Pada tahun 1292 M kedatangan seorang Panglima Kebo Anabrang yang merupakan ekspedisi persahabatan yang lebih dikenal dengan “Pamelayu” dari Singasari ke kerajaan Melayu Swarnabhumi. Keberangkatan dari Jawa ke Sumatra Kebo Anabrang atas nama Maharaja Singasari Prabu Kartanagara berhasil menjalin persahabatan dengan Kerajaan Swarnabhumi dan Negeri Ranah Tiga Jurai pedalam Sumatra yang di dalam Tambo Bungka Nan Piawai dikabarkan dengan kedatangan Nangkodo Basa dari Madang Kamulan, meninggalkan “Tando Mato” (Cendramata) kepada Datuk Suri Dirajo, Datuk Katumangguangan, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dan Cati Bilang Pandai sebuah Talempong Duo Sabantuak dan di daerah Ibukota Swarnabhumi Tigo Lareh di tinggalkan Talempong Unggan serta cendramata sebuah hadiah patung yang di bawa dari Jawa kemudian didirikan di Dharmasraya kepada Tuanku Tiang Panjang Sri Maharaja Tribuanaraja Mauliwarmadewa yang disebut Prasasti Amoghapasa, tanda bersahabat, bersaudara. Apakah Kata “Pa” itu selalu diartikan dengan penaklukan !
Di dalam Parasasti Amoghapasa berangka tahun 1208 Saka (1289 M) menyebutkan pada Kamis (Maulu Wage), tanggal 1 Badrapala 1208 Saka, Arca Panduka Amoghapasa Lokeswamata telah di bawa dari Bumi Jawa ke Swarnabhumi untuk di tegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah dari Sri Wisywa Rupakumara. Untuk tujuan ini, Sri Kartanegara Wikramat Tunggadewa memerintahkan Rakrian Mahamentri Dyah Adwayabrahma, Rakrian Sirikan Dyah Sugatabrahma, Payanan Hyang Dipakaradasa dan Rakrian Demung Wira untuk menghantarkan Paduka Amoghapasa. Dan ditulisan ini di Akhiri “Semoga hadiah ini membuat gembira segenap penduduk Negeri Melayu, termasuk para Brahmana, Satria, Waisya, Sudra dan terutama pusat segenap para arya Sri maharaja Trubunaraja Mauliwarmadewa.
Jadi, apakah harus menerima hadiah itu dengan lari?
Pituah Minangkabau “Pemberian apabila tidak sanggup di tampung oleh tangan, dengan niru di tampungkan”.
Namun sebelum kedatangan Ekspedisi Pamelayu seorang raja dari Wangsa Swarnapura hiyasan Sri Maharaja Diraja di Pulau Ameh dengan nama Raja Natan Sangsita Sangkala. Raja ini yang dari jalur ibu dari Wangsa Melayupura (Malayu Kampuang Dalam) dan dari pihak ayahnya adalah dari Wangsa Swarnapura (Syailendra), dan juga di gelari dengan sebutan Krama Karatu Agung. Mempunyai saudara di Natanpura; Sang Pertala Wijaya, Sang Petala Buana (Sang Pertala Dewana), Raja Natan Sangsita di Natanpura dibawah perintah Raja Demang Lebar Daun, namun ketika Raja Natan Sansita diangkat jadi menantu, kemudian dinobatkan menjadi raja Palembang dengan gelar Sang Sapurba Taramberi Tribuana. Raja Demang Lebar Daun sendiri menjadi Makubumi (Perdana Mentri), Sang Pitala Wijaya menjadi Panglima Perang, dan Sang Petala Buana menjadi Pandita dengan nama Kresna Pendita. Di Palembang Raja Natan Sangsita memperoleh anak dengan istrinya bernama Wan Sendari beberapa putra dan putri: Putri Sri Dewi (pergi ke Cina dan nikah dengan Maharaja Cina), Putri Candra Dewi (istri dari Raja Medang Kemulan/Majapahit) Sang Maniaka (menjadi Raja di Tanjung Pura) dan Sang Nila Utama ( Dinobatkan Raja Natan Sebagai Raja di Singapura).
Setelah menobatkan putra putrinya menjadi Raja dan Raja Putri. Raja Sang Sapurba Tamberi Tribuana kemudian dinobatkan pula di Natanpura dengan Gelar Raja Natan Sangsita Sangkala. Di Natanpura mempunyai istri bernama Betari Dewi melahirkan seorang putra dengan gelar Temenggu Merah Mata menjadi Raja Ulu Tembesi. Kemudian raja ini melakukan perjalanan hingga sampai di kampung halaman ibunya Malayu Kampuang Dalam Ranah Tigo Lareh menemuai Apak Tuanya yang bernama Tuanku Tiang Panjang Sri Maharaja Tribuanaraja Mauliwarmadewa. Akan tetapi di Malayu Kampuang Dalam di sambut baik oleh Bapak Tuanya suami dari saudara ibunya Putri Ratna kencano Ungu dengan sebutan Etek. dinikahkan oleh apak tuanya Tuanku Tiang Panjang dengan seorang kamankannya yang bernama Putri Ratna Dhyani (Puti Reno Jani) Anak dari Putri Jambak Jambudwipa (Putri Jambak Jambulipo) dalam perkawinanya dengan Raja Dauli di Lubuak Bulang Sidulang Ameh (Sikabau).
Di Malayu Kampuang Dalam seorang saudara sepupu (sepunya bagian ibunya) oleh Raja Sangsita Sangkala telah pergi keperdalaman Minangkabau bernama Dewang Indo Rajo Palo yang telah nikah dengan anak Raja Tanjuang Balik (Daerah Sauruaso ) dengan nama istrinya Putri Bungo Tanjuang. Dewang Indo Rajo Palo memindahkan sebahagian keluarga Malayu Kampuang dalam ke Saruaso dengan menasbihkan diri sebagai Datuk Maharaja Diraja sebagai mana yang disebut oleh prasasti-prasasti yang ada dengan nama Raja Akerendrawarman yang belayar dengan mengunakan rakit bambu, bersama Prapatih yang bernama Tudang dan Temenggung bernama Kudawira. Perginya Saudara sepupunya ke pedalam Negeri Ranah Tigo Jurai, Raja Natan Sangsita naik menelusuri Negeri Ranah Tigo Jurai atas permohonan seorang satria “Cati Bilang Pandai” untuk menetralkan Nageri Ranah Tigo Jurai sebagai negeri yang sakral di Pulau Sumatra Bagian Tengah di masa itu dengan nama Pariangan yang berada dikaki Gunung Merapi yang sedang dililik oleh “Ular Sijalo Karak” (keberadaan bangsa Cina di sekitaran gunung merapi). Maharaja Suwarnabhumi Tuangku Tiang Panjang Sri Maharaja Tribuanaraja Mauliwarmadewa, dikarenakan Hiyasan martabatnya tinggi Raja Natan Sangsita Sangkala Sri Maharaja Diraja Sang Sapurba Taramberi Tribuana untuk memploklamirkan dirinya sebagai Maharaja Diraja di Negeri Yang Keramat Ranah Tigo Jurai Seluruh Alam Pulau Emas.
Raja Natan Sangsita Sri Maharaja Diraja Sang Sapurba Taramberi Tribuana pergi ke Ranah Tigo Jurai dan membawa sebahagian keluaga bangsawan Melayupura (Malayu kampuang dalam) ke negeri Ranah Tigo Jurai negeri Pusat jala Alam Pulau Swarnabhumi di Pariangan. Tetapi ketika raja ini pindah dari Melayupura pindah dulu ke Kumanis lahirlah beberapa orang anak dari istrinya Putri Reno Jani; 1. Puti Kasumbo (yang disebut Puti Kumanis) menjadi raja di Swarnapura, 2. Dewang Kumano (menjadi raja di Gasib), 3. Putri Ratna Mambang Talena (menjadi raja putri di karetang), 4. Puti Sangiang Reno Jari (menjadi raja putri di pantai cermin, solok selatan sekarang), dan Bonsu (kecil) bernama Dewang Sari Duano namun ketika kecil mandi kesungai di sambar buaya di Kumanis membuat Raja Natan Sangsita marah dan membunuh buaya itu kemudian Raja ini memerintahkan memagari sungai itu dengan ruyung (belahan pohon aren) di tepi sungai pemandian anak raja dan membuat maklumat sebuah sumpah dengan buaya sungai.
Kemudian Raja Natan Sangsita melanjudkan perjalanan ke Saruaso dengan membawa kaum kerabat dari Malayupura dan Swarnapura yang lebih dikenal dengan suku Dharmasraya kemudian lebih disebut dengan suku darma di Kuatan dan di perdalaman disebut dengan Suku Domo. Suku Sumpu (Suwarnapura), dan Suku Ambancang Lilin (Jambak Jabulilin). Di Saruaso Raja Natan Sangsita menyatukan dua kerajaan yang terus terjadi perselisihan yang tak bekesudahan antara Kerajaan Tajuang Balik Rajanya Dewang Indo Rajo Palo (Raja Akerendrawarman) sebutan populer Rajo Parmato, dengan Raja Tajuang Aur bernama Raja Dipatuan yang bersal dari Suku Tigo Rumah Limokaum dan tempat kedudukan Raja Dipatuan ini disebut Kampuang Rajo. Perselisihan yang tak kunjung bisa diselesaikan membuat Raja Dewang Indo Rajo Palo (Raja Akerendrawarman) terhambat untuk memperluas lahan pertanian dan membentuk Irigasi di sepanjang daerah Tanjuang Balik, yang selalu di hadang dan diberntikan pekerjaanya oleh Raja Dipatuan Tanjuang Aur. Kondisi demikian Raja Natan Sangsita Sangkala ketika sampai di Tanjuang Balik. Megumpulkan seluruh pembesar dan memaggil Raja Tajung Aur untuk berdamai dan menyatukan Kerajaan Tajung Aur dan Tajung Balik dengan Nama Saruaso yang lebih dikenal dengan sebutan Sri Surawasa.
- Bagian #1 Datuk Perpatih Nan Sabatang: Menyamar Mengkritisi Undang-undang di Pariangan, dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 11 Februari 2024
- Kembalinya Dt. Perpatih Nan Sebatang Menemui Dt. Katumanggungan dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai: Zera Permana - 21 Januari 2024
- Seri Punago Rimbun: Datuk Parapatiah Nan Sabatang Tokoh Besar Minangkabau dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 14 Januari 2024
Discussion about this post