Judul Buku: Keluarga Bahagia
Penulis: Leo Tolstoy
Penerjemah: Anton Kurnia
Penerbit: CV. Pustaka Marahitam
Tahun Terbit: 2022
Jumlah Halaman: iv+68 halaman
Angka tidak selamanya hanya sekadar angka. Usia seseorang terkadang bukan semata bilangan nomor. Angka usia sering kali menjadi tolak ukur yang akurat, meski tidak selalu, untuk menilai seberapa matang jiwa manusia. Telur yang baru direbus sepuluh menit hasilnya tentu akan berbeda dengan telur yang sudah direbus selama satu jam. Begitu juga dengan mental manusia, seseorang yang telah menjalani hidup selama 36 tahun misalnya, tentu akan mempunyai pembawaan yang berbeda dengan seseorang yang baru mengarungi hidup selama 17 tahun. Usia tidak pernah berbohong, kata orang-orang. Dan benar, kisah pelik antara Masha dan Sergei Mikhailich telah membuktikan betapa usia sangat berpengaruh terhadap tabiat seseorang di dalam berpikir, berperilaku, dan mengaktualisasikan cinta.
Mukadimah dari kisah ini adalah tatkala Masha dan keluarganya mengalami musim dingin yang paling suram dan menyedihkan di rumah tua mereka di Prokovskoye. Itu waktu karena mereka telah menyandang gelar keluarga yatim piatu. Setelah lama ditinggal sang ayah, pada musim gugur yang lalu sang ibu juga meninggal. Murung dan duka. Suasana berkabung masih belum tuntas menyelimuti keluarga kecil ini. Aura kesedihan masih sangat terpancar dari dalam diri mereka, Masha selaku pembarap, adik kecil bernama Sonya, dan Katya, salah seorang kerabat yang sudah mereka anggap sebagai keluarga. Mereka semua masih sangat terpukul dan seolah menjadi orang buta yang kehilangan tongkatnya. Mereka bingung dan gelap dalam memandang hari-hari yang mereka lalui.
Sampai suatu ketika hadirlah seorang lelaki berusia kepala tiga bernama Sergei Mikhailich. Dia adalah salah seorang tetangga dekat yang juga sekaligus sahabat karib mendiang ayah mereka semasa hidup. Di tengah suasana yang sangat memilukan, Sergei datang menyibak tabir kepedihan yang selama ini menyelubungi seisi rumah ini. Dengan pembawaannya yang dewasa, Sergei sedikit banyak mampu menghidupkan kembali kehidupan keluarga Masha yang telah mati.
“Seluruh hidup ini milikmu dan kau sendiri yang menentukan masa depanmu.” Sergei kepada Masha. (hal. 7)
Selain itu, Sergei juga seolah mengantarkan khayalan mereka kepada kenangan indah tentang sosok seorang ayah. Sergei seakan-akan membawa obat bagi Masha dan adiknya atas kerinduan yang mendalam kepada ayahnya. Sergei layaknya pelita di tengah kegelapan. Layaknya salju yang turun di tengah gurun. Layaknya bait-bait doa yang memecah keheningan malam. Layaknya tongkat yang hilang telah kembali kepada tangan si buta. Sergei telah, tetap, dan akan selalu menjadi sosok yang disukai oleh keluarga mereka.
“Kami akan menjadi bayi yang tersesat di hutan rimba bila kau tak bersama kami”. Katya kepada Sergei (hal. 9)
Tidaklah heran kalau dahulu, mendiang ibunya Masha pernah mengatakan bahwa ia berharap Sergei akan menjadi suaminya Masha. Padahal usia mereka terpaut jauh, sangat. Tampak mustahil memang kalau Masha dan Sergei dapat menyatukan, jangankan cinta, selera humornya saja barangkali susah. Namun di balik rahasia masih ada rahasia. Takdir tidak ubahnya seperti kotak pandora yang kita tidak pernah tahu bagaimana ujungnya. Pada akhirnya, kisah Masha dan Sergei ternyata tidak hanya sebatas sampai pada hubungan antara seorang gadis dengan mantan pamongnya. Kisah antara Masha dan Sergei ternyata bermuara pada kisah selayaknya seorang gadis dengan lelaki impiannya, atau sebaliknya, seorang lelaki dengan gadis impiannya. Mereka seolah menjelma menjadi sejoli yang saling menuang dan meminum anggur cinta di dalam cawan kenangan.
“Saat ini musik yang memenuhi ruang jiwamu lebih indah dari musik mana pun di dunia ini” Sergei Mikhailich kepada Masha (hal. 25)
Di dalam buku ini Tolstoy ingin mengisahkan tentang romantika kehidupan rumah tangga dua insan yang dihinggapi oleh jurang pemisah. Jurang pemisah yang dimaksud adalah jarak usia yang terpaut begitu jauh. Usia Masha baru menginjak 17 tahun, adapun usia Sergei sudah memasuki angka 36. Lebih dari dua kali lipat jarak usia yang terbentang di antara mereka. Kisah cinta semacam ini adalah sesuatu yang unik untuk menjadi sajian bagi para pembaca di era modern sekarang ini.
Sergei memang telah lama mendapat tempat di hati Masha, tapi bukan sebagai sosok lelaki idaman. Sergei yang notabenenya adalah teman karib ayahnya, semenjak dahulu lebih lekat sebagai sosok paman di dalam pandangan Masha. Terus bagaimana benih-benih cinta itu bisa tumbuh dan berkembang? Tolstoy dengan sangat natural berhasil mengisahkan fragmen kisah itu dengan balutan dialog yang mengesankan. Di dalam cerita disebutkan bahwa pada mulanya Sergei sebenarnya merasa sangsi dan canggung, jangankan untuk mengungkapkan perasaan cintanya, memeliharanya saja adalah suatu “dosa” bagi dirinya. Masha merupakan seorang gadis kecil yang dahulu sering ia momong. Masha dalam pandangannya adalah hanya sekuncup “Bunga Violeta Kecil”. Tapi karena kesombongan sang waktu, angin kehidupan membawa perubahan yang begitu besar. Saat ini Masha lebih dari sekadar kuncup yang mekar. Masha telah menjelma menjadi sekuntum mawar yang indah nan harum. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Sergei yang telah begitu lama hidup membujang, kembali merasakan getar-getar rasa yang megah. Lebih dari sekadar kasih, itu sebuah rasa yang orang-orang awam sering menyebutnya dengan istilah, “cinta”.
Tolstoy dengan sangat apik menggambarkan bagaimana “noraknya” seorang lelaki berusia kepala tiga mengelola kasmarannya. Sergei yang bisa dikatakan bujang lapuk harus mengalami pertarungan yang hebat dengan batinnya sendiri. Begitu juga Masha, dia sangat merasa aneh tatkala harus menerima kenyataan bahwa Sergei yang sudah ia anggap sebagai pamannya ternyata menyimpan rasa terhadap dirinya. Canggung! Barangkali kata itulah yang bisa mewakili bagaimana perjalanan cinta mereka tatkala menuju mahligai rumah tangga. Di sini Tolstoy dengan begitu baik berhasil membangun adegan-adegan dan dialog-dialog yang bisa membuat orang senewen tatkala membacanya.
Tidak sampai di situ, salah satu konflik yang terbilang cukup pelik dalam cerita ini adalah tatkala Masha yang terbilang masih sangat gadis, suatu ketika menemukan suatu kebosanan di dalam kehidupan rumah tangganya bersama Sergei. Rutinitas keceriaan di pagi hari, saling menghormati pada waktu makan tiba, dan kelembutan di malam hari telah membuatnya jemu (hal.39). Baginya, kehidupan desa terasa begitu stagnan dan terkesan penuh dengan repetisi. Masha merasa seolah seperti tidak benar-benar hidup. Dia seolah merasa tidak menemukan wadah untuk menampung gairah mudanya yang bergejolak. Dia menginginkan sesuatu yang lebih dinamis dan penuh gelora.
“Aku menginginkan cinta yang mengendalikan hidup, bukan hidup yang mengendalikan cinta.” Masha ( hal. 39)
Terlebih lagi Sergei jarang atau bahkan tidak pernah melibatkan dirinya ketika menghadapi suatu masalah dalam urusannya. Masha, karena sentimen mudanya yang masih tinggi, menjadi merasa jengkel dengan hal itu. Dia bukan lagi gadis kecil yang tidak mengerti apa-apa. Dia yang sudah resmi menyandang gelar istri harusnya diperlakukan sebagaimana istri. Dia mestinya pantas untuk diajak berunding dalam mempertimbangkan dan mengatasi masalah-masalah keluarga yang mereka hadapi. Tapi Sergei malah seolah masih menganggapnya sebagai “Bunga Violet Kecil”.
“Aku tidak lebih dari seorang anak kecil yang patut disayang dan jangan sampai dibiarkan menangis.” Masha (hal. 40)
Itulah yang membuat Masha menuntut Sergei untuk segera hijrah dari desanya. Dan Sergei dengan lapang dada juga kemudian merasa barus mau menuruti apa yang menjadi kemauan istrinya. Sergei yang mana sudah kepala tiga berusaha mengikuti jalan pikiran Masha yang terbilang masih begitu mentah dan menggelora. Dan akhirnya mereka pun berpindah ke kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan dinamika. Di sinilah akar masalah besar itu bermula.
Tatkala hidup di kota, cinta mereka benar-benar mengalami ujian. Dan Tolstoy mampu melukiskan dengan baik puncak dari segala puncak konflik rumah tangga Sergei dan Masha melalui kepingan-kepingan akhir di dalam buku ini. Begitu pelik tapi sangat menarik. Melalui ketabahan sosok Sergei, Tolstoy berusaha menyampaikan sebuah kredo yang dalam kata-kata kepunyaan Khalil Gibran berbunyi: jika Anda mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, maka dia akan selalu menjadi milikmu. Jika tidak, dia tidak akan pernah menjadi milikmu. Tolstoy berhasil menyampaikan seribu hikmah, meskipun hanya dengan 60 halaman.
Penulis, Agung Nur Ikhsan, lahir di Banjarnegara, 19 Maret 1999. Penulis adalah mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post