
Apa yang dibayangkan seorang perantau tentang kota yang konon katanya romantis seperti Yogyakarta? Bagaimanakah mata dan jiwanya menghayati kehidupannya yang sepi di tanah rantauan? Bagaimanakah perasaan-perasaan tadi jika disampaikan lewat puisi, lewat kata-kata seorang penyair?
Kita akan mengetahuinya dari salah satu penyair, Indrian Koto. Ia ialah seorang yang berasal dari pesisir selatan Sumatra Barat yang kemudian mengarahkan kemudi dan mata angin tujuannya ke kota pendidikan. Di kota inilah, dirinya ditempa menjadi seorang penyair, menghayati tiap gerak dan detak kehidupan. Kota yang jadi tempat “kelahiran kedua”-nya ini turut menyusun-membentuk bagian dari diri dan sejarah hidupnya.
“Meninggalkan” niscaya tak bisa dilepaskan dari peristiwa merantau. Sosok ibu biasanya ialah tokoh yang paling berat merelakan kepergian dan seseorang akan selalu dibayang-bayangi sosoknya. Hal itu tergambar jelas misalnya dalam puisi Hujan Buat Ibu II. Selain ibu, hal yang selalu terkenang jika sudah di tanah rantau ialah kampung halaman, di sanalah sebagian ingatan manusia perantau tertaut. Puisi Ke Langgai, Ke Asal Leluhur mencoba untuk mengenang dan mengabadikan kenangan-kenangan di kampung halaman tersebut.
Dalam kenyataan, ketika merantau dijalani, semua terasa tak mudah. Banyak hal-hal yang menyakitkan terjadi dan dialami, Malam Pengembara dan Kota Luka merekam bagian-bagian tersebut dengan sentimental. Meski begitu, tanah tujuan rantauan tak selamanya memberikan bayangan mengerikan. Selama di rantauan, seseorang bisa belajar dan menerima hal-hal baru, hal-hal yang akan membentuk ulang dirinya. Di puisi Yogya: Kelahiran Kedua, seorang perantau malah seperti dilahirkan kembali menjadi manusia baru.
Runtutan-rentetan peristiwa merantau yang dimulai dari proses meninggalkan, kemudian ditempa, dan jadi manusia baru tergambar dalam kelima puisi yang dipilih dari buku Pledoi Malin Kundang (2017) yang kemudian direspons oleh lima grup musik. Puisi-puisi ini pada akhirnya terasa bukan hanya menjadi milik penyair selaku penciptanya, melainkan telah jadi milik publik, milik semua orang yang mengalami peristiwa merantau, khususnya ke Yogyakarta.
Memberi Tantangan, Mencari Kemungkinan
Tak Perlu Sedu Sedan Itu (TAPSSU) #2, tribute to poetry mengambil tema “Rantau” dari puisi-puisi Indrian Koto. Tajuk acara TAPSSU diambil dari baris puisi berjudul “Aku” milik Chairil Anwar. Acara yang berlangsung di Dua Arah Coffe tanggal 17 Desember, khusus memberikan penghormatan bagi sastrawan dan karyanya. Pada acara pertama bulan Juli 2023, puisi-puisi Chairil Anwar-lah yang kali pertama direspons oleh grup musik. TAPSSU ingin mempertemukan antara musisi dan penulis, juga memunculkan alihwahana teks puisi ke musik. Para musisi diberi tantangan untuk merespons puisi-puisi yang telah dikurasi oleh Jemi Batin Tikal & tim TAPSSU. Alihwahana ini berusaha memberikan kemungkinan dan sajian lain dalam menikmati puisi dan juga agar teks sastra jadi (lebih) hidup dan berumur lebih panjang.
Musikalisasi puisi mengacu kepada pendapat Agnes Pitaloka dan Amelia Sundari dalam Seni Mengenal Puisi (2020), ialah puisi yang dinyanyikan sehingga seorang pendengar yang kurang paham menjadi paham. Atau dalam kerangka yang lain, musikalisasi puisi bisa memberikan “cara lain” menikmati puisi, selain lewat membaca. Musikalisasi puisi, lazimnya menggunakan instrumen akustik, meskipun bisa dilakukan dengan berbagai instrumen musik yang lain. Umumnya dalam musikalisasi puisi, tidak ada teks puisi yang hilang atau tak terdengar jelas.
Masih berpatok pada pendapat yang sama, Pitaloka dan Sundari membagi musikalisasi puisi menjadi tiga jenis, yaitu musikalisasi murni, musikalisasi sastra, dan musikalisasi puisi campuran. Musikalisisasi murni ialah jenis yang mengubah puisi menjadi syair lagu tanpa menyertakan pembacaan di puisi di dalamnya. Grup musik Roji Luji dan Skena Futura masuk dalam kategori ini. Puisi Ke Langgai, Ke Asal Leluhur direspons oleh Roji Luji, grup musik yang memiliki warna power pop. Grup ini mengalunkan musik dengan lirik-lirik kritis yang berdasar dari puisi tentang cinta, kehidupan sosial, dan pergulatan keseharian kontemporer. Merespons puisi bukanlah hal yang baru bagi mereka. Sedangkan grup Skena Futura yang merupakan kelompok Groovy Pop atau Chill Pop juga masuk dalam kategori pertama. Puisi Hujan Buat Ibu II dinyanyikan dengan syahdu di bawah langit malam Yogyakarta yang cerah.
Berbeda dengan Notula, grup musik ini masuk dalam kategori musikalisasi campuran, kombinasi musikalisasi puisi murni dan musikalisasi sastra. Dalam praktiknya, teks puisi akan dinyanyikan, tetapi ada bagian yang dibacakan dengan tetap diiringi musik. Notula saat ini masih mengeksplorasi wilayah musik dan teks sastra. Grup ini merespons puisi Yogya: Kelahiran Kedua bagian 1.
Dua grup musik penampil lain, yaitu Noire dan BUKTU, tidak masuk dalam tiga kategori di atas atau berbeda dari pengalaman umum (terutama kalangan penikmat sastra), yang sering mendengar puisi direspons lewat musik akustik dan bernuansa nostalgia.
Puisi Kota Luka direspons oleh grup Noire lewat penyampaian yang intens, spoken words & lirik katarsis diiringi musik bernuansa post-rock, emo dan skramz. Kata-kata atau lirik puisi dalam hal ini jadi bahan menghasilkan suara dan membentuk bunyi-bunyian yang berisik, lebih menekankan disonansi dan dinamika.
Sedangkan lewat gabungan musik eksperimental, post-rock, ambient, puisi Malam Pengembara direspons oleh BUKTU, band asal Yogyakarta. Puisi, dalam hal ini ialah kata-kata, telah lebur. Meskipun pada awalnya puisi dibacakan secara jelas dan utuh, selanjutnya yang diambil dari puisi ialah rima dan ruhnya, dijadikan tombak utama yang kemudian mewujud dalam nada, tekstur, dan suasana.
Jika biasanya kita sering mendengar musikalisasi puisi yang sendu, misalnya dari Bimbo atau duo kondang Ari-Reda. Maka sajian berbeda dalam menikmati dan mendengarkan puisi dihadirkan oleh Noire dan BUKTU. Sajian berbeda sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kurun 2006 di kota Yogyakarta misalnya, puisi direspons oleh grup musik bergenre Hip-Hop lewat tajuk Poetry Battle. Usaha tersebut berhasil membawa puisi tampil ke gelanggang dalam bentuk dan wajah yang lain, yang tak kalah gagah dan keren.
Penulis
Jemi Batin Tikal, kadang menumis, kadang menulis. Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta (September, 2023) ialah buku puisi debutannya. Ia bisa dicubit via medsos FB/IG: jemibatintikal & surel: [email protected]
Discussion about this post