
Waktuku tidak banyak, adakah kau menyadari kehadiranku? Sementara mataku terpejam dan seluruh tubuhku terbaring diam. Di luar, angin sibuk menampar-nampar, menderakkan daun jendela, mengirim ngeri ke sekujur ruangan. Suaranya bercampur sorak-sorai massa, pekik kesakitan, dan gertakan pria yang terdengar garang.
Kulihat wajahmu pias, tersamar oleh tumpahan cahaya lilin yang sebentar berkobar, sekejap mengerjap. Dapat pula kusaksikan, wajah Ibu, kakakmu, dan adikku yang telah lebih dulu dilingkupi wajah yang memucat pasi.
Kau masih berdiri mematung, sedang mereka duduk di pinggir ranjang mengelilingiku. Tak ada lagi harapan di wajah mereka, sebab memang, hanya itulah yang dapat mereka perbuat. Apa lagi? Harapan pun sudah tidak lagi mereka miliki di tanah yang barangkali sebentar lagi pora-poranda ini.
Tidak, jangan menangis dulu. Dengar, hal ini sudah biasa bagi kehidupan kami: Luka parah, tubuh tergeletak memerih sakit, sekarat serta kematian sudah sering kami dapati tiap hari. Ah, bukankah kau menyadarinya sejak kali pertama datang kemari? Pemandangan-pemandangan itu bukan hal baru lagi, kan?
Tapi, mengapa kau tetap menangis? Padahal kau barangkali pun tahu, air mata sudah tak diperlukan lagi di tanah kami ini. Tangisan bagian dari makanan sehari-hari kami. Air mata kami tak lebih dari air liur atau ingus yang kerap dipandang biasa dan lumrah. Jadi, mengapa tetap menangis? Lihatlah mereka, mengapa kau tak menyontoh cara mereka bersedih? Dengan tidak menitikkan air mata, tersedu sedan, atau terisak-isak. Ah, betapa karibnya kesedihan bila hanya diutarakan dalam keheningan. Aku rasa benar, seorang mengatakan, sebaik-baiknya kesedihan adalah yang disembunyikan.
“Kita harus segera pergi,” kudengar Ibu bersuara.
“Tidak, Ma. Apa kita harus meninggalkan kekasihku?”
“Ikhlaskan,” jawab kakakmu lirih. Adikku samar menganggukkan kepala.
“Tapi….,” suaramu lesap bersamaan deru angin yang menabrak jendela. Daun jendela itu terlontar, lilin di sudut ruangan sekonyong mati.
Ya, pergilah. Untuk apa masih di sini? Pergilah, sebelum rumah ini pora-poranda oleh terpaan angin. Barusan daun jendela yang terlontar, tidakkah mungkin setelah ini rumah dengan segala perabotnya yang akan direnggut dan diterbangkan jauh? Dan benar, sudah tidak lagi harapan bagiku, sebab aku tinggal menunggu waktu sepenuhnya memanggilku pulang. Tubuh ini, mata ini, sudah, sudah tidak ada harapan lagi untuk digerakkan. Sementara, sepertinya tak ada yang menyadari kehadiranku, yang melihat kalian dalam diam, dari balik kelopak mataku yang memejam.
“Tandu, Ma, Kak. Kita bisa membawa Mamas keluar desa dengan itu!” serumu penuh semangat ketika lilin di pojok ruangan dipantik kembali.
Ibu mendesah. Adikku diam. Kakakmu menggeleng.
“Tidak, terlalu berat, mustahil. Kita harus meninggalkannya,” kata kakakmu lirih.
“Masih sempat, Kak! Sebentar, aku cari dulu di belakang—“
“Tidak perlu!” potong kakakmu dengan berang.
“Kemasi barang-barang kalian,” perintah Ibu pelan.
Semua tergerak mengemasi pakaian, terkecuali kau. Kali ini kau melangkah ke dekat ranjang, duduk di pinggirnya, memandangku lekat. Ah, kau masih menangis ternyata.
Sungguh, aku ingin menghapus air yang menggenang di pipimu itu. Juga menenangkanmu dengan belaian di punggung dan kata-kata penenang. Tangisanmu membuat benakku tersayat. Aneh, aku masih saja merasakannya, sembilu yang menyayat-nyayat ini.
Sedang di luar, alam masih meraung keras. Menerbangkan dedaunan, dan membawa aroma anyir darah dari kejauhan sana. Lihat, mereka hampir usai mengemasi barang-barang mereka. Dan kau tak kunjung mengikuti mereka mengemasi barang. Mengapa? Apa kau masih mengharapkanku membuka mata barang sebentar demi sebuah kalimat perpisahan? Tidak, betapapun aku menginginkannya, aku tetap tak bisa melakukannya.
Begini, aku seperti kehilangan kendali atas tubuhku, ah, lebih tepatnya tubuh ini yang tak sanggup lagi kukendalikan. Aku hanya bisa melihat, memperhatikan sekitar.
Untuk itu, tak ada lagi yang perlu ditunggu. Waktu yang kau punya pun tak banyak, jadi pergilah. Kemasi barang-barangmu dan ikuti mereka. Ah, andaikan aku bersuara dan kau dapat mendengarnnya. Tentu kau menuruti kata-kataku ini. Selalu begitu, bukan? Ah, aku jadi teringat kelakarmu dulu:
“Suaramu pembangkit jiwa, sedangkan perintahmu adalah untuk menggerakkannya. Tak salah meraka memilihmu sebagai pemimpin kelompok.”
Terkadang, aku pun merasakannya, betapa kata-kataku berpengaruh dalam membangkitkan semangat pemuda di desa ini untuk melawan. Bahkan, cukup membuat kewalahan orang-orang dari kota itu ketika mendebatku.
“Dan aku jatuh cinta oleh suara dan kata-katamu,” katamu suatu ketika, selepas melihatku berorasi di hadapan massa yang menghadang pasukan berseragam dan beberapa alat berat di muka desa.
“Bila begitu, aku boleh dong, jatuh cinta oleh keberanian seorang gadis yang turun di jalanan dan ikut membela kami.”
Ah, masa lalu. Datangnya memang sering di waktu yang tak tepat, bahkan di situasi genting seperti sekarang ini pun, ia masih sempat datang. Sesuatu yang ingin kukenang bersamamu, justru hadir di waktu yang tak memungkinkan untuk kita membahasnya bersama. Aku mengenangnya sendirian, pertemuan kita, masa-masa bersama kita yang justru lebih kerap diisi diskusi dan rencana-rencana, pun di tempat yang jauh dari ketenangan. Adakah sesal di hatimu berpacaran dengan pria yang sering diburu aparat ini?
“Kak, Kak, barisan depan hampir jebol. Mereka tambah beringas,” kata seorang pria muda yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Oh, dia salah satu dari kami. Satu dari sekian pemuda yang berhasil kami yakinkan untuk melawan.
“Tahan sebentar lagi. Aku harus menemani mereka pergi dari sini. Setelah itu, aku akan kembali,” jawab kakakmu.
Pemuda itu mengangguk, berlalu setelah menutup pintu.
“Sudah, tinggalkan. Nyawa kalian lebih penting! Mengertilah, waktu kita tak banyak. Warga—perempuan, anak-anak, dan warga yang berusia renta—lain sudah mengungsi” lanjutnya.
“Dia juga penting!” balasmu serak.
“Begini, Nak,” Ibu mendekatimu, “Ibu paham bagaimana perasaan hatimu sekarang ini. Memang berat, sakit, dan pasti amat tak rela.
“Dia anak Ibu. Ibu pun merasakan apa yang ada di hatimu. Namun, Ibu mencoba menahannya meski tahu itu amat berat. Sungguh, situasi seperti sekarang ini, mengingatkan akan kepergian ayahnya dulu. Kuatkan hatimu, Sayang. Pergi dari sini adalah satu-satunya tindakan terbaik yang dapat kita perbuat saat ini.”
Kau terdiam. Tak menyangkal, pun tak mengangguk setuju.
Mengapa masih ragu? Abaikah kau dengan suara-suara di luar sana yang makin terdengar garang? Ya, kakakmu benar. Kau harus pergi, demi keselamatanmu. Demi aku. Sebab aku tak ingin kau bernasib sepertiku: terbaring diam, dengan detak jantung yang kian melemah. Sebentar lagi aku pergi. Aku kira, kematian sedang dalam perjalanan menuju kemari. Betapa berartinya kematian yang mereka alami di luar sana, napas terakhir mereka terembus di antara tubuh-tubuh yang tengah berjuang. Namun, aku tak ingin itu terjadi padamu. Peluru senapan terlalu kasar untuk menembus kulitmu yang halus itu.
Dengar, yang kuinginkan adalah, kau kembali ke kehidupanmu semula di tengah kota yang jauh dari kerusuhan seperti di desa kami ini. Hidup baik sebagai mahasiswi hukum dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Ah, tentu orangtuamu akan senang dengan keberhasilan anaknya. Setidaknya, itu mengobati kekecewaan mereka atas status kakakmu yang begitu saja meninggalkan kuliahnya dan serta-merta datang untuk membantu perjuangan kami.
“Sudah. Kita mesti bergegas,” ucap Ibu sambil menggamit lenganmu.
Akhirnya, kau menurut juga. Meski langkahmu berat dan pandanganmu tak juga lepas memandangku, tapi kau tetap mengikuti mereka.
Ah, inilah saat untukku pergi. Kulihat kematian berdiri di depan pintu. Berbaju putih dan berwajah sinar cerah. Dia memandang ke arahku. Aku tersenyum. Tapi sedetik kemudian, sinar cerah itu lenyap, dan gelap tumpah bersama sebuah granat yang jatuh di tengah-tengah kamar. Sempat kudengar suara pekik keras dan barang-barang hancur. Lalu gelap total. Dan satu kesadaran sempat menyeruak: Ternyata tempat yang menjadi tujuan perjalanan kita malam ini sama. Jadi, tunggu aku, sampai jumpa di surga, Sayang.
Tentang Penulis, Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. jumpai dia di: IG; @karaage_wahid
Alamat : Sindang Rejo, RT/RW. 001/001, Desa Sinar Ogan, Kec. Tanjung Bintang, Kab. Lampung Selatan.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post