Musim sudah mulai berubah hawa, ini bertanda musim penghujan akan datang. Perasaan di dada Leman kian bergemuruh, detak jantungnya kian kencang. Waktu tinggal beberapa hari lagi untuk melunasi hutang kepada Samsudin, sesuai dalam perjanjian yang tersurat. Kalau saja pergantian musim ini bisa ditangguhkan, mungkin Leman orang yang paling pertama memberi usulan kepada tuhan. Terik cahaya matahari sore membuat cucur keringat Leman semakin menjadi – jadi, karena bertambah oleh perasaan gamang.
Sesekali mata Leman melirik anak dipangkuan ibunya, setiap melirik, setiap iba datang menghampiri. Dilayangkan pandang jauh ke ujung bukit batu putih, barangkalai akan membuat sedikit hati terhibur. Tapi kali ini batu kapur berwarna putih yang terlihat di lereng bukit tidak memberi kebahagian lagi kepada Leman, dia meninggalkan jendela dan berjalan hilir mudik di ruang tamu.
“kalau saja dulu kau bekerja keras, sudah barang tentu kita akan terhindar dari kecemasan ini” suara istri Leman sedikit serak, mungkin dia juga menanggung resah.
“berdoa saja akan datang bantuan” Leman mencoba menenangkan istri dan dirinya sendiri, padahal dia sendiri tidak yakin akan ada keajaiban.
“aku selalu berdoa Leman, tapi kau tak pernah berusaha. Setiap hari kau habiskan waktu di kedai judi” nada bicara istri sudah mulai tinggi dan beriring isak tangis. Leman hanya diam, ini bukan kali pertama istrinya berkata seperti itu. Sekarang resah Leman sudah bercampur aduk dengan amarah, kepada siapa hendak di alamatkan amarah ini. Leman duduk mencangkung di pintu, di gulung tembakau dengan daun nipah. Isapan pertama asap mengepul ke langit-langit rumah, kepala tersandar ke pintu. Pikiran Leman sampai kepada safril, ayah tirinya.
“mungkin ini pilihan sia-sia, tapi aku akan mencoba” gumam leman, dia melirik istrinya. Tidak ada senyum sedikitpun yang tampak dari bibir wanita itu, Leman tetap berusaha untuk meyakinkan istrinya kalau dia adalah pria yang bertanggung jawab.
“apa rencana mu?”
“kerumah safril, itu harapan terakhir”
“kau yakin dia bisa menolong kita, sedangkan untuk makan sehari-hari saja tidak pernah dia bantu. Apalagi untuk menolong kita menutup hutang besar” anak di pangkuan istri menanangis keras, istri Leman segera menyusui. Leman tidak berkata sepatahpun, dia lansung berangkat meninggalkan istri dan anaknya yang sedang menangis.
Menapak jalan tanah menuju rumah safril, jauh berjalan kaki terasa penat. Leman melihat sebuah pohon rindang, dia berpikir sebaiknya istirahat dulu sambil mengumpulkan siasat. Dia duduk berselonjor di pangkal pohon, kepalanya menghadap ke dahan di atasnya.
“andai saja daun pohon ini uang, pasti sudah lunas semua hutangku pada Samsudin” Leman berbisik pada diri sendiri. Karena penat, angin sepoi-sepoi merayu mata Leman untuk terpejam.
Leman dikejutkan dengan benda yang berguling jatuh di hadapannya, setelah mengusap mata leman menghampiri karung bewarna putih. Dari kejauhan dia melihat tiga orang berlari ke arahnya, bergegas Leman menyembunyikan karung itu dan kembali berselonjor dan menyandar di batang pohon. Dia berpura –pura tidur, dia berpikir tiga pria itu pasti akan menghampirinya.
“Hei, bangun.”
Dugaannya benar, dia menguap seperti orang yang terbangun dari tidur pulas. Kedua tangan mengepal ke langit, tubuhnya kejang seperti orang ayan.
“Apa kamu melihat orang yang berlari kearah barat”
“Tidak tuan, aku dari tadi tertidur disini” jawab Leman gelagapan. Tiga pria itu berlalu meninggalkan Leman, mungkin mereka percaya dengan jawaban polos Leman. Sepertinya mereka bukan warga kampung sini, kalau warga kampung sini pasti akan mengenal Leman. Pria yang hobi berjudi dan mencuri ayam warga. Leman tengingat pada karung putih yang membangunkan tidurnya tadi, bergegas dia mengambil karung itu dari dalam semak. Leman berpikir pasti ada hubungan karung ini dengan pria bertiga tadi, sambil berharap akan ada sebuah barang berharga dari dalam karung itu. Leman membuka tali pengikat ujung karung, menyibak-nyibak isi karung. Karung hanya berisi kain carik berwarna merah, sehelai kain hitam ujung dengan manik ke emasan, dan sebuah kain putih melilit besi tapi ujungnya tumpul terjulur.
Leman tampak kecewa dengan kenyataan yang didapatkan dari dalam karung, harapannya kandas. “Sepertinya hari sudah senja, sebaiknya karung ini aku bawa saja pulang. Istriku akan mengira kalau ini hasil dari bantuan safril kepada keluarga kami, agar dia tidak berburuk sangka lagi kepada ayah tiriku.” Leman berbicara sendiri. Dia membopong karung berisi kain pulang kerumah, gontai langkah Leman menuju rumah.
“Aapa yang kau bawa “
“Hadiah dari Safril, untuk kebutuhan kita”
“Apa isinya, aku jadi penasaran kenapa Safril tiba-tiba baik kepada kita”
“Aku ini anaknya, pastilah dia baik kepadaku.” Leman membuka karung bawaannya, dia mengeuarkan secarik demi secarik kain, dan terakhir mengeluarkan besi yang dililit kain.
“Kebaikan semacam apa ini Leman?”
Leman juga tidak mengerti. Sambil meneruskan membuka lilitan kain pada besi, matanya terbelalak melihat sebuah keris pusaka.
“Kenapa keris ini ada pada Safril?” istri Leman terheran,
“Nanti aku ceritakan” Leman mengajak istrinya membawa keris itu kedalam rumah. Dia seperti terjebak dalam permainan yang dibuat oleh dirinya sendiri, tapi Leman tidak panik. Akan selalu ada jalan bagi Leman untuk menyempurnakan kebohongan.
“Tadi di rumah Safril, aku meminta kain sisa jahitan untuk keperluan menyeka. Ketika dia mengambil kain ke kedai di depan rumah, aku menyelinap masuk ke dalam kamar. Aku mengambil keris ini dari lemari. Aku sudah tahu keris ini sudah lama dia tebus kepada Samsudin, tapi dia sengaja menyembunyikan. Dari info mantan anak buah Samsudin, Ini siasat Safril supaya tabiatku berubah. Agar aku mau bekerja dan tidak berjudi dan mencuri ayam lagi.”
“Tapi kenapa kau masih mencuri”
“Ini untuk yang terakhir kali, yang jelas besok pagi aku akan berangkat kerumah ayahmu dan mengembalikan keris ini.”
Istri Leman menatap penuh harap,semoga saja ini janji terakhir. Dia beranjak untuk menyimpan keris itu di kamar. Sementara Leman kembali berselonjor di pintu, sambil berpikir untuk siasat baru. Samsudin tidak akan tinggal diam dengan kehilangan keris pusaka itu, dia akan terus mencari sampai ke pelosok negeri. Karena tanpa keris itu dia tidak akan bisa lagi menagih hutang kepadaku.
“Sebaiknya aku harus bekerja keras sebelum musim penghujan tiba, agar semua hutang kita terbayar lunas”
“Bekerja dan tinggalkan kebiasaan buruk, walaupun jaminan sudah kembali ke tangan kita. Tapi hutang tetaplah hutang, tidak hanya kepada manusia. Kepada tuhan kau juga ikut berhutang Leman.”
“Ya, hutang tetaplah hutang. Kemujuran tidak akan selalu datang. Aku berjanji kepadamu akan berubah dan bekerja” sambil menggenggam kedua tangan istrinya.
“Berjanjilah kepada diri sendiri, jangan kepadaku” Leman memeluk erat istrinya, dia merasa kembali menjadi pengantin baru. Sudah lama tidak memeluk istrinya, ternyata kehangatan masih sama. Masih seperti kehangatan waktu pertama kali Leman mencumbui istrinya.
- Carito Yuang Sewai: Tatolong Dek Jangguik - 8 September 2024
- Jurnalis Reformis; Pelayan Tuhan Tidak Pernah Arogan | Rori Aroka Rusji - 2 September 2024
- AYIA ANGEK : WISATA SEHAT NAGARI MUARO PAITI - 30 Maret 2021
Discussion about this post