Bagaimana ia tak sanggup lagi mengayuh sampan itu ke tepian, setelah diterjang ombak berulangkali. Ia lihat pulau-pulau mungil dari kejauhan, seperti dada remaja kemarin sore yang hilang-timbul. Dalam doanya yang gamang, ombak tak tanggung mengalun, harapannya untuk dibawa hanya ke tepian, kalau pun mati, ia harap jangan hilang di tengah laut.
Sudah hampir setahun, nelayan-nelayan tidak melaut akibat cuaca buruk yang tak dapat ditebak. Biasanya, semasa hidup seorang tetua kampung itu, ia merupakan tukang tafsir hari melaut nelayan, baik memukat ataupun melaut. Semenjak ia meninggal, para nelayan mencoba menerapkan tafsiran beliau. Namun beberapa kali pula bernasib naas: tangkapan hamsiong, kapal karang, dan diterpa badai besar. Ilmu tafsiran yang dimiliki tetua kampung itu memang tidak pernah diturunkan, seharusnya ia membuka semacam kelas untuk belajar tafsiran cuaca melaut dan sifat-sifat laut. Tapi sayang, generasi terakhir itu tidak pernah melakukan yang seharusnya ia lakukan. Padahal sejak dulu kelas seperti itu selalu ada, buktinya dia bisa mendapatkan ilmu tafsiran tersebut.
Naik adalah satu-satunya anak lelaki dari tetua kampung itu, ia mempunyai empat orang anak yang tiga lagi adalah perempuan. Kabar yang beredar saat ini, Naik adalah orang tunggal yang akan menerima ilmu tafsir ayahnya, meski Naik bukanlah pria yang bekerja sebagai pelaut. Jangankan melaut, naik sampan atau kapal saja dia mabuk. Berbanding terbalik dengan sang ayah yang sudah berlumuran dengan pasir pantai dan asinnya air laut. Beda pula dengan adik Naik yang perempuan, adik pertamanya itu memiliki beberapa sampan untuk nelayan memancing ke pulau ataupun ke tengah laut. Biasanya sampan itu digunakan kalau tangkapan nelayan melemah, maka sampan itu akan digunakan nelayan untuk pergi memancing ke pulau atau hanya ke tengah saja.
Di hari biasa, sampan-sampan milik adik yang dipanggil Bungsu itu digunakan untuk membawa pukat ke tengah laut untuk ditebar, kemudian di tarik para pemukat dari tepi pantai. Tugas ini biasanya dilakukan oleh si bungsu, sebelum diberi ayahnya sampan-sampan itu, dialah yang membawa pukat ke tengah laut dengan cara berenang menjadikan jaring pulat tersebut seperti pelampung. Jaring pukat dililitkan pada kedua pundaknya, lalu ia membawanya berenang ke tengah lautan sambil menebarnya melintang. Meski dia perempuan, tapi nampak jelas keberanian dan ketangguhan dia bukanlah seperti seorang wanita.
“Si Bungsu itu punya jiwa ayahnya, jangan samakan dengan Naik yang hanya tau memilih ikan tukang pukat saja.” Sebut seorang penarik pukat, saat Bungsu sampai di tepian setelah mengantarkan jaring pukat ke tengah.
“Tidak usah berlebihan, Uda. Kami punya tugas masing-masing, Naik mendapat tugas di dapur bersama ibu, sebab dia lebih kuat mengangkat kayu bakar.” Sebut Bungsu kala itu.
“Wah… sejak kapan mengangkat kayu bakar lebih bahaya dari berenang ke laut lepas dengan tumpukan jaring pukat?”
Bungsu tidak menggubris lagi perkataan itu, sudah biasa baginya menerima pertanyaan-pertanyaan serupa. Ia tau betul siapa Naik dan apa sumbangsi ia terhadap keluarga, tapi namanya masyarakat, bebas berkomentar apapun selagi masih dalam batasan wajar. Bungsu setelah mengantar jaring ke tengah laut biasanya tidak tinggal di kedai para pemukat, ia akan langsung pulang dan kalau-kalau nasib baik pukat mendapat banyak tangkapan, maka Naik-lah yang akan mengambil jatah Bungsu. Tentu mudah saja buat mereka mengetahuinya, karena rumah mereka dari tepian pantai tidak jauh. Cukup berlari agak duapuluh langkah saja, sudah mencapai bibir pantai.
Nasib sial itulah yang dialami Naik berulangkali, tiap mengambil ikan di jaring pukat, tiap itu pula cemooh dari orang-orang didengar. “Entah siapa yang padusi, entah siapa yang kalaki.” Naik sudah khatam betul dengan cemooh itu, sampai ia tidak menghiraukan lagi sorakkan semacam itu dari orang-orang. Ditambah lagi Naik tidak pernah barangsekalipun ikut menarik pukat, dia adalah spesialis penjemputan ikan yang siap ditarik pemukat.
Tapi bagaimana lagi, ayah Naik yang sangat berpengaruh dalam pekerjaan nelayan membuat ia tidak pernah sekalipun menerima perkataan yang menjurus keluar batas; semisalnya soal pernikahan. Naik sudah berumur empatpuluh tahun, tapi belum juga menikah, sedangkan ketiga adik perempuannya sudah bersuami. Walau Bungsu adalah anak kedua, ia merupakan anak terakhir yang menikah di antara dua adiknya. Bungsu menghargai sekali kakaknya itu, sebab dalam kehidupan di kampung, mendahului kakak menikah agak sedikit janggal. Itulah alasan Bungsu menunda pernikahannya, sampai kedua adiknya mendahului ia. Dua adik perempuan Bungsu memang tidak tinggal di rumah, mereka memilih merantau dengan alasan merubah nasib. Padahal di kampung, keluarga mereka begitu disegani, dan masih banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan. Buktinya suami Bungsu-lah yang mengurus usaha kapal pukat sang ayah.
Dulu sudah pernah dijanjikan oleh sang ayah akan membagi kapal-kapal tersebut kepada anak-anaknya, tapi bagaimana lagi, mereka tetap bersikeras ingin merantau. Ingin mengubah nasib dari nelayan ke saudagar. Terpaksalah Bungsu yang mengambil alih pekerjaan itu, toh, Naik tidak bisa diharapkan soal laut. Jangankan menarik pukat, membentang jaring di tepian saja ia tidak sanggup.
***
Di kampung, ada beberapa cuaca yang menjadi penanda para pelaut, yaitu hari kalam dan hari tarang. Hari kalam merupakan hari dimana pelaut kapal pukat, payang, tondua, bagan akan pergi melaut ke tengah laut dan menepi di pulau-pulau. Daerah yang mereka tuju bisa jauh, seperti; Riau, Sumatra Utara, dan Jawa. Sedangkan hari tarang adalah hari dimana mereka tidak melaut, alias hari terang, kepercayaan masyarakat bahwa hari terang akan membuat ikan lebih memilih sembunyi, ketimbang bermain. Padahal meski hari kalampun, kapal mereka tetap memakai banyak lampu dibagian cadik, dengan alasan menarik perhatian ikan. Tapi setelah diberi tafsiran oleh ayah Naik, masyarakat bisa paham soal kedua cuaca tersebut. Kalau hari tarang, bulan muncul begitu terang dan besar. Sebab itu disebut hari tarang, karena semua lautan mendapat pencahayaan rata. Sedangkan memakai lampu di bagian cadik, hanya memberikan pencahayaan di sekitar kapal, tentu akan menarik perhatian ikan. Makanya dipilih hari kalam untuk pergi melaut, karena di lautan hanya ada lampu kapal pelaut.
Ayah Naik yang mulai sakit-sakitan sejak ketiga anak perempuannya menikah sudah agak jarang muncul ke pantai atau lepau. Kalau pelaut hendak melaut, biasanya salahsatu dari mereka akan datang ke rumah Naik untuk menanyakan apakah hari sudah tarang atau kalam. Kalau sudah diberi petuah olehnya, maka semua pelaut akan bersia-siap untuk melaut keesokan harinya. Tapi kalau tidak menurut ia, maka semua pelaut harus mencari kerja serabutan.
Tahun itu memang agak meleset tafsiran ayah Naik, seminggu setelah pertemuan dengan pelaut saat menanyakan hari, rupaanya sebuah kapal pukat dari Sibolga mendarat di tepian pantai. Mereka membawa ikan begitu banyak, karena muatan sudah melewati kapasitas, mereka harus menepi ke tempat terdekat. Ditambah lagi mereka mengabarkan bahwa cuaca laut sedang bagus, ikan melimpah, sayang kapasitas kapal mereka tidak memadai. Lebih baik kehilangan ikan dari pada kehilangan nyawa, begitu kata seorang awak kapal.
Sesudah kejadian itu, banyak pelaut mempertanyakan hal tersebut di lepau, tapi tidak ada yang berani menemui ayah Naik. Dari sana kabar sumbang beredar soal orang tua itu, sebagian masyarakat mengatakan bahwa ilmu tafsir yang dimiliki ayah Naik sudah pudar, tidak semanjur dulu lagi. Tapi sebagian lainnya masih percaya, bisa saja mereka yang dari Sibolga itu hanya mengarang cerita, jangan-jangan mereka dapat ikan tersebut hasil rampasan, jangan-jangan mereka adalah bajak laut. Buktinya kalau memang mereka asli pemukat dari Sibolga, mengapa tidak menyewa boat untuk menjualkan ikannya ke dermaga, toh, tiap hari boat-boat selalu sedia dipangkalan. Kita tidak boleh mengambil pemahaman begitu, kita sudah lama kenal dengan beliau dibanding orang-orang Sibolga itu, terang seorang pemilik pukat.
Benar saja, tidak ada yang berani menyampaikan itu kepada ayah Naik. Siapa pula orangnya yang berani mempertanyakan ilmu tafsir orang tua itu sudah pudar? Walau demikian, beberapa bulan kemudian sang ayah menitip pesan kepada Bungsu untuk menolak warga menanyai soal cuaca melaut, hal tersebut sempat menjadi pertanyaan Bungsu, sebab ia tau betul ayahnya adalah satu-satunya harapan warga untuk menafsirkan cuaca. Tapi orang tua itu tetap bersikeras untuk tidak memperbolehkan siapapun bertamu ke rumah, terlebih membahas soal tafsiran cuaca.
“Apa ayah sudah tidak percaya diri lagi? Atau memang benar-benar ilmu ayah sudah pudar?” tanya Bungsu waktu itu.
“Tidak!”
“Kamu tidak perlu tau banyak.” Sambungnya terbata.
***
Terhitung empat bulan sejak wejangan itu dititipkan pada Bungsu, warga pun tidak berani datang ke rumah setelah Bungsu mengabarkan wejangan tersebut. Saat seperti itu, Naik memang lebih memilih menyendiri dan membantu ibunya soal dapur. Ia tidak terlalu akrab dengan sang ayah, sebab suatu waktu pernah Naik dimarahi lantaran tak tahan membawa jaring jala untuk dibawa ke sebuah muara tempat biasa para pelaut mencari ikan kalau hari tarang.
Hari-hari itu ternyata datang sebelum para pelaut berangkat, ayah Naik tidak memberikan wejangan kepada para pelaut bagaimana selanjutnya soal tafsiran hari Kalam dan hari Tarang. Masyarakat pun membuat opini bahwa ilmu itu pasti sudah ia tinggalkan kepada salahsatu anaknya; mungkin Bungsu atau Naik.
Orang tua itu akhirnya berangkat, melakukan perjalanan panjang yang sebenarnya. Tugas fana di dunia yang diberi telah berakhir dan berlanjut kepada alam lain, mungkin saja tidak akan pernah bertemu dengan keluarga atau pelaut manapun. Ia telah menghembuskan nafas terakhirnya tepat tengah malam, saat bulan purnama tegak tali bulat bagai bola lampu neon. Cahaya itu membias ke dalam rumah melewati celah-celah kecil, melalui jendela-jendela yang terbuka, pintu-pintu masuk dipenuhi sesak aroma anyir ikan dari orang-orang menjenguk. Tapi siapa yang benar-benar melepaskan segala kerisauan itu, tanpa mengetahui kelanjutannya?
Sejak kepergian orang tua itu, keramaian seakan ikut pergi, membawa segala keriuahan orang-orang pantai. Hanya ada kegiatan tarik pukat setiap harinya, itupun sering kosong dan hanya membawa segerombolan ubur-ubur. Entah apa sebenarnya wejangan yang ditinggalkan kepada Bungsu, sampai setahun penuh sejak kepergiannya tak menimbulkan berita baik. Orang-orang mulai risau, tidak mungkin mereka harus memancing ikan tiap hari, tidak mungkin untuk tangkapan makan sehari-hari saja. Mereka butuh uang lebih untuk keperluan lain.
Itulah masa dimana kegilaan tersebut dimulai oleh Naik. Entah apa yang memengaruhi otaknya, sampai suatu hari ia bawa sampan menuju lautan. Di tengah malam yang hening, ia gesa langkahnya menuju tepian pantai, ia giring sampan itu menuju ombak lepas dan berlayar dengan sebilah dayung. Berangkatlah ia membuktikan, bahwa hari kalam dan hari tarang hanyalah tafsiran belaka, tidak benar-benar mutlak hasil tafsiran ayahnya. Karena itu adalah penyebab hubungan mereka berdua renggang, Naik dulu pernah bersikeras ingin merantau, membuka sebuah pelabuhan untuk beberapa kapal milik ayahnya. Agar suatu waktu ia memiliki istri dan tidak semata-mata mengharapkan harta ayahnya. Pada akhirnya semua itu dijalani Naik dengan gamang, dengan kecemasan yang dikumpulkan menjadi sebuah pelampiasan semata. Ia tempuh laut lepas tanpa tau hendak ke mana, ia doakan kematian yang tidak sungguh-sungguh.
Sejak kepergian orang tua itu, keramaian seakan ikut pergi, membawa segala keriuahan orang-orang pantai.
Penulis, Arif P. Putra Lahir di Pesisir Selatan sekarang tinggal di Padang. Kontributor di Marewai
- Pelesiran: Mitologi Dewa Babi dan Keberhasilan Masyarakat Tradisional | Arif Purnama Putra - 20 September 2023
- Pelesiran: Mitologi Anjing Dewa dan Masa Silam yang Nyaris Hilang di Gunung Pangilun | Arif Purnama Putra - 1 September 2023
- SELAMI OBSESI DAN KEGELISAHAN: CROUD RILIS DEMO MMXXIII Berisi “HUN’S ADDICTION // SOMEHOW (EVENTUALLY)” - 1 Mei 2023
Discussion about this post