SETELAH SAJAK DITULISKAN
Tidakkah ingin kembali
Kepada peluk kata
Dan membayangkan sebuah dunia
Tanpa jendela
Lalu kita sama mabuk
Menenggak waktu
Surabaya, November 2020
PERIHAL MELANKOLI
Bagaimana kuakhirkan sunyi yang percuma?
Jika kau masih bersembunyi
Di antara nyeri bunga-bunga
Sajak ini lahir dari pertentangan melankoli
Bayanganmu membentuk igauan palsu
Dari tidur yang tak benar-benar lelap
Di mana bisa kubaca kembali alamat penciptaan
Jika kau masih menjelma huruf-huruf kosong
Sajak ini lahir dari igauan tentangmu
Melankoli yang mengingatkan
Pada selembar jalan pulang
Surabaya, November 2020
SURAT PENGHABISAN
Bakarlah kata-kataku
Di atas unggun
Jika malam menambah demam
Dan pintu-pintu mengatupkan suara
Kelak kau akan mengerti
Sajak yang menyendiri
Di antara biru
Kesedihan
Habis nubuat di tengah jalan
Tak lagi ingat
Kalam pertama
Dikepung lolong kabut
Surabaya, November 2020
ALTERNATIF PULANG KE TUBUHMU
Bahwa kita masih saja seperti dulu
Ketika magrib biru dan puisi-puisi bercerai dari bujuk mantra
Sebuah buku terbuka, lalu dunia menjamah lembarnya
Ada Sapardi, Rendra, Sutardji
Sibuk berkampanye
Menunaikan amanat bahasa langit
Yang tak pernah sampai
Yang tak pernah dipahami penyair-penyair koran
Ada pula ragu
Mengetuk-ngetuk tubuhku
Sudahkah bertandang kepada puisi
Almarhumah puisi sedang khidmat merindu
Pekuburan ramai pelayat
Dan orang-orang seluruh negeri meminta berkah
Dari tidur panjangnya
Biarkan ia
Mencatat sendiri nama
Di atas nisan tua
Kelak dunia akan memanggilnya kembali
Sebagai rupa yang baru
Lahir dari rahim sebuah rubrik kebudayaan
Koran Ibukota
Surabaya, September 2020
MENOLAK KANON
Mengapa
Penyair menolak bujuk buku-buku
Ketika dunia berhenti
Setidaknya dalam puisi ini?
Mengapa penyair kembali berpulang
Ke peluk biduan
Sementara malam memabukkannya pelan-pelan
Kata-kata masih mengusung lelucon lama:
Sepasang tubuh yang mencari jejak cinta!
Surabaya, September 2020
DI ATAS KATA-KATA, HARI MASIH SELALU SAMA
Ada yang akan terus terulang
Dari setiap pertanyaan yang lahir dari jiwa rumpang
Semisal bagaimana dunia menolak buku-buku
Dan puisi khusyuk mencium tubuh mantra yang perawan
Tanpa gamang menyenandungkan bait kasmaran
Ada yang akan terus datang
Dari setiap pertanyaan yang tak kunjung menemu jawab
Penyair-penyair dibungkam minggu bising
Dan kata-kata, masih di atas segalanya
Mengajak duel semalam suntuk
Penyair-penyair akan terus bungkam
Sampai dunia kembali samar
Dalam merah padam bibir perawan
Surabaya, September 2020
DI TEPI KANON
Penyair yang gentayangan
Mendedah bahasa langit
Ke dalam buaian nasib baik
Seorang penyair
Tak ingin dungu
Dalam pertanyaan yang tak menemukan hulu
Ia hanya ingin samar
Dalam derai keramaian
Menimang puisi-puisi mentah
Yang ditulis pada remang minggu
Minggu yang berkelakar tentang nasib remeh
Sebuah puisi dengan perempuan
Yang menemuinya di ujung ajal
Surabaya, September 2020
IBU NEGARA DI RUBRIK MINGGU
Ibu ibu!
Kau kah yang memanjangkan tangis
Tersebab malam menjarah negara
Di jalan yang hiruk oleh desing senjata?
Pertiwi, anak sulungmu
Menjual kemaluan ke kota orang
Tak bakal pulang, katanya
Ibu ibu!
Kau kah bulan separuh mati
Menyanyikan merdeka
Tanpa upacara?
Tangismu menuntun arwah pahlawan
Ke dalam tahun-tahun penuh lelucon
Surabaya, Agustus 2020
EPITAF MERDEKA
Merdeka hanya gema
Yang runtuh ke dalam dongeng masa lalu
Dan kau membaca pedih yang dibawanya
Sebagai kisah paling purba
Merdeka hanya milik mereka yang terjaga
Membakar puisi-puisi yang telanjur ditulis tangan sendiri
Surabaya, Agustus 2020
PERGINYA PERTIWI
Pertiwi mati
Tertembak aparat
Di perempatan
Menjelang huru-hara pemungutan suara
Pertiwi, tubuhmu anggur
Yang memabukkan penyair jalang
Mereka kisahkan padamu pengembaraan kata-kata
Sebuah negara
Tanpa suara
Kembali menguncimu
Antara narasi yang kesepian
Surabaya, Agustus 2020
DONGENG PERTIWI
Di koran pagi,
Sebuah negara
Menjelma berita hangat
Seorang gadis
Pertiwi namanya
Ditemukan dalam kondisi setengah telanjang
Orang-orang, yang berdecak ketika melihatnya, serempak berseru,
“Pertiwi sayang, Pertiwi malang, ranum tubuhmu diperkosa negara!”
Surabaya, Agustus 2020
MENCULIK PERTIWI
Katakan, manisku, apa yang tak sembunyi dari puisi?
Semisal bagaimana negara bunuh diri
Dan para penyair yang sibuk menimbang harga mati
Dari kata-kata yang berloncatan minta ditulis
Surabaya, Agustus 2020
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Puisi-puisinya tersebar di sejumlah media cetak dan antologi bersama. Buku puisi tunggalnya TALKIN(2017) dan Suara Tanah Asal(2018). Mahasiswa di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post