Sumatra Barat dalam sejarah Indonesia menyumbang banyak para pemikir-pemikir kelas wahid dari masa ke masa. Mulai dari zaman sebelum Indonesia merdeka, sampai pasca kemerdekaan. Para intelektual Sumatra Barat tersebut bukanlah semata-mata angkat senjata dan bertempur secara langsung, tapi lebih dari itu mereka juga menyumbang banyak pikiran-pikiran dalam membangun bangsa Indonesia. Umumnya para intelektual tersebut juga berlatar belakang agama yang mumpuni dan bersekolah tinggi. 16 nama pahlawan berasal dari Sumatra Barat ini dicatat secara resmi oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional sesuai dengan sumbangsih mereka kepada bangsa Indonesia. Tentu masih banyak lagi pahlawan-pahlawan yang tak tercatat dan dideklarasikan sebagai pahlawan nasional, yang mungkin tak kalah hebatnya dari 16 nama di bawah ini. Para tokoh sentral ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada masa jabatan; Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden BJ Habibie, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo. Pahlawan hanyalah sebuah gelar, lebih dari itu perjuangan-perjuangan merekalah yang patut dijaga serta dihormati sebagai pendiri bangsa. Berikut kami sajikan 16 Pahlawan yang berasal dari Sumatra Barat:
Mohammad Hatta (12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980) adalah negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Pada 1956, ia mundur dari jabatan wakil presiden.Hatta dikenal akan komitmennya pada demokrasi. Ia mengeluarkan Maklumat X yang menjadi tonggak awal demokrasi Indonesia. Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi. Hatta meninggal pada 1980 dan jenazahnya dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.
Namanya bersanding dengan Soekarno sebagai Dwi-Tunggal dan disematkan pada Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di Belanda, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem.
Sutan Sjahrir (variasi penulisan nama: Soetan Sjahrir, Sutan Syahrir, 5 Maret 1909 – 9 April 1966) adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966. Sjahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Leman dan gelar Soetan Palindih di Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara.[3] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir bersaudara kandung dengan Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman pada masanya dan Soetan Noeralamsjah, seorang jaksa dan politikus Partai Indonesia Raya (Parindra).
H. Ilyas Ya’kub (Ilyas Yacoub; 14 Juni 1903 –2 Agustus 1958) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatra Barat. Ia ditetapkan sebagai pahlawan melalui Surat Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 tertanggal 13 Agustus 1999. Ilyas Ya’kub adalah seorang ulama dan syaikhul Islam dari Minangkabau, lulusan Mesir, diangkat menjadi pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia dengan SK-Mensos RI Nomor: Pol-61/PK/1968, tanggal 16 Desember 1968 dan dikukuhkan kembali dengan Keputusan Presiden RI (Kepres-RI) Nomor 074/TK/Tahun 1999 tanggal 13 Agustus 1999 serta dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana atas jasanya mempertahankan prinsip-perinsip kemerdekaan dari ancaman kolonialisme Belanda sekaligus menggerakkan kemerdekaan RI dengan risiko dibuang Belanda ke Digul (di Papua – Indonesia sekarang) serta beberapa tempat di Malaysia, Singapura, Brunei, Australia dll. Ia pernah memimpin mahasiswa Malaysia-Indonesia di Mesir, juga pendiri Partai Politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia, 1932) berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Beralasan pula dengan kemampuan dan jasanya sebagai ulama, tokoh pendidikan dan politikus Islam di awal kemerdekaan (1948) ia dipercaya pada negeri yang Islam dan semangat Melayunya kuat sebagai Ketua DPR Provinsi Sumatra Tengah merangkap penasihat Gubernur.
Tan Malaka atau Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka (2 Juni 1897 – 21 Februari 1949) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, juga pendiri Partai Murba, dan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Nama lengkap Tan Malaka adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim, tetapi ia dikenal baik sebagai seorang anak dan orang dewasa sebagai Tan Malaka, sebuah nama kehormatan dan semi-bangsawan, ia mewarisi dari latar belakang bangsawan ibunya. Ia lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda. Tanggal lahirnya tidak jelas, dan bervariasi dari sumber ke sumber, tetapi kemungkinan antara tahun 1894 dan 1897.
Ayahnya adalah HM. Rasad Caniago, seorang buruh tani, dan Rangkayo Sinah Simabur, putri seorang tokoh terpandang di desa tersebut. Sebagai seorang anak, Tan Malaka tinggal bersama orang tuanya di Suliki, dan belajar ilmu agama dan dilatih dalam seni bela diri pencak silat. Pada tahun 1908, Tan Malaka bersekolah di Kweekschool, sekolah guru negeri, di Fort de Kock. Di Kweekschool, Tan Malaka belajar bahasa Belanda dan menjadi pemain sepak bola yang terampil. Menurut gurunya, G. H. Horensma, meskipun Malaka terkadang tidak patuh, dia adalah murid yang sangat baik. Ia lulus pada tahun 1913, dan kembali ke desanya. Kepulangannya akan ditandai dengan penganugerahan gelar adat yang tinggi sebagai datuk dan tawaran tunangan. Namun, dia hanya menerima gelar. Dia berhasil mendapatkan uang dari desa untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, dan dia berlayar ke Rotterdam pada tahun yang sama.
H. Agus Salim (lahir dengan nama Masyhudul Haq (berarti “pembela kebenaran”); 8 Oktober 1884 – 4 November 1954) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961. Pekerjaan yang ditekuni oleh Agus Salim adalah sebagai orator dan penulis. Agus Salim menguasai 4 bahasa asing di Eropa (bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan bahasa Prancis), 2 bahasa asing di Timur Tengah (bahasa Arab dan bahasa Turki) serta bahasa Jepang. Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia.
Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda. Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya. Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Wakil Redaktur. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Agus Salim menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Sura tkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Kota Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Abdoel Moeis, lahir 3 Juni 1883 di Solok, Sumatra Barat dan meninggal 17 Juni 1959 di Bandung. Berpendidikan ELS (sekolah dasar untuk bangsa-Eropa) di Bukittinggi dan pernah belajar di STOVIA selama tiga setengah tahun (1900-1902). Pada tahun 1917 ia pergi ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
Abdoel Moeis diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwijs (Direktur Pendidikan) pada Departemen van Onderwijsend Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia, menjadi k/erk. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dari departemen yang setelah dijalaninya selama lebih kurang duo setengah tahun (1903-1905) karena pengangkatannya itu tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belando lainnya. Dia juga merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959Dari karyanya yang hanya sedikit itu, Abdoel Moeis tercatat dalam sejarah sastra Indonesia dengan karya besarnya Salah Asuhan, yang dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu. Novel ini meraih Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1969.
Abdul Muis hanya menghasilkan tidak lebih dari 20 buah karya, baik karya asli, saduran, maupun ter jemahan. Karyanya, antara lain: 1. Hikayat Bachtiar (saduran cerita lama, 1950) 2. Hendak Berbakti (1951) 3. Kita dan Demokrasi (1951) 4. Robert Anak Surapati (1953) 5. Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi (1956) 6. Kurma (1958) 7. Pertemuan Jodoh (1961) 8. Surapati (1965) 9. Salah Asuhan (novel, 1967) 10. Daman Branda/ Sekolah GudangKarya Terjemahan: 1. Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan dari karya Mark Twain, Amerika), Jakarta: Balai Pustaka, 1928.2. Sebatang Kara (ter jemahan dari karya Hector Malot, Prancis) cetakan 2, Jakarta: Balai Pustaka, 1949.3. Cut Nyak Din: Riwayat Hidup Seorang Putri Aceh (Terjemahan dari karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta: Chailan Sjamsoe, t .t . 4. Don Kisot(terjemahan dari karya Cervantes, Spanyol, 1923) 5. Pangeran Kornel (terjemahan dari karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda) 6. Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: عبد الملك كريم أمر الله; 17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia. Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim Amrullah “Haji Rasul” dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu’thi.
Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kelak, Haji Rasul bercerai denagan Safiyah, menikah dengan Rafi’ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.
Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab. Kendati kegiatannya dari pagi sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Syahab, yang lahir di Bonjol pada 1 Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Syahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Syahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Syahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.[4] Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatra Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatra Barat.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said (14 September 1910 – 2 November 1965) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.Keluarga Rasuna Said adalah keluarga beragama Islam yang taat. Dia dibesarkan di rumah pamannya karena pekerjaan ayahnya yang membuat ayahnya sering tidak berada di rumah. Tidak seperti saudara-saudaranya, dia bersekolah di sekolah agama, bukan sekuler, dan kemudian pindah ke Padang Panjang, di mana dia bersekolah di Diniyah School, yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus. Pada tahun 1923, ia menjadi asisten guru di Sekolah Diniyah Putri yang baru didirikan, tetapi kembali ke kampung halamannya tiga tahun kemudian setelah sekolah itu hancur karena gempa. Dia kemudian belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait dengan aktivisme politik dan agama, dan menghadiri pidato yang diberikan oleh direktur sekolah tentang nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah.
Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah Putri Padang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatra Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal Atatürk. Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said. Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.
Prof. Dr. Hazairin (28 November 1906 – 11 Desember 1975) adalah seorang pakar hukum adat. Ia menjabat Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri (Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab. Hazairin menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada tahun 1936, dengan gelar doktor hukum adat. Setamat kuliah, Hazairin bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, dia diberikan gelar “Pangeran Alamsyah Harahap.”
Bagindo Aziz Chan atau juga ditulis dengan ejaan Bagindo Aziz chan (30 September 1910 – 19 Juli 1947) adalah seorang guru dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan Wali Kota Padang kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Jaar. Bagindo Aziz Chan lahir di Kampung Alang Laweh, Kota Padang pada 30 September 1910. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah. Lahir pada 30 September 1910, Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Ia sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) danmembuka praktik pengacara. Ia juga aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai anggota pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Agus Salim. Kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, ia mengabdi sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota. Ia sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (Permi) sampai organisasi itu dibubarkan pada tahun 1937.
Mayjen TNI (Purn) dr. Adnan Kapau Gani atau biasa disingkat A.K. Gani (16 September 1905 – 23 Desember 1968) adalah seorang dokter, politisi, dan tokoh militer Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Kabinet Amir Sjarifuddin II. A.K. Gani lahir di Palembayan, Sumatra Barat, pada tanggal 16 September 1905. Ayahnya adalah seorang guru. Ia menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923. Kemudian ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah dan mengambil sekolah kedokteran. Adnan meneruskan ke sekolah tinggi kedokteran STOVIA di Jakarta. Sayangnya, sekolah ini pada 1927 ditutup, sehingga Adnan harus melanjutkan sekolah ke AMS (setingkat SMA zaman Belanda) hingga lulus pada 1928. Setahun kemudian, Adnan masuk Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School/GHS) Jakarta, dan baru lulus pada 1940.
Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia. Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam.
Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia. Natsir kemudian terlibat pemberontakan PRRI, yang membuatnya sempat dipenjara. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang “tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah.”
Roehana Koeddoes (Ruhana Kuddus, atau Rohana Kudus dalam versi populer 20 Desember 1884 – 17 Agustus 1972) adalah wartawati pertama Indonesia. Pada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Hindia-Belanda, Ruhana berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana hidup pada zaman yang sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Ia dilahirkan sebagai Siti Ruhana pada tanggal 20 Desember 1884 di desa (nagari) Koto Gadang, Kabupaten Agam, di pedalaman Sumatra Barat, Hindia Belanda. Ayahnya Mohammad Rasjad Maharadja Soetan adalah kepala jaksa Karesidenan Jambi dan kemudian Medan. Ruhana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir, dan sepupu Agus Salim, baik intelektual dan politisi penting dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Dia juga bibi (mak tuo) penyair Indonesia Chairil Anwar. Ruhana cerdas meski tidak mengenyam pendidikan formal. Dia sering belajar dengan ayahnya, yang mengajarinya membaca dan studi bahasa. Ketika ayahnya ditugaskan di Alahan Panjang, Sumatera Barat, dia meminta tetangganya (termasuk istri jaksa lain) untuk mengajarinya membaca dan menulis dalam aksara Jawi dan Latin, dan keterampilan rumah tangga seperti membuat rendang. Setelah kematian ibunya pada tahun 1897, ia kembali ke Koto Gadang dan menjadi semakin tertarik untuk mengajar gadis-gadis di sana untuk belajar kerajinan tangan dan membaca Al-Qur’an, meskipun ia sendiri masih anak-anak.Roehana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan.
Pada zamannya Roehana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Roehana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan. Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Roehana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Roehana.
Usmar Ismail (20 Maret 1921 – 2 Januari 1971) adalah seorang sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia yang berdarah Minangkabau. Ia dianggap sebagai pelopor perfilman di Indonesia. Ia dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia dan juga Bapak Film Indonesia. Usmar meninggal dunia karena stroke. Usmar Ismail lahir sebagai anak dari Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah. Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.Usmar menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS-A Yogyakarta (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta).
Setamat dari AMS, ia berkuliah lalu memperoleh B.A. di bidang sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 1952.Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang. Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Ia bersama teman-temannya hadir di perayaan itu dengan menyewa perahu dan pakaian bajak laut. Sayang, acara yang direncanakan itu gagal karena mereka baru sampai saat matahari tenggelam dan mereka hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara. Akan tetapi, acara yang gagal itu dicatat Rosihan Anwar sebagai tanda bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara, yang mempunyai daya khayal untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan. Setelah duduk di bangku SMA di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Ia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.
- Ketuklah Pintu Itu, 2025, Kami Menunggu dan Siap Melanjutkan - 1 Januari 2025
- Tim Kenal Adat: Progress Awal dalam Mengimplementasikan Project Sociopreneurship Innovillage 2024 di Perkampungan Adat Sijunjung - 14 Desember 2024
- Cakap Pilem: Vedaa, 2024 | Kasta Dalit dan Potret Kehidupan Nyata Perempuan India – Arif P. Putra - 7 November 2024
Discussion about this post