
Mayapada
Sungguh mayapada
adalah kemilau hijau
yang begitu tabah
memanggul berjuta nyawa.
Tanganmu ribuan ranting
yang menyembul
pada celah kanopi hutan,
membentang dan menampung
berbagai elegi,
atau jalinan tenun dedaunan
yang dengan lapang
membuaikan rasa nyaman
ke dalam sukma insan.
Sungguh tabah, begitu tabah,
walau ketabahanmu harus
diwarnai selaksa pengkhianatan.
Rambutmu yang mekar
dan melahirkan kesegaran itu
kerap tumbuh sebagai kesementaraan
yang gemetar.
Sebab gerai hijau itu tahu
bahwa takdir mereka
adalah bertumbangan di bawah
kilat mesin buldoser.
Maka, cadas kepalamu
yang kecoklatan terbuka,
ditusuk-tusuk peluru hujan
dan radiasi dian abadi,
menanggung luka
yang tak semenjana.
Dan sungguh
kau masih menyimpan
benih-benih ketabahan
setelah sekian petak awan
retas di atas bentang
kemilau zamrud kepalamu.
Serupa nabi yang terus
bertahan selepas makar,
pengkhianatan tak ubahnya
ketetapan yang mesti
kau jalani dan hikmati.
Sumenep, 2025
Rwanda Pasca 1994
Rwanda adalah garis demarkasi
yang menjadi jalan mula
menuju nirwana.
Saat kemanusiaan pudar
bersama padamnya bilangan usia
di ujung kokang sebuah senjata,
mimpi-mimpi yang dipupuk
sejak kanak
perlahan tinggal gambar buram
di jendela yang tertutup
lapis tipis debu.
Dan Kigali
tak ubahnya gelimang epitaf
dan genang kirmizi,
menjadi potret luka
yang terpampang di museum ingatan
dan kerap menghantarkan bunga bangkai
pada malam yang masih
merekam amis dendam.
Sumenep, 2024-2025
Dalam Tikam Beton
Angin yang memecahkan dirinya ke dalam puluhan desau, memahami bahwa jengkal beton itu adalah semacam khuldi, yang terkutuk, namun terus mendapat merah kecup.
Tanah yang mandul setelah kesuburannya dicuri ragam cetak biru pembangunan, merelakan diri menjadi kudapan di atas altar pesta manusia. Ketika dirinya kehilangan aneka tosca di epidermisnya, digantikan himpunan bata, rangka baja, beton-beton yang jauh melubangi dada, maka suara mesin mixer, pukulan palu bertalu, getar bunyi bor, semua bakal ditasrifi sebagai ayat-ayat khianat.
Barangkali manusia bisa memahami hakikat tabah dari tanah. Sebab sekian zaman ia lewati, dan ia relakan belahan tubuhnya dizirahi baja dan bata.
Dan manusia seperti tak pernah lelah, menorehkan bermacam beton di tubuhnya, serupa luka yang terus dikeruk, serupa khuldi yang terus dikecup.
Sumenep, 2025
Lanskap Puisi
Sebab musim-musim
datang pergi tanpa permisi
Sepasang kepak sayap rindu pun
Merasa bebas hinggap bertamu
Ke reranting sebuah puisi
Kadang ia akan bernyanyi
Sembari memanggil nama-nama
Dari bundar kilau purnama
Kadang ia akan duduk menyendiri
Lalu mengubah langit malam
Menjadi kilas fragmen masa depan
Yang o, begitu pekat
Dan seperti kedatangannya yang tiba-tiba
Rindu akan terbang tanpa salam
Dari rimbun dahan sebuah puisi
Ia pergi
Dan menjadikan himpunan diksi
Lanskap kosong sunyi
Yang sedia menerima aneka sukma
Datang silih
Berkali-kali
Sumenep, 2025
Hulu Rindu
Matamu palung dalam
Yang menenggelamkanku
Ke dalam kubang rindu
Matamu pisau tajam
Yang menikam dan mendamparkanku
Ke dalam luka pilu
Sumenep, 2024-2025
Kejadian Tengah Malam
Sebuah arloji yang hampir kehabisan baterai
Berdetak lambat dalam dada seorang pemuda
Di tangannya, miras bersenandung merdu
“Kapan lagi dunia akan sebegitu indahnya
Jika bukan malam ini, bro”
Pemuda itu berjalan membelah jalan
Lalu dari arah tikungan meluncur sedan
“Mari tinggalkan dunia yang acak adul ini, bro”
Miras itu bersenandung merdu
Dan tak terdengar lagi detak arloji
Dalam dada si pemuda
Sumenep, 2024
Fathurrozi Nuril Furqon, alumnus TMI Al-Amien Prenduan 2021 dan mahasiswa UNIA. Suka membaca, menulis, dan melamun. Ig; @zeal0102.
Discussion about this post