti kuburan biasa, yang membedakan hanya dibuatkan pondok kecil saja, kemudian diberi kain putih. Kalau bulan puasa datang, biasanya banyak warga mendatangi tampat tersbet sebagai ajang ziarah.
Di bibir Bukit Panjang, warga telah berganti profesi menjadi pekedai kopi. Sebagian lagi pindah ke kampung sebelah untuk tetap meladang. Beberapa warga kesulitan menjadi pekerja saat membuka lahan baru, lantaran mereka telah sibuk berprofesi sebagai tukang angkut karung-karung dari pintu jalur larangan. Duan adalah mandor mereka, dan Ia yang selalu mengabarkan cerita Duan juga sering tampak di sana. Aku tidak pernah diterima menjadi pekerja mereka, padahal mereka tau bahwa sejak kedatangan Duan kami disibukan dengan banyak hal-hal yang tidak jelas.
Bukit Panjang telah menjadi jalur eksotis di kampung kami, mobil-mobil berplat merah sering datang kalau sudah akhir bulan. Belum lagi pick-up yang seweliran di jalan kampung. kampung telah sepi, hanya kabut yang tak sempat dibersihkan di dinding papan rumah warga. Duan dan Ia yang menyebar cerita tetap seperti dua orang yang berlawanan, Duan mengatakan Ia sebagai tukang sebar hoak, sedangkan Ia mengatakan Duan adalah bagian dari rencana gila seorang pengusaha. Tapi beruntung aku hidup di antara orang-orang yang teguh dengan pendirian, selagi masih bisa menghindari pertikai, mereka akan selalu mengalah. Dan buktinya mereka memilih lahan lain ketimbang meributkan lahan di Bukit Panjang.
Tapi beruntung, sejak adanya keramaian di kampung kami. Jalan dan pembangunan lainnya lumayan terbantu. Perdana seumur hidup aku melihat jalan hitam yang dibuat dari kerikil kemudian diberi getah hitam berbaut pekat. Kata mereka itu aspal. Baru tau pula warga bahwa sungai kami bisa menghasilkan listrik. Belum lagi cara melahirkan anak dengan cara medis, suntik, pil, toa yang mengeluarkan bunyi dari sebuah mic. Bangunan berkubah, orang-orang menyanyikan setelah matahari tenggelam, hampir lima kali sehari mereka bernyanyi. Entahlah, kadang kami juga diajak ke sana, mengikuti gerakan mereka setelah selesai menyanyi. Pembacaan buku setelah kegiatan mereka selesai, buku yang berisikan tulisan arab. Kata Duan, itu namanya Kitab. Sedangkan kata Ia, itu adalah Al quran.
Banyak yang berbeda dari kampung kami, hari-hari berubah drastis. Tampat yang dulunya ramai sebelum bulan puasa menjadi sunyi. Orang-orang telah beralih ke bangunan yang baru didirikan. Di sana sejuk, mendengar orang-orang bersorban membaca buku yang suaranya bisa terdengar jauh melalui cerobong besar di atas bangunan.
- Pelesiran: Mitologi Dewa Babi dan Keberhasilan Masyarakat Tradisional | Arif Purnama Putra - 20 September 2023
- Pelesiran: Mitologi Anjing Dewa dan Masa Silam yang Nyaris Hilang di Gunung Pangilun | Arif Purnama Putra - 1 September 2023
- SELAMI OBSESI DAN KEGELISAHAN: CROUD RILIS DEMO MMXXIII Berisi “HUN’S ADDICTION // SOMEHOW (EVENTUALLY)” - 1 Mei 2023
Discussion about this post