Pemerintah Pesisir Selatan akhirnya memberikan apresiasi untuk tradisi rabab Pasisia dengan mendirikan sebuah Tugu, yang diberi nama tugu Babiola. Melalui Dinas PUPR pembangunan tersebut sudah bisa dilihat sebagai bukti sejarah kesenian rabab adalah salah satu kesenian tradisi di Pesisir Selatan, tugu tersebut terletak di simpang Bukit Putus Painan. Megah dan Tegap.
Adapun yang banyak dipertanyakan masyarakat adalah pemberian nama tugu, yaitu Babiola, mangapa tidak Barabab?
Merujuk kepada kata dasarnya, Biola adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkan dengan cara digesek, Biola memiliki empat senar yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval sempurna kelima.
Sedangkan Rabab adalah alat musik gesek tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari tempurung kelapa. Dilihat secara sekilas, bentuk dari alat musik rabab ini menyerupai bentuk biola. Hampir mirip jika dilihat dari bentuk dan cara memainkannya. Namun dalam penggunaanya, irama yang dihasilkan dari gesekan rabab ini menghasilkan alunan musik yang khas serta dipadukan dengan suara pemain rabab. Biasanya, dalam pertunjukan rabab, pemain rabab memainkan rababnya dengan membawakan kisah dari berbagai cerita nagari atau dikenal dengan istilah Kaba. Namun tidak banyak yang tau, sebagian rabab memiliki ciri khas pada senarnya ada yang memakai senar dua, dan senar empat. Rabab Pasisia memakai senar empat.
Sejarah Singkat
Kesenian rabab sebagai salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, tersebar di beberapa daerah dengan wilayah dan komunitas masyarakat yang memiliki jenis dan spesifikasi tertentu. Rabab darek, rabab piaman dan rabab pasisia merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup berkembang dengan wilayah dan didukung oleh masyarakat setempat. Rabab darek tumbuh dan berkembang di daerah darek Minangkabau meliputi Luhak Man Tigo sedangkan rabab piaman berkembang di daerah Pesisir Barat Minangkabau, yang meliputi daerah tepian pantai (pesisir) atau juga di sebut dengan rabab pasisia.
Diantara Rabab tersebut, rabab Pasisia adalah yang paling terkenal di Minangkabau, berasal dari kabupaten Pesisir Selatan. Pesisir Selatan sebagai wilayah kebudayaan Minangkabau yang menurut geohistorisnya di klasifikasikan kepada daerah rantau pasisia yang cakupan wilayah tersebut sangat luas dan di daerah inilah berkembangnya kesenian rabab pasisie. Rabab pasisie ditinjau dari aspek fisik pertunjukanya memiliki spesifikasi tersendiri dan ciri khas yang bebeda dengan rabab lainnya. Terutama dari segi bentuk alat yang mirip dengan biola. Hal tersebut secara historis berasal dari pengaruh budaya Portugis yang datang ke Indonesia pada abad ke XVI melalui pantai barat Sumatera.
Kegiatan memainkan alat musik gesek ini di Sumatra Barat dinamakan dengan Barabab. Barabab ini juga dikenal sebagai seni tradisinya kaum nelayan di daerah pesisiran pantai barat Sumatra, khususnya di Pesisir Selatan dan di Kabupaten Padang Pariaman. Di antara kedua daerah tersebut terdapat juga perbedaan dalam penampilan seni rabab ini. Perbedaan kedua jenis seni tradisi rabab di kedua daerah ini terletak pada bentuk alat musik dan nuansa irama yang dihasilkan pada kedua daerah itu. Rabab di Pariaman lebih bernuansa klasik, nadanya terbatas, sedangkan rabab di Pesisir Selatan lebih variatif dan dapat menghasilkan nuansa irama yang lebih beragam, bahkan dapat dikombinasikan dengan alat-alat musik lainnya, seperti gendang, chaar, dan juga saluang. Hal inilah yang menyebabkan rabab pasisis lebih banyak digemari dan banyak diminati pendengar, tidak terkecuali para perantau Minangkabau.
Alat musik gesek ini diperkirakan berasal dari budaya Persia-Arab. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, alat musik gesek tersebut juga menjadi salah satu sarana para pedagang Arab ketika itu untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Oleh karena itu alat musik tersebut banyak ditemui di beberapa daerah di Indonesia dengan penamaan yang berbeda seperti di Sumatra Barat dikenal dengan nama rabab, di pulau Jawa disebut dengan rebab, di Aceh disebut dengan hereubab, di Sulawesi Selatan disebut juga dengan nama gesok-gesok.
Pada awalnya, alat musik rabab tidaklah berbentuk seperti biola saat ini. Akan tetapi, setelah kedatangan bangsa Eropa, yaitu Belanda, Inggris, dan Portugis ke wilayah ini dengan membawa alat musik gesek yang dinamakan biola. Dari sinilah alat musik rabab yang terbuat dari tempurung kelapa itu menyesuaikan diri dengan alat musik biola yang dibawa oleh bangsa Eropa. Sehingga sampai sekarang alat musik itupun disebut rabab, hanya cara memainkannya tidak di pundak melainkan di letakkan di bawah dan dimainkan dengan sambil duduk bersila.
Rabab atau lebih dikenal dengan Biola adalah kesenian tradisional yang umurnya sudah tergolong tua. Di Sumatra Barat, sebutan rabab tentunya berkaitan dengan latar belakang sejarah masuknya Islam ke Sumatra Barat. Alat musik ini pada awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Aceh yang datang ke Minangkabau untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Mereka menyebarkan islam dengan dakwah yang diiringi dengan musik rabab. Sebutan untuk permainan rabab di Pesisir Selatan disebut babiola (berbiola).
Meski kesenian rabab sudah lama ada, namun dikalangan masyarakat, tokoh rabab yang paling diingat luas adalah Pirin Asmara. Salah satu Maestro kesenian rabab pasisis yang membawakan kaba-kaba Pesisir Selatan jadi terkenal, mulai dari kaba Sabai Nan Aluih, Gadih Basanai, Si Herman, Sutan Palembang dan lainnya. Kaba juga merupakan salah satu sastra tradisional Minangkabau yang berbentuk prosa berirama, kalimatnya pun sederhana sehingga mudah didendangkan. Kaba yang dibawakan pun biasanya beragam, kisah hidup, kepahlawanan, kisah cinta dan lainnya. Sebagai ikon/maestro rabab Pasisie, beliau telah mendedikasikan hidupnya sebagai seniman rabab pasisie perpuluh tahun.
Meski demikian, kesenian tersebut bukanlah semata untuk dikenang. Melainkan lebih dari itu patut dijaga dan dilestarikan supaya tidak punah. Di Pesisir Selatan saja, hampir tidak ada generasi baru pemain rabab yang unjuk gigi, anggaplah di skala kecil saja: Propinsi. Kurangnya sosialisasi dan regenerasi terhadap perkembangan kesenian rabab, membuat ia seperti ada dan tiada. Seperti sebuah rumput kanji di padang ilalang, saat dicari tak ada, ketika tak dicari bertemu saja.
Rabab dulunya dipakai untuk acara pesta, seperti pesta pernikahan ataupun acara adat. Kesenian ini begitu digemari dulunya, hampir di setiap acara-acara adat ataupun pesta lainnya, rabab adalah salahsatu kesenian -hiburan bagi masyarakat dan tamu yang diundang.
Perkembangan zaman membuat kesenian ini tersisihkan, dilupakan oleh kehadiran orgen tunggal yang diwarnai artis dengan musik kebarat-baratan. Namun bukan tidak ada usaha dari mereka yang berkecimpung dikesenian rabab, pemain rabab pun tak ayal mendendangkan kabanya sesuai dengan zaman. Bukan melulu membawakan kaba-kaba lama. Selain itu, ada juga pemain rabab yang menampilkan kesenian ini layaknya acara orgen tunggal, yaitu menggunakan pentas/panggung.
Tentu campur tangan pemerintah daerah untuk kelangsungan hidup kesenian ini juga dibutuhkan, bukan semata apresiasi mulut saja. Kesenian dan perkembangan harus sejalan, bukan berarti kesenian tradisional adalah sebuah wujud ketertinggalan, melainkan suatu bukti bahwa daerah tersebut maju. Dengan kerja nyata melestarikan kearifan lokalnya. Pesisir Selatan memiliki pelaku kesenian tradisional tersebut, barangkali juga memiliki semacam komunitas, tapi apakah sudah memberikan andil kepada khalayak? Maksudnya memberikan sosialisasi atau membuka diri untuk siapa saja belajar kesenian rabab, dengan mengadakan pelatihan, kelompok, atau program yang disokong oleh pemerintah. Bila sekedar tugu dan euforia semata, itu hanya akan meninggalkan kesiur kulik-kulik elang di tengah hari saja.
Rabab Pasisie patut mendapat tempat sebagai tradisi lokal di Pesisir Selatan dengan adanya pelestarian berkesinambungan, tidak jalan ditempat atau keberadaannya yang samar-samar. Umumnya pemain rabab pasisie di Pesisir Selatan saat ini masih dimainkan oleh mereka yang berumur 30 tahun ke atas. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sedikit rumit, menarik minat generasi muda untuk ikut serta melestarikan budaya ini agar tidak hilang ditelan zaman.
- Aku, Kampungku dan Film India: Momen yang Utuh dalam Ingatan | Arif Purnama Putra - 8 Juni 2024
- Pameran Poto Fatris MF Bertajuk “Di Bawah Kuasa Naga”: Melihat Potret Komodo dan Kemurungan lainnya - 25 April 2024
- Festival Qasidah Rabbana: Menyaru Masa Kanak-kanak di Sungai Liku Ranah Pesisir - 15 April 2024
Discussion about this post