
Kurnia Gusti Sawiji
Dan di sinilah aku, bersama Sagitta. Berada di depan kami adalah gunungan pasir setinggi gedung empat lantai, dan ketinggian itu terus bertambah. Begitu pelan tetapi pasti, sebagaimana arus kehidupan yang tenggelam dalam larutnya waktu. Aku dan Sagitta duduk berselonjor sekitar setengah meter dari tepian gunungan pasir, membiarkan butir-butir pasir sesekali menyisir kaki kami yang telanjang. Sebentar lagi, matahari akan tenggelam. Lalu kami akan tertidur. Ketika sampai waktunya kami menutup mata, gunungan pasir ini akan memeluk kami berdua, menenggelamkan kami bersama waktu.
“Apa yang akan terjadi jika gunungan pasir ini menimbun kita sepenuhnya?”
“Kita akan kehabisan napas, lalu mati.”
“Ih, rupanya benar ya, laki-laki itu isinya akal saja, tidak ada hati.”
“Terus, memangnya kamu mau yang terjadi apa?”
Pendapat Sagitta, karena asal-usul gunungan pasir ini bisa dibilang ajaib, maka segala sesuatu yang berhubungan dengannya pun semestinya ajaib. Di puncak gunungan itu, kucuran pasir turun dari langit. Seolah-olah langit adalah atap rumah yang bocor lantaran dilubangi paku, lalu dari lubang itu mengucur pasir—awalnya hanya sebatas mata kaki, namun lama-kelamaan menjadi setinggi sekarang. Kucuran itu muncul tiba-tiba, hanya beberapa hari setelah peresmian kompleks ruko yang baru selesai dibangun. Awalnya, tempat terjadinya fenomena pasir mengucur ini berupa sawah. Tempat aku dan beberapa teman SD-ku berburu ular dan dikencingi katak sawah.
“Siapa tahu ‘kan, seketika kita tertimbun pasir ini dan memejamkan mata, kita akan bangun sebagai diri kita di masa lalu, ketika masih anak-anak.”
Mendengar itu aku terdiam. Aku dan Sagitta sama-sama meyakini satu hal: bahwa sudah terlampau banyak hal dalam hidup yang membuat kami tak mampu berkutik, sehingga satu-satunya cara adalah membiarkan arus waktu menenggelamkan kami. Setelah itu kami akan bersatu: bersama kehidupan, kenangan, dan impian-impian yang lebih dulu hanyut. Lalu kami akan bermuara di ketidakpastian. Banyak orang-orang takut dengan ketidakpastian, padahal ketidakpastian sejatinya merupakan kebebasan dalam wujud paling murni. Apa yang berada di hadapan ketidakpastian, melainkan kesempatan untuk memilih? Dalam ketidakpastian itu, kami akan memilih untuk memutar balik waktu.
Dan kesempatan itu akan datang ketika senja tidur, senyap menunggu matahari terbenam.
***
Bahkan sebelum aku pergi ke Malaysia, kampung ini terasa terlalu padat untuk disebut ‘kampung’. Istilah ‘kampung’ seolah memberikan kesan bahwa tempat ini begitu tradisional, kultural, dan jauh dari modernisasi. Sementara kenyataannya tidak begitu. Kampungku dekat dengan Jalan Raya Legok, yang menjadi akses utama menuju tempat-tempat besar seperti Karawaci, Kelapa Dua, bahkan Gading Serpong. Di dalamnya, pembangunan berlangsung pesat. Ketika aku berangkat ke Malaysia, sebuah kompleks perumahan baru saja diresmikan. Sementara pengembang lain sedang melakukan survei tidak jauh dari kompleks tersebut.
Aku pernah berhubungan kembali dengan teman-teman SD melalui media sosial. Dari merekalah aku tahu bahwa di kampung telah terjadi perubahan-perubahan: lapangan kosong yang berada di dekat jalan masuk menuju kampung sudah dibuka lahannya. Beberapa tahun kemudian, mereka mengabari lagi bahwa di atas tempat itu sudah dibangung stadion bola untuk klub lokal. Di dekat rumah lamaku ada sebuah tanah lapang, kami menyebutnya Lapangan Tanah Merah. Anak-anak kompleks perumahan biasa menghabiskan waktu bermain layangan di situ. Sekarang, ketika aku pulang dari Malaysia, tanah itu sudah tidak ada, berganti dengan satu lagi kompleks perumahan.
Eldiko, mantan ketua Klub Pemburu Ular di SD-ku dulu, sempat bercerita tentang pembukaan lahan sawah tempat kami, anggota-anggota tengilnya bermain. Kami melakukan reuni kecil-kecilan melalui konferensi video Zoom, dan waktu itu aku sudah mahasiswa tahun kedua. Beberapa anggota klub turut hadir, seperti Ismunandar, Fajrian, Pradip, dan lainnya. Tetapi aku tidak melihat Sagitta. Sempat kutanyakan keberadaannya dan apa kabarnya, tetapi para hadirin konferensi tidak menjawab. Setelah kutanyakan kembali karena kusangka itu adalah masalah jaringan, Pradip menjawab.
“Oh… eh, itu, kapan ya? Oh, iya, iya. Sagitta sudah lagi tidak Kampung Bambu sih, ya. Jadi kita kurang tahu. Eh, ngomong-ngomong, Ismunandar, ceritakan ke Jai soal pasir dari langit itu!”
Dan begitulah kira-kira bagaimana aku jadinya malah lebih tahu tentang fenomena pasir turun dari langit, ketimbang kabar Sagitta. Kampung Bambu, itu nama kampung kami dulu. Dinamakan begitu karena begitu banyaknya rumpun pohon bambu. Bahkan di belakang rumahku, dulunya ada rumpun pohon bambu seluas lapangan tenis. Tetapi rumpun itu telah dibuka menjadi lagi-lagi kompleks perumahan, hanya saja lebih sederhana dan ditujukan khusus masyarakat pedalaman kampung.
Aku masih berusaha mengingat-ingat apa tepatnya yang merupakan titik kucuran pasir di sawah itu. Satu hal yang kutahu, banyak orang bilang kawasan itu adalah titik pusat Kampung Bambu. Maka dari itulah banyak tempat-tempat inti berada di sana. Salah satunya adalah Masjid Nurul Huda, yang sebenarnya berada cukup jauh—sekitar 200 meter—dari sawah itu. Menyusuri Masjid Nurul Huda ke arah kanan dan mengikuti jalan akan membawa ke Jalan Raya Legok. Di sepanjang jalan tersebut, berbagai toko swalayan seperti Indomaret dan Alfamart berdiri. Juga beberapa usaha swadaya.
Cerita tentang fenomena pasir turun dari langit itu kuceritakan ke ibuku. Waktu itu bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-50. Turut kuceritakan kepadanya tentang pembangunan kampung yang begitu pesat, dan stadion bola yang dapat kami kunjungi andai saja kami kembali ke kampung.
“Memangnya kamu ada keinginan lagi untuk ke kampung?”
“Hm, tidak juga. Tetapi kita masih ada rumah di sana ‘kan?”
“Ibu malah sedang berpikir untuk menjual rumah itu.”
Kepadaku Ibu bercerita tentang keinginannya menjual rumah kami di kampung untuk modal hidup di Malaysia. Turut diceritakannya juga tentang perasaannya yang tersembunyi tentang tempat kami tinggal. Ceritanya, rumah itu dibelinya dengan harga rendah dengan niat membawa ibunya—almarhum nenekku—untuk tinggal di sana setelah bercerai dengan kakekku. Tetapi rupanya dia lebih memilih menyetujui permintaan kakek untuk rujuk. Sejak saat itu, Ibu merasa tidak nyaman tinggal di rumah itu. Ditambah lagi, semakin hari dia semakin merasa masyarakat sekitar tidak satu prinsip dengannya.
“Makanya ketika ayahmu berjanji macam-macam membawa kita ke luar negeri, Ibu tergoda. Ibu pikir inilah kesempatan untuk meninggalkan semuanya. Tetapi lihatlah, kita di sini malah mengurus orang sakit. Apa kamu mau, setelah capek-capek mengurus orang sakit, malah akhirnya kembali ke kampung? Mau tidak kamu berjanji kepada Ibu, untuk meneruskan janji ayahmu itu?” nada bicaranya pelan dan hangat, tetapi secara bersamaan terasa begitu dalam dan menyekat.
“Iya Bu, aku janji.”
***
Aku akhirnya berhubungan kembali dengan Sagitta pada tahun 2020, saat pandemi sedang liar-liarnya merebak. Lagi-lagi melalui media sosial, dan waktu itu aku yang menghubunginya lebih dulu. Ada sedikit sayatan kurasakan di dalam dadaku ketika melihat foto profilnya: Sagitta bersama seorang pria yang dapat kurasakan jauh lebih baik dariku, dan seorang anak usia TK yang terlihat begitu bahagia. Pria itu terlihat tersenyum lebar, sementara Sagitta dengan senyum tipis dan mata sendunya yang khas. Hampir tidak berubah dari waktu ketika dia duduk di sebelahku waktu SD dulu.
“Kira-kira dalam keadaan seperti ini, masih ada lowongan pekerjaan tidak ya, di sana?” tanyaku melalui panggilan video.
“Kamu sudah tanya SMP lamamu, Al-Mahadi?”
“Sudah, Pak Supahendi bilang ada lowongan di bagian keuangan. Tetapi belum pasti, harusnya hari ini direktur yayasan menelepon, tapi sampai sekarang tidak ada. Entahlah, mungkin tidak jadi.”
“Aku akan coba tanya suamiku. Tapi dia orang site, dan luar biasanya, bahkan dalam keadaan seperti ini dia harus tetap berada di site.”
Aku ucapkan terima kasih. Dia balas dengan sama-sama. Kami sama-sama mengakhiri panggilan. Tetapi mungkin hanya aku yang merasa bahwa panggilan itu menyenangkan. Atau tidak. Entahlah.
Sesampainya aku di Kampung Bambu, kudapati bahwa orang-orang sudah tidak lagi menyebutnya Kampung Bambu, melainkan Kampung Jam Pasir. Alasannya ada di kawasan sawah tempat aku dan teman-teman SD-ku sesama Klub Pemburu Ular berburu ular dan dikencingi katak sawah. Saat aku ke sana, kawasan itu sudah dipagari besi dan garis polisi. Di tengahnya, terdapat gunungan pasir setinggi rumah dua lantai. Ramai orang berada di sana; beberapa hanya ingin melihat, sebagian lagi ingin berfoto. Ada juga wartawan, karyawan stasiun televisi, dan orang-orang berseragam dinas.
“Tempat ini sudah jadi seperti lumpur Lapindo di Sidoarjo, bencana yang dijadikan objek wisata,” ujar Sagitta waktu aku bertemu dengannya.
“Sepertinya kita memang masih di batas itu. Mencari hal-hal menyenangkan di balik penderitaan, tidak peduli sekecil apa pun,” balasku.
“Tapi hidup memang begitu ‘kan? Kamu bisa tertimpa sial bagaimana pun, tetapi sialnya hidup harus tetap berjalan. Dan tidak ada yang bisa kita lakukan selain mencari hal-hal menyenangkan di sepanjang perjalanan itu.”
Kami saling bertukar kabar. Singkat-singkat saja. Dan aku yakin, kami menyembunyikan kebenaran masing-masing. Toh menyampaikan kebenaran itu tidak akan ada manfaatnya untuk kami. Sagitta benar. Hidup harus tetap berjalan. Waktu bisa saja mengubah segala apa yang kami ingat, kami kenang, dan kami sayangi. Dan kami, manusia-manusia yang menjadi serpih dalam badai perubahan, tidak memiliki pilihan apa pun melainkan meneruskan hidup.
***
“Kamu masih ingat, cita-citamu ketika SD?”
“Maksudmu, hal-hal yang sudah kukubur dalam-dalam ketika orang tuaku lebih memilih menikahkanku ketimbang mengizinkanku kuliah?”
“Sepertinya masing-masing dari kita punya alasan untuk tidak pulang, ya?”
“Memangnya, alasanmu apa?”
Dan kuceritakanlah kepada Sagitta tentang segalanya. Janjiku kepada Ibu, Ayah yang sudah tidak ada lagi, dan segala macam keberengsekan hidup yang tanpa ampun dengan segala perubahannya. Sagitta mendengarkan dalam diam. Dan pada saat itu aku kembali melihatnya: gadis kecil berambut ombak malam dengan mata sendu, dan senyumannya yang tipis. Gunungan pasir itu sudah menutupi pergelangan kaki kami, dan kami sekarang berada pada posisi berbaring. Sebagian besar matahari sudah tenggelam, dan suara anak-anak kampung bersalawat mulai terdengar.
Dan Sagitta ceritakanlah kepadaku tentang segalanya. Perasaannya kepadaku yang tertiup hambur bersama mesin pesawat menuju Malaysia, pernikahan terencana yang dilakukan oleh keluarganya tepat setelah dia lulus SMA, dan segala macam keberengsekan hidup yang tanpa ampun dengan segala perubahannya. Aku mendengarkannya dalam diam. Dan mungkin saat itu dia melihatku: seorang bocah ingusan berambut cepak, berlarian sana-sini berburu ular bersama teman-temannya dengan berbagai cita-cita, mulai dari ahli dinosaurus sampai petualang.
“Andaikan aku hilang hari ini, yang dikenang ibuku bukan aku, tetapi janji-janjiku yang tidak bisa kuselesaikan, dan segala penderitaan yang muncul karenanya,” ujarku.
“Dan andaikan aku hilang hari ini, laki-laki yang sebenarnya lebih mencintai dunianya sendiri itu tidak akan mengenang apa pun tentang diriku, kecuali mungkin saat aku menjadi penuntas syahwatnya saat itu,” ujarnya.
Kami saling tertawa kecil. Mungkin pada hari itu, di hari sial itu, masing-masing dari kami sudah bosan dengan segala macam keberengsekan hidup. Sehingga kami akhirnya saling telepon, saling berjanji untuk bertemu, dan menerobos pagar menuju gunungan pasir yang kini sudah mulai mencecah betis kami. Menjelang maghrib, kawasan ini ditutup untuk umum. Tetapi kami adalah anak-anak Kampung Bambu yang terbiasa memanjat bambu dan berpetualang di sawah. Sekadar menerobos atau memanjat panjat besi yang dibuat asal-asalan oleh petugas dinas tentu tidak bisa menghentikan kami.
Waktu tenggelam sepenuhnya, matahari terbenam, dan kami mulai memejamkan mata. Kami tidak tahu kapan tepatnya merasakan pasir menyelimuti kami, tetapi yang kami tahu, setelah itu lantas menjelma menjadi sepasang bocah SD. Mendaki gunungan pasir, lalu memanjat kucuran pasir layaknya tali yang akan membawa kami ke petualangan di batas langit. Dan kami tertawa. Begitu riang.
Tangerang, September 2024
BIODATA PENULIS
Kurnia Gusti Sawiji merupakan guru dan penulis kelahiran Tangerang. Sebagai salah satu dari 10 emerging writer dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2024, Kurnia berkontribusi dalam proyek pameran daring Emerging Writers Festival (EWF) Australia 2024 dengan monolog berjudul A Dust’s Soliloquy (Nyanyian Sunyi Sebutir Debu). Karya solonya yang sudah terbit adalah novel Tanah Seberang (Buku Mojok, 2018) dan kumpulan cerpen Dongeng Pengantar Kiamat (Unsa Press, 2022). Selain itu, cerpen dan esainya telah dimuat di beberapa media seperti Mojok, Suara Merdeka, dan Kompas. Dapat diikuti di media sosial Instagram: @kurnigs.
Discussion about this post