Bila tuan pernah berkunjung ke Pantai Carocok dan menyempatkan diri untuk berkeliling sekitaran Kota Painan, mudah-mudahan ada semacam magnet yang menimbulkan kerinduan lagi saat ini. Kota yang mungil, apalagi dipandang dari Puncak Langkisau. Nun jauh di sana telihat bukit yang menghijau, nun di bawah sana tapak lautan yang membiru. Sesekali bila cuaca cerah tampak sekelompok orang mendapatkan kesenangannya lewat olahraga paralayang. Ya, sungguh indah dan sangat romantis, apalagi bersama orang yang disayang dan telah direstui yang maha penyayang.
Mungkin mengingatkan pada romantis kisah Syamsul Bahri saat bermain-main ke Gunung Padang dengan Nurbaya beserta kawan-kawan. Padang Panjang di lingkung bukit, bukit di lingkung kayu jati, kasih sayang bukan sedikit, dari mata turun ke hati. Seakan membuat hati geli saat mengingat pantun yang menghujam hati Nurbaya tersebut.
Atau ”tahun mana musim pabila dan jalan apa yang akan membawa saya kembali ke negeri itu” begitu ungkapan Halimah ke Udo Midun saat mengutarakan kecintaan ke Ranah Minang. Tapi sesungguhnya dibalik itu sebenarnya curahan hati untuk mendekat ke hati Midun. Itu Cuma perumpamaan tangan penulis yang hampa, handai-tolan pasti tahu kata tentu tidak akan bisa sempurna mengungkapkan rasa.
Mengapik daun kunik kah terhadap keindahan tersebut? Tentu tidak, kalau tidak percaya berkunjunglah tuan dan puan ke daerah yang dibilang orang tua-tua kami dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluah ini. Sekarang telah ditambah dengan ungkapan Negeri Sejuta Pesona. Sungguhpun demikian, demi kemaslahatan bersama protokol kesehatan harap kita patuhi selama pandemi ini.
Tapi ada hal yang berubah sekarang ini, bagi tuan-tuan yang berkunjung terakhir di tahun 2019 atau 2020 mungkin saat itu akan menyaksikan ada semacam tugu bertuliskan I LOVE PAINAN, kata lovenya dengan lambang hati. Sekarang kata-kata tersebut telah di robohkan dan diganti dengan kata #PESSELRANCAK. Penggantian kata tersebut di “ilhami” oleh pendapat anak SMP yang tengah duduk di kelas 2 di Painan (menurut banyak berita). Hebat, tentu hebat dong, baru kelas VIII telah bisa memberi masukan ke pemerintah kabupaten bagaimana nanti kalau sudah jadi mahasiswi mudah-mudahan bisa memberi masukan yang baik untuk Presiden.
Kalau boleh menerka-nerka kenapa dipandang kurang baik secara budaya kata love tersebut, penulis pribadi bisa merasakan. Dahulu ketika tahun dua ribu, saat diri duduk di bangku setingkat SMP juga, saat diri merasa mulai ada ketertarikan ke lawan jenis. Kata-kata “LOPE” tersebutlah yang menyelip di surat yang ditulis di atas kertas berbunga. Meskipun saat itu telah belajar bahasa Inggris bahwa kata I Love tersebut bermakna ungkapan rasa cinta kita pada seseorang, bisa ke orang tua, atau yang lain.
Namun di kepala telah tersetting bahwa kata love itu tepatnya digunakan untuk ke sukaan ke lawan jenis. Apalagi tahun tahun-tahun tersebut kata-kata oh my dearling I love you cukup familiar, yang dibawa oleh Flim India. Bahkan sampai sekarang tidak sekalipun mulut penulis mengucapkan i loveAmak atau i loveAyah. Sebab kata-kata tersebut begitu berat atau tidak cocok dengan suasana hati.
Sementara kata-kata sayang atau cinta itu lahir saja seperti air yang mengalir, bagi penulis yang sekarang sudah mempunyai anak, rasanya cukup senang memanggil anak dengan panggilan piak banun saat bekelakar, dan buah hatipun suka dengan itu. Sebab dalam lubuk hati telah tersimpan kata piak banun itu dengan intonasi yang ditentukan maknanya begitu cantik. Ini hanya sekelumit perasaan batin menanggapi ide merubah kata I Love Painan tersebut muncul dari seorang siswi SMP. Tapi yang sangat tahu maksudnya tentu diri yang bersangkutan, sebab bagi sipembaca atau pendengar tentu hanya bisa menerka-nerka.
Mungkin ada sebagian dunsanak yang merasa tidak enak dengan dirobohkannya karya pemimpin terdahulu (mengapa harus merobohkan, mengapa tidak membuat yang baru?) Tentu akan mengeluarkan anggaran pula, seharusnya bisa sehemat mungkin, ditambah dengan pemimpi baru (agak buru-buru nampaknya). Perobohan kata I love Painan menjadi Pessel Rancak sudah terlaksana adalah bagian proses pengembalian kekayaan khazanah bahasa daerah. Oleh karena itu sedikit demi sedikit dicicil mengarahkan stir ke koridor kearifan lokal. Bajalan tantu ndak sakali sampai pangana tantu ndak sakali tumbuah. Ada juga pemimpin terdahulu yang merobohkan, tapi kalau untuk kebaikan untuk apa dipermasalahkan.
Tulisan I Love Painan yang telah dirobohkan terletak di jalur strategis Kota Painan. warga yang melewati Painan akan disugesti oleh kata tersebut. Jadi ada semacam penyajianan linguistik yang dipertontonkan ke pemirsa, baik warga lokal maupun warga luar yang berlibur atau sekedar lewat. Alangkah lebih mantapnya bila hal tersebut dijadikan semacam public relation tentang bahasa asli daerah. Namun dengan kerendahan hati penulis sadar bahwa hal tersebut dari segi yang lain akan diperdebatkan. Tentu perdebatan itu demi mencapai kebaikan, namun yang harus disadari mudah-mudahan keputusan yang diambil adalah bagian dari langkah mencapai kebaikan tersebut.
Sekarang masanya untuk bersama-sama memberi warna yang indah buat negeri. Kritikan yang membangun adalah bentuk memberikan separuh hati buat kebaikan di muka bumi, berlapang dada dalam menerima perbedaan adalah bentuk kesempurnaan diri. Mudah-mudahan pemimpin yang telah bersama-sama dipilih masyarakat memandang aspirasi warga sebagai bahan untuk mengelola negeri sebaik mungkin. Siang menjadi buah fikiran, malam menjadi buah rasian, itulah yang nanti akan diwujudkan untuk kemaslahatan dan mencari titik sama dari beragam perbedaan. Fastabiqul khairat.
Irwandi, Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Adab, IAIN Imam Bonjol Padang th. 2012 (sekarang berganti nama Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol Padang). Tinggal di IV Jurai, Pesisir Selatan.
- Robohnya “Monumen Lope” Painan - 3 Mei 2021
Discussion about this post