hidup memang begini sesulit memutar geladak kapal melawan arus yang menghadang
Pukat Payang, Sulung!

Burung Pinggai di Tubuhku
burung pinggai di tubuhku
melawan angin dan mengecoh suara-suara yang diucapkan lidah
dan mengatupkan bibir yang dua
terus dikirim lewat air mengalir ke hulu
ke hulu pikiran untuk ingin bertemu tuhan
dalam sujud yang panjang di ujung malam dengan sembahyang
semua perencanaan hanya milik manusia yang hidup
namun perjalanan yang panjang selalu menawarkan kegelisahan
atas pelayaran dari negeri jauh
atas pencarian-pencarian ilmu untuk kalbu
yang dulu hanya tinggal debu menempel di saku celana berwarna abu-abu
lipatan tak beragi menggunting membelah dua sisi
untuk menemukan puisi dalam diri
di dalam inti dan sufi atau ranggi pada biji-biji tubuh yang suci
burung pinggai di tubuhku
bermain-main dalam ingatan
ingin pulang ke pangkuan ilahi
bersama yang patut dibawa yang hendak digenggam dalam erat rasa
dibaluri cinta yang merah dalam darah
tahun-tahun pergi menuju dermaga baru
pertualangan di padang pasir
pelayaran di lautan ganas yang menghempas
dan bisa menerkam kapal-kapal yang melawan arus
membelah iman menenggelamkan ketakwaan
menghempaskan ke daratan
ke daratan hidup yang lupa jalan pulang.
Tbh, 2020
Pukat Payang, Sulung!
pernah aku jadi kelasi di perairan Malaka, Sulung
telah kupasang pukat payang berkilo-kilo panjangnya
di tempat ikan bersarang
di lubuk pusaran air
di mulut amuk ombak yang kapan saja bisa berubah arah
pukat payang dibangkit setelah pasang perbani
entah mengapa pukat tersaru tunggul kapal
yang tenggelam berabad-abad lalu
kala Portugis merebut Benteng A Famaso
telah aku kikis daki di leher yang selalu ditimpa matahari
tapi susut hidup lebih deras dari surut selepas pasang di laut ini, Sulung
Aku lempar lagi pukat payang yang lain
agar ikan terjerat seumpama nasib baik terbawa ke palka kapal
agar terbayar hutang di buku catatan dagang
hidup memang begini sesulit memutar geladak kapal
melawan arus yang menghadang
maka hiduplah dalam kehidupan, Sulung!
agar mengepul tungku di rumah.
2020
Wabah
kita mungkin telah menjauh dari tampuk musim
seumpama sisik ikan yang meninggalkan daging di perairan patah kuduk
kapal-kapal ditambatkan di dermaga
orang-orang menghilang lewat lorong kecil
di sela gedung walet milik tauke Thionghoa
dalam ratapan mereka tak ada lagi kabar baik yang harus disampaikan
tentang TKI yang pulang lewat perairan membawa wabah dari negeri yang entah
orang-orang telah lama mengurung diri
menutup hati yang telah lama terkubur bersama tuanya kota
hanya serpihan beton yang susut di makan lumut
cermin kota tetap masih utuh dalam potret kepulangan
jika patut tangis dihimpitkan
kepada siapa isak dan secawan air mata harus mengadu
agar lepas juga lara antara tiada ke tiada.
2020
Di Tubuh yang Payau
telah tertimbun tubuhku yang payau
ditelan gambut yang merah
dan menggenangkan kekuningan minyak mengendap
di tepi-tepi parit di mulut kuala yang menganga menghadap samudera
menumbuk semenanjung yang menyisakan perih masa lalu
di kotaku yang bersejarah
menorehkan banyak rencana dan siasat
di nyalanya kehidupan orang tepian orang laut orang melayu
dengan segala alam segala laut yang dalam
ikan-ikan berenang dan ingin dikenang
bapak hanya tahu berapa kuat dayung dikayuh
berapa jauh ombak memecah
ke dermaga ke dalam dada.
Juni, 2020
Selepas Subuh
di jalan sunyi yang merangkul dingin subuh
aku mengeja langkah dan ingin merengkuhmu ke lenganku yang pendek
selepas kabut menutupi harapan dan upaya yang lebih dari sujud yang panjang
doa-doa terbengkalai dan kata-kata tak utuh dirangkai
malam pun enggan untuk kembali
menemuimu di anjung mimpi.
Rendang Ibu
telah tercium dari rantau harum kemiri keringat ibu
yang mengalir di tengkuknya kala belanga mengepulkan asap
dan hidangan segera dimasukkan ke dalam cawan kisaran
aroma asam kandis bermain di udara kala pikiran
dan tubuhku melayang-layang di kota tanpa nama
aku benar-benar telah mabuk
terpukau, seolah rasanya sudah di ujung lidah
dan ditelan bersama nasi dari beras ladang
yang selalu di semai dengan kangen
dan dipupuk bersama cerita masa lalu
ibu senang jika aku makan dengan lahap, katanya waktu itu
aku lelaki yang manja dan suka dihidangkan tawa
aku akan sampai di serambi rumah
lalu menerobos ke dapur tanpa mengetuk pintu
tanpa berucap kata setitah apapun
karena lambungku telah tiris dan lapuk terkikis ombak di tepian
terburai karena lapar benar-benar telah mengusik tidur malamku
bila aroma daun serai, kemiri, lada, merica dan pati santan terbaik
dari rimba raya tercium
aku menuju dapur
ke lembab suara belanga beradu dan terburu-buru.
2020
Penulis Redovan Jamil, lahir Padang Benai salah satu kampung kecil di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Terpilih menjadi Penggiat Literasi 2019 dan diundang Residensi Penggiat Literasi di Yogyakarta. Suka menulis puisi, cerpen, esai, dan opini. Puisi terbarunya Abun-abun yang Abrak (2018), “Dari Jauh ke Pasar Jongkok” (2019), dan “Kenangan Tanpa Judul” (2019). Pemenang I Lomba Cerita Pendek UPTD Sumatera Barat 2020. Karya dan tulisannya tersebar dibeberapa media lokal dan nasional serta online. Bisa dihubungi ke nomor 081213957352 (WA), email [email protected], IG @redovan_jamil dan Facebook atas nama Redovan Jamil.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post