Lingkungan sebagai ruang kreativitas merupakan sebuah tafsir yang dimaknai oleh para seniman. Di lain hal, masyarakat masih menyimpan stigma negatif terhadap para seniman, seperti hidup yang serba tidak terurus dan tidak berkejelasan, tidak memiliki masa depan, dan berkreasi dipandang sebagai kriminalitas. Perspektif-perspektif yang mengkerdilkan diri seperti itu yang masih banyak ditemukan sampai saat ini–primitif dan miskin akan toleransi. Padahal jika ditilik lebih dalam untuk menciptakan sebuah karya, membutuhkan waktu, proses, dan riset yang sangat dalam, mengandalkan ruang-ruang pikiran yang notabenenya orang awam tak akan mampu melihat lebih jauh semacam itu.
Kebanyakan hanya dua hal yang diketahui masyarakat, pertama berpikir dianggap menganggur, menciptakan sebuah karya yang menjadi fenomenal dianggap kerabat. Para seniman dalam menciptakan sebuah karya, mereka mengandalkan alam semesta yang diimplementasikan menurut sudut pandang masing-masing mereka, apalagi terkait dengan lingkungan, tak ada barang yang tak berguna bagi seniman, sekalian itu berupa sampah atau barang bekas. Mereka hanya menunggu waktu eksekusi yang tepat ketika telah matang dalam pikiran–setelah menabrak-nabrakkan sebuah objek ke dalam ruang imajinasi. Mengingat kian memburuknya lingkungan tercemar oleh sampah-sampah plastik, dan masih minimnya pengelolaan dan perhatian dari pemerintah, lantas kerja kreatif seorang seniman akankah diapresiasi dalam bentuk penghargaan heronya peduli lingkungan, baik dari mata masyarakat maupun mata pemerintah yang tak bermata kaca?
Ditilik perihal sampah, menurut data Jambeck (2015), Indonesia berada di peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik ke laut yang mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262,9 juta ton. Sementara itu di urutan ketiga adalah Filipina yang menghasilkan sampah plastik ke laut mencapai 83,4 juta ton, diikuti Vietnam yang mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka yang mencapai 14,6 juta ton per tahun. Setiap tahun produksi plastik menghasilkan sekitar delapan persen hasil produksi minyak dunia atau sekitar 12 juta barel minyak atau setara 14 juta pohon. Lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya, dan 50 persen dari kantong plastik tersebut dipakai hanya sekali lalu langsung dibuang.
Oleh sebab itu, pentingnya pengelolaan, perhatian, pengolahan, dan pemanfaatan terkait sampah plastik tersebut. Salah satu contohnya seperti yang telah direalisasikan oleh seniman rupa Made Bayak yang telah menciptakan ruang kreativitas tersendiri dalam pemanfaatan sampah.
Profil Singkat Made Bayak
Made Bayak mendapatkan darah seni dari keluarganya, sang kakek buyutnya diketahui adalah seorang pembaca dan penulis lontar (naskah kuno Bali) dan juga seniman Rajah (gambar mistis dalam budaya Bali).
Made Bayak merupakan seniman yang lahir di Tampaksiring, Gianyar, Bali pada tahun 1980. Ia telah memiliki bakat seni sejak usia muda sehingga memutuskan untuk menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada tahun 1999 hingga tahun 2005. Ia menikah dengan seorang seniman bernama Kartika Dewi dan memiliki seorang anak bernama Damar Langit.
— Made Bayak
Made Bayak kemudian dikenal saat ini sebagai seniman rupa yang memanfaatkan sampah plastik sebagai bahan mentah karyanya. Salah satu project seninya yaitu Plasticology. Ia juga kerap memberikan workshop dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi sampah plastik. Karya seni Made Bayak tak hanya dikenal di dalam negeri bahkan juga hingga ke luar negeri. Karya hasil olahan dari sampah plastik tersebut dipamerkan di Amsterdam, Centre Cultural Grasse Perancis, dan negeri-negara Eropa lainnya.
Made Bayak dan Sampah (Plastik dan Sandal)
Made Bayak dan sampah plastik merupakan hubungan yang sangat erat–berkenalan dari tahun 2010 hingga sekarang. Perkenalan tersebut membawa eksperimen ke dalam karyanya, yaitu menempatkan sampah plastik sebagai bahan utama dalam berkarya. Bayak menonjolkan sikap peduli lingkungan ke dalam karya-karyanya tersebut.
“Itu saya eksperimen mediumnya itu awal 2010, dan akhir 2010 itu sudah jadi karya dan awal 2011 dipublish dengan pameran.” jelas Bayak.
Sebelum plastik menjadi bahan utama Made Bayak dalam berkarya, ia melukis di kanvas dengan tema lingkungan yang juga menghadirkan plastik dalam lukisannya, namun pikiran kritis seorang seniman, ia memandang karyanya yang semacam itu belum cukup kuat untuk menyampaikan pesan, sehingga ia membuat eksperimen lukisan yang berbahan sampah plastik.
“Melihat orang buka jendela mobil, buang sampah, hampir kena, pengalaman-pengalaman itu mungkin berkumpul ya, akhirnya memberi saya apa nih bikin dia lebih kuat, medianya juga bisa menjadi pesan langsung, ya pakai sampahnya langsung.” tuturnya.
Adapun teknik yang ditemukan Bayak dalam eksperimen tersebut yaitu, membentuk plastik-plastik menjadi kolase dengan komposisi warna yang kemudian diisi oleh gambar siluet tokoh-tokoh atau simbol-simbol tertentu. Keahliannya dalam mengkomposisikan warna membuat kehadiran antara warna-warna plastik dengan gambar terlihat menyatu.
“Kalau belajar seni kan dapat mengkomposisikan warna dan bidang, kemudian karena warna dan bidangnya itu sudah warnanya asli dari plastik, kemudian figur apa yang kita buat, tekniknya membuat figur itu seperti apa biar tidak kalah dengan warna.” jelasnya.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post