Tiada niat sedikitpun dalam hati Alan untuk menggaduh Mita. Ia tahu, bahwa untuk mendapatkan cinta si kembang desa itu harus mengukur badan dengan bayang-bayang. Mita termasuk orang berpunya di kampungnya, namun di mata Bu Nuri, niat Alan yang hanya ingin berteman baik dengan anaknya itu dipandang buruk. Alan dituduh ingin mendapatkan cinta Mita dan mengincar harta warisanya. Awal permasalahan bermula ketika Bu Nuri datang menemui salah satu kerabat Alan.
“Hei, Ujang. Tolong kamu bilang pada keponakanmu itu ya, agar jangan lagi berteman dengan anak saya. Saya tahu bahwa dia berniat ingin mendapatkan hati anak saya. Sok-sokan si Alan itu, tungku dapurnya saja tak sampai segenggam tangan, ingin mendapatkan anak saya pula.”
Begitulah kepedihan yang keluar dari mulut orang tua Mita. Kata-kata yang begitu tajam itu akhirnya disampaikan Pak Ujang kepada Alan, sebagai cambuk baginya untuk membungkam lidah pahit Bu Nuri. Pak Ujang begitu keras dan tegas dalam mendidik Alan sejak kematian ibu dan ayahnya.
“Sekarang saya mau bertanya kepadamu, Alan. Apakah kepandaian ilmu batin ayahmu tidak turun kepadamu?” Tuturnya dengan agak keras kepada Alan sambil menghisap sebatang rokok. Alan hanya mengangguk pelan menjawabnya.
“Jawab, Alan!” Lugas Pak Ujang sambil memukul meja.
“Iya, Pak. Kepandaian ilmu batin Ayah memang turun kepada saya. Akan saya buat Bu Nuri menelan kata-katanya.” Tepis Alan dari gertak Pak Ujang.
Tanpa pikir panjang, keesokan harinya Alan menemui Mita sambil menghisap sebatang rokok yang sudah diletakkan secuil kemenyen di bara api rokok itu, sembari dibacakannya mantra. Ia menghembuskan asapnya di depan Mita sambil berbisik.
“Nanti malam aku tunggu kamu di persimpangan jalan.” Spontan Mita mengangguk dan menuruti perkataan Alan.
Sekitar jam 22.00 malam, Alan meneyebut nama Mita tiga kali dari kejauhan. Mita yang sedang terlelap di rumah, tersentak dan langsung teringat janjinya dengan Alan. Ia bertemu di persimpangan jalan yang sudah di janjikan tadi. Alan yang mengendarai motor milik Pak Ujang langsung membawa Mita meninggalkan kampung malam itu juga. Tanpa banyak bertanya, Mita hanya diam seperti orang kebingungan mengikuti kemana arah yang akan ditempuh Alan malam itu. Sudah tiga hari berlalu, Mita dan Alan tak kunjung jua kembali. Bu Nuri yang geram dan sangat sedih atas hilangnya Mita tanpa sebab. Ia selalu memberi ucapan pedasnya kepada Pak Ujang, namun Pak Ujang hanya diam tersenyum.
“Saya yakin, Ujang. Anak saya pasti dibawa kabur keponakanmu itu, cepat kembalikan anak saya, emang dasar keponakanmu tak tahu diuntung, anak gampang, sama saja seperti ayahnya.”
“Eh, Bu. Jangan bawa-bawa nama almarhum, beliau sudah tenang di sana.” Tutur Pak Ujang dengan sikap tenang.
Alan membawa Mita ke tempat pengasingan di salah satu gubuk milik bapaknya dahulu. Di sana ia melepaskan segala hasrat buruknya kepada Mita. Hampir satu minggu ia tinggal berdua dengan Mita di sana. Hingga kemudian, ia meninggalkan Mita sendirian dan berpesan agar tidak pergi dari gubuk itu, walau siapapun yang akan menjemputnya. Setelah Alan meninggalkan Mita di gubuk, ia langsung menemui orang tua Mita dan menceritakan semuanya.
“Maaf, Bu Nuri. Selama ini Mita aman bersama saya, jika ibu berkenan menjemputnya, silahkan saja jemput di gubuk saya. Sebab kepergian Mita adalah kemaunya dengan saya.”
Mendengar semua perkataan Alan, keluarga Mita hanya terdiam, tak tau apa yang harus mereka perbuat. Tak ada gunanya juga mereka melaporkan semua ke polisi, karena ini semua juga kemauan Mita. Alan menunjukkan keberadaan Mita kepada orang tua dan keluarganya, dan ia mempersilahkan menjemput Mita di sana. Segera orang tua Mita menjemput anaknya itu, dan membujuknya untuk pulang. Namun sedikitpun Mita tak mau untuk pulang. Bu Nuri kebingungan, tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan untuk anaknya itu. Hingga kebingungannya berakhir sebab teringat bahwa ada dukun sakti di desa sebelah. Bergegas ia menyusul dukun itu, dan menceritakan segala masalah yang menimpanya. Dan benar saja, sang dukun mengabulkan permintaan dari Bu Nuri. Alan yang awalnya biasa-biasa saja, kini tengah merasakan sakit kepala yang begitu luar biasa. Namun semua tak seperti yang diharapkan Bu Nuri, ilmu kebatinan Alan jauh lebih kuat dibandingkan dukun itu. Segera Alan melesatkan langkah ke rumah dukun. Sekitar jam 00.15 malam, Alan mengetuk pintu rumah dukun. “Totok..totok.” Suara pintu diketuk dengan keras.
“Ya, tunggu sebentar.” Balas dukun. Baru separuh pintu terbuka, Alan langsung melompat dan menodongkan pisau ke perut sang dukun.
“Jangan lagi kau teruskan niat jahatmu itu, atau kubunuh kau malam ini.” Ancam Alan.
“Aaa aa ammppun, jangan bunuh saya, saya akan cabut segalanya.” Jawab dukun dengan ketakutan
Dukun itu pun akhirnya mengiakan ancaman Alan, dan mencabut segala santet yang sedang ia kerjakan itu. Hingga keesokan harinya, sang dukun mengeluh dan menceritakan semua kejadian semalam kepada Bu Nuri. Mendengar kata menyerah dari dukun, Bu Nuri hanya terdiam lesu, ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan agar anaknya itu kembali ke rumah dan menjauhi Alan. Alan yang sekarang berwatak keras, sebab dorongan pak Ujang kini tengah menjadi harimau dari mulut tajamnya. Dengan rasa penyesalan, ia pergi ke rumah pak Ujang dan membujuknya agar Alan mau mengembalikan anaknya lagi seperti dahulu.
“Saya mohon, Pak Ujang. Bujuk Alan agar ia mengembalikan anak saya seperti dulu lagi. Saya ingin anak saya pulang kerumah, Mita adalah anak semata wayang saya pak.”
“Maaf, Bu. Itu semua tak bisa saya lakukan, sebab hutang sayatan mulut tak semudah itu di bayar dengan kata maaf.” Jawab pak Ujang dengan nada rendah yang membungkam sikap Bu Nuri.
Bu Nuri dengan air mata pulang dari rumah Pak Ujang, beribu penyesalan hanya bisa ia telan dalam-dalam. Kesedihan berkepanjangan Bu Nuri akhirnya sampai ke telinga Alan. Belas kasihan dan rasa iba akhirnya menyadari Alan untuk kembali memulihkan Mita seperti semula. Alan kembali membasuh mantra yang sudah ia tumpahkan di hati dan pikiran Mita. Ia membawa Mita pulang kerumahnya, dan membungkam semua kata pahit Bu Nuri yang sempat menyakiti Alan.
“Bu, ini saya kembalikan anak ibu. Satu hal yang harus ibu tahu, saya memang orang miskin, tapi saya kaya akan harga diri, dan tidak mudah bagi siapapun menginjak harga diri saya, termasuk Ibu. Jangan nilai manusia hanya karena harta, jangan mudah menampar hati orang dengan lidah yang tak bertanggung jawab itu.” Alan dengan bijak berbicara di depan keluarga Mita. Mita yang kebinguan, hanya terdiam seolah separuh sadar atas semua yang ia lakukan bersama Alan selama ini, sebab semenjak kejadian itu, akal, pikiran dan hati Mita sudah dipengaruhi mantra dari asap kemenyan.
Bayang, 2020
Penulis Chalvin Pratama Putra, lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera (Pesisir Selatan). Merupakan anggota Sastra Bumi Mandeh (SBM), dan aktif mengelola Rumah Baca Pelopor 19. Menulis puisi, esai dan cerpen yang sudah dimuat di beberapa media. Tergabung dalam penerbitan antologi puisi bersama.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post