
Identitas Buku
Judul Buku : Anak Bunga, Anak Puisi
Penulis : Fitra Yanti
Penerbit : Indonesia Tera
Cetakan : Pertama, Juni 2021
ISBN : 9 789797 753214
Karya sastra secara diakronis berdiri di atas konstruksi realitas dan refleksi realitas, baik realitas titik pandang-rasa manusia secara umum maupun realitas subjektif dari titik pandang-rasa penulis. Kenyataan ini diselami Tjahjono Widijanto (2010), bahwa sastrawan senantiasa berada di antara dua titik ketegangan, pada satu titik ia tidak dapat hidup di luar kenyataan, sedangkan di titik lain ia tidak dapat menerima kenyataan. Akibatnya karya sastra secara paradoks bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari untuk menyajikan seutas realitas ideologis yang merujuk realitas konkret. Hal itu meniscayakan keterhubungan antara pengalaman (empiris) dengan ide (metafisis) yang memberi keleluasaan imajinatif pembaca tanpa mendustai realitas, meski karya tampil sebagai antitesa.
Berangkat dari konstruksi realitas dan hakikat empiris-metafisis tersebut, keberadaan pembaca yang merangkai ulang fenomena untuk menarik makna tekstual merupakan kaidah posterior yang, sadar atau tidak, berupaya mengisi ruang anteseden antara karya sastra dan penulis. Upaya itu sejatinya mengupas penulis secara persona yang diawali dari indentifikasi karya. Dhakidae (2011) mengajukan dua pendapat klasik yang bipolar perihal karya dan persona, pertama, mengenal latar belakang kehidupan adalah conditio sine qua non sehingga karya bukanlah penjelmaan par exellence persona. Kedua, tidak dibutuhkan pengenalan persona karena ia menjelma ke dalam karya, sehingga karya merupakan alter ego persona.
Sekalipun Dhakidae mengajukan pendapat itu untuk menelusuri persona melalui tulisan yang semula bukan karya sastra komersil, namun diskursus karya-persona sebagai kaidah posterior dari konstruksi realitas dan hakikat empiris-metafisis tetap menjulurkan benang merah. Diskursus itu dapat diambil sebagai kacamata baca bagi Anak Bunga, Anak Puisi karya Fitra Yanti. Kumpulan cerpen yang memuat 14 cerita ini memang menyajikan ragam konflik yang dapat berdiri sendiri, tetapi suluruhnya tetap kandung dalam keterhubungan unit sosial terkecil, keluarga. Baik keluarga dalam definisi komposisi, maupun keluarga yang tidak memenuhi bahkan cacat definisi komposisi.
Keluarga pada hakikatnya sarat dimensi kasih sayang, kolektivisme, dan seksualitas yang menjadi awal dari “keluarga”, meski cacat definisi komposisi. Dimensi terakhir ini mendapat tempat terluas, dari 14 cerita, 7 di antaranya menyangkut isu seksualitas yang beragam; hubungan sesama sejenis, perselingkuhan, dan yang terperih, pemerkosaan. Luasnya wilayah yang ditempati isu seksualitas digagas cukup apik dengan menarasikan gairah (Ladang Bunga, hlm. 11) seraya persenggamaan secara prosaik yang tidak kehilangan daya melalui simile (Anak Ular, hlm. 113).
Namun keluarga tidak selalu digambarkan sebagai unit sosial tempat kasih sayang dihamparkan. Sejauh capaian hakikat keluarga sebagai titik berangkat sekaligus titik tuju manusia, Anak Bunga, Anak Puisi menghadirkan keluarga sebagai tempat di mana penerimaan menjadi mata air yang tak pernah kering (Anak Puisi, hlm. 63 dan Anak Bunga, hlm. 87). Di mana konflik diselesaikan secara metafisis.
***
Karya sastra bukanlah mantra sihir yang seketika dibacakan mampu memperbaiki keadaan, namun karya sastra secara ideal dapat dimanfaatkan sebagai peranti rekayasa sosial. Anak Bunga, Anak Puisi bisa diajukan sebagai contoh peranti tersebut, yang secara paradoks tidak diperdaya realitas konkret, tidak pula terkurung realitas idiologis. Penulis justru berupaya meneroka sisi lain tentang apa, mengapa dan bagaimana sebuah konflik terjadi, seraya merefleksikan bagaimana sebuah konflik (seharusnya) berakhir. Alih-alih menghadiahi pembaca dengan rupa klasik kebahagiaan, buku ini menggantinya dengan capaian metafisis (Anak Ikan, hlm. 1).
Sementara hakikat empiris-metafisis menyublim bersama realitas yang ditata cukup telaten berbekal nyaris segala daya; keadaan sosiologis, ingatan, harapan, kekecewaan hingga seksualitas. Hal itu menandai adanya pekawinan langgeng antara pengalaman (empiris) dengan ide (metafisis) yang menyiratkan kekhawatiran perempuan (ibu). Diskursus itu dapat dilihat dari tokoh utama seluruh cerita yang feminim, meski Ladang Bunga (hlm. 11) memasang laki-laki sebagai tokoh utama dengan ketertarikan seksual sesama jenis. Hal ini secara tidak langsung menjawab perihal keterhubungan antara karya dan persona, hanya saja ulasan ini berusaha menisbikan batas antara conditio sine qua non dan alter ego.
Penulis, Ilhamdi Putra lahir di Padang, Sumatera Barat. Bergiat di ruang riset sastra dan humaniora Lab. Pauh9 dan peneliti di LBH Pers Padang. Menulis puisi, resensi buku, catatan hukum dan analisa politik. Menghadiri beberapa pertemuan kesusastraan, salah satunya Ubud Writers and Readers Festival (2019) sebagai Emerging Writers.
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post