Sialan, seniorku benar, Pak Sudin lebih setan ketimbang kami yang setan. Ah, sudahlah aku putus asa rasanya jadi setan, seperti tidak ada harganya lagi, kerjaan kami sudah diambil alih manusia bahkan dia lebih ahli.
Sudin Lebih Setan, Bahrul Ulum
Semua setan yang sedang berkumpul di gerbang kampung Dendang seketika lari terbirit-birit mendengar suara gesekan sendal jepit yang tidak jauh dari arah kampung. Entah kenapa mereka lari, aku yang setan junior kebingungan dengan tingkah teman-teman persetananku.
“Pak Sudin datang! Itu Betul Pak Sudin, hei anak baru cepat lari!” Teriak seorang setan yang menyadari bahwa ada anggota juniornya tidak ikut lari.
Aku sebenarnya bingung, siapa Sudin ini, kenapa dia ditakuti para setan? Bukankah tidak ada tanda-tanda wajah orang sholeh? Dia saja pagi tadi aku temui di tempat perjudian, siangnya di tempat pelacuran, sangat tidak ada sholehnya sama sekali.
Aku tahu memang, ada ustadz yang sering ke tempat pelacuran, ke kelab malam, buat berdakwah. Tapi di sana Sudin bukan berdakwah, dia yang jadi peserta. Lalu kenapa teman-temanku takut dengan si Sudin ini. Ya sudahlah daripada aku kena hukum senior-seniorku, lebih baik aku ikuti saja mereka. Aku kembali ke kerumunan setan yang ketakutan tadi.
“Bang! Kenapa kalian takut dengan si Sudin itu?”
“Bukankah dia tidak sholeh? Kata kalian kita mestinya takut dengan yang sholeh-sholeha, yang imannya tebal setebal kulit badak.” lanjutku, daripada aku dirundung penasaran lebih baik aku tanyakan saja kepada para seniorku, paling tidak aku hanya akan kena marah, tidak sampai dihukum.
“Bodoh! Apa kau tidak lihat? Sudin itu manusia yang ilmu kesetanannya lebih tinggi dari kita, kampung ini tidak butuh setan-setan semacam kita untuk bisa berbuat dosa, cukup seorang Sudin sudah membuat kampung ini penuh dosa.”
Seketika sekujur tubuhku merinding dan kedua lututku lemas mendengar kehebatan Pak Sudin dalam berperan sebagai setan melebihi kami yang setan betulan.
Sebenarnya kami ke kampung Dendang merupakan tugas dari sekolah, yah biasalah setan anyaran pasti ada masa perpeloncoan. Entah sial atau bagaimana kelompokku dapat bagian di kampung Dendang, pantas saja senior kami sepanjang jalan tadi mukanya tampak keringat dingin, ujung jemari di tanduknya saja gemetaran, padahal di sekolah tadi mereka yang paling sombong seolah mereka tak terkalahkan dalam dunia persetanan.
Sebenarnya lututku masih lemas karena diselimuti rasa ngeri mendengar cerita seniorku tadi, mungkin kalian bisa membayangkan kalau setan jadi sholeh melebihi manusia dan manusia jadi kafir melebihi setan.
Bukankah itu ngeri, mendengar seorang setan yang berkelakuan baik saja aku miris, lalu ini mendapat kabar bahwa ada manusia yang ilmu kesetanannya melebihi setan itu sendiri.
Aku diam-diam menyelinap kabur dari barisan, aku penasaran dengan keseharian Pak Sudin, karena biasanya aku hanya melihatnya saat beraksi di meja perjudian dan dipan-dipan pelacuran saja. Aku sempat ragu dengan predikat yang disematkan padanya karena yang aku liat darinya hanya berbuat dosa, seseorang belum bisa dibilang setan jika hanya berbuat dosa saja, pikirku.
Sampai juga aku di ujung jalan setapak sudut kampung Dendang. Di sana ada rumah yang lebih layak huni dibanding dengan rumah-rumah tetangga sekitarnya. Bukan rumah orang kaya, lebih tepatnya orang berada. Di balik jendela aku lihat Pak Sudin sedang memasak, sesekali dia tinggalkan untuk mengangkat jemuran.
Hei, apa dia tak punya istri? Dengan kondisi yang berada seperti itu? Tetangganya saja yang pondasi rumahnya mau roboh punya dua sampai tiga istri. Aku mulai ragu dengan senior-seniorku tadi, mustahil lelaki seperti ini lebih setan ketimbang setan itu sendiri, jangan-jangan dia seorang sufi.
Ah! Daripada aku menunggu lama lebih baik aku masuk saja, aku menyamar menjadi kakek tua miskin agar bisa berinteraksi dengannya. Entah mengapa aku memilih wujud ini, padahal dalam kitab-kitab suci wujud ini biasanya jelmaan dari malaikat.
“Permisi, apa ada orang?”
“Iya sebentar,” saut Pak Sudin dari dalam rumah.
Keraguanku mulai memuncak, suaranya lembut, tampaknya ramah sekali.
Dia membukakan aku pintu, menyilakan aku duduk di kursi yang sangat empuk, sedangkan dia duduk di kursi yang terlihat keras alasnya. Wah, dia murid alim ulama kalau begini kelakuannya, sopan betul terhadap tamu. Tidak berselang lama aku juga ditawari minuman, teh hangat dengan batang serai yang di tumbuk sebagai pengganti sendok.
“Slurp…ah…” Seruput nikmatku memecah keheningan rumah Pak Sudin.
“Kakek ada perlu apa ke sini? Saya belum pernah melihat wajah kakek di kampung ini.”
“Oh iya, hampir lupa, saya mau minta tolong, mau pinjam uang, mau buka usaha nak, rumah saya ada di sisi lain tepat di pojok kampung ini. Apakah anak mau membantu kakek?”
Ini usahaku paling puncak, jika dia meminjamkan uangnya padaku, aku akan membantah senior-seniorku tadi habis-habisan. Karena mereka sudah salah besar mengira Pak Sudin lebih setan ketimbang kami yang setan betulan, terlebih kami adalah setan-setan yang terdidik, sedangkan Pak Sudin ini hanyalah manusia dan tidak pernah ikut pelatihan apapun tentang dunia setan.
“Oh iya kek, boleh, tak apa, ini kakek saya pinjamkan uang, terserah kakek mau mengembalikan kapan, saya juga tidak menuntut bunga kek.”
Hah, mampus kalian senior-senior belagu, aku punya bukti untuk membuat kalian malu. Aku yakin kalian hanya mengerjai kami saja tadi. Pak Sudin ini orangnya baik sekali, tampaknya dia juga sholeh, pantas saja seniorku lari terbirit-birit mendengar suara langkah kakinya, mirip cerita para wali dulu.
“Ini uangnya kek, kakek pakai saja buat judi di tempat saya, ya. Nanti kakek bisa kaya cepat, kalau kakek pakai ke lain, uangnya nanti lama kek, kasian kakek udah tua.” Mendengar ucapan Pak Sudin aku langsung pergi keluar lalu kembali ke wujud awalku.
Sialan, seniorku benar, Pak Sudin lebih setan ketimbang kami yang setan. Ah, sudahlah aku putus asa rasanya jadi setan, seperti tidak ada harganya lagi, kerjaan kami sudah diambil alih manusia bahkan dia lebih ahli.
“Setan! Aku jadi manusia sajalah!”
Penulis Bahrul Ulum, Kelahiran Belitung Timur 20 Mei 1999. Bersemayam di Yogyakarta, di mana puisi-puisi lahir selalu mengundang rindu. Saya merupakan pengajar aktif di Excellencia Indonesia di bidang kepenulisan. Sudah memiliki beberapa buku kumpulan puisi berjudul SARU (Radit Teens 2019), Dialog (Pohon Tua Pustaka 2019), Di Sini Kita Bertemu (Guepedia 2020). Silakan singgah ke instagram @katapohon.
Discussion about this post