Fatris MF lahir di Sumatra Barat, Indonesia. Sejak 2005 ia bekerja sebagai jurnalis dan penulis perjalanan. Karyanya (foto dan artikel) banyak dipublikasikan di beberapa media seperti DestinaAsian Indonesia, Koran Tempo, Currier International France, Republika, Travelounge, Marie Clair Magazine, Colours, Beritagar Indonesia, Color, Garuda Indonesia Inflight Magazine, Sriwijaya Inflight Magazine, Travel Fotografi, dan majalah Chip. Fatris sekarang seorang jurnalis lepas khusus pelaporan lingkungan dan masyarakat adat, sebagian besar pekerjaan pribadinya memiliki komponen politik dan sosial yang kuat. Web: fatrism.com. Ia juga rutin membagikan catatan perjalanannya lewat media sosial Instagram seraya melampirkan tangkapan lensa.
Fatris MF sudah menerbitkan sejumlah buku, sebagian masih bisa dipesan lewat toko onlen. Berikut daftar Buku Fatris MF:
2009 Di Tanah Tepi, Yogyakarta.
2013 Rainforest and The People Inside, Czech.
Books:
2015 Merobek Sumatra, Penerbit Serambi Jakarta.
2016 Kabar dari Timur, Penerbit Matakiri, Jakarta.
2017 The Banda Islands, Hidden Histories & Miracles of Nature (Articles anthology about Banda Archipelago for 350 years with Willard A. Hanna, Giles Milton, Hanna Rambe, Ian Burnett, Lawrence Blair, Goenawan Mohamad, Janet DeNeefe, Elizabeth Pisana,…) Kabar Media, Singapore
2019 Lara Tawa Nusantara, Buku Mojok, Yogyakarta
2021 The Banda Journal, Jordanjordan.co
2021 Hikayat Sumatra, Buku Mojok, Yogyakarta
2024 Indonesia dari Pinggir, Partikular, Bali
2024 Di Bawah Kuasa Naga, JBS, Yogyakarta
Komodo, naga terakhir yang hidup di bumi. Kini, daratan satu-satunya tempat naga terakhir ini hidup terletak di satu tempat yang jauh di perairan timur, di pulau-pulau kecil di provinsi miskin Nusa Tenggara Timur. Dan, naga terakhir ini mesti diselamatkan! Pisahkan ia dari kehidupan manusia! Benarkah begitu? Bermacam cara menyelamatkannya, beragam kepentingan ingin menguasainya. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang telah lama hidup berdampingan dengan komodo? Begitu Fatris menuliskan pada sebuah catatannya mengenai Pulau Komodo.
Suatu tahun, aku lupa entah kapan, beliau pernah bercerita panjang tentang pengalamannya ketika berada di Pulau Komodo. Tentu saja lengkap dengan asumsi-asumsi yang ia temui di lapangan. Ditambah bahan bacaan yang terbatas, ia menarik kesimpulan “jangan-jangan naga yang menjadi binatang sakral itu adalah komodo.” Ia seorang pencerita yang handal, dan kawan diskusi yang cukup ekspresif bin sembrono kalau berkata-kata pada bagian yang tidak ia sukai. Tapi hari ini pikiranku seolah kembali kepada percakapan malam itu, tentang bagaimana ia berada di Pulau Komodo, berbaur dengan masyarakat setempat (lebih banyak di Pulau Rinca). Pulau yang sudah tergabung sebagai alumni 7 keajaiban dunia itu sempat ia singgahi selama sebulan, dia cukup lihai kalau sudah berkamuflase dengan masyarakat tempat ia melakukan riset (maksudnya Fatris begitu). Semisalnya, pada buku The Banda Journal. Saya tidak tau persis seberapa lama ia di sana, tapi apa yang ia hasilkan dalam bukunya dan pencapaian buku tersebut, sudahlah cukup menjawab pertanyaan itu. Di Pulau Komodo nampaknya juga demikian, di akun instagram @fatrismf ia kerap berbagi pengalaman perjalanan, termasuk ketika berada di Pulau Komodo, bagaimana ia memotret–merekam aktivitas masyarakat dan komodo di sana, kemudian disertai narasi yang satir, tapi tak menjatuhkan siapa-siapa. Ia seolah memberikan gambaran bias, tapi seakan nampak jelas.
Barangkali, saya tidaklah pembaca buku Fatris secara fanatik, tapi beberapa tulisannya yang terpublik di media selalu saya baca. Hari ini saya menghadiri pameran poto beliau dengan judul besar “Di Bawah Kuasa Naga” yang menayangkan poto-poto beliau selama di Pulau Komodo. Aku tidak tau mengapa, dalam serangkaian agenda pameran, rupanya Fatris juga mengagendakan pemutaran film dokumenternya. Film yang ia rekam selama berada di Pulau Komodo, kemudian menjadi sebuah film yang utuh oleh seorang sineas Dhika Rizki. Pameran yang digelar di Galery Taman Budaya Sumatra Barat ini setidaknya berlansung selama 4 hari. Dimulai sejak 25 sampai 28 April 2024, dengan serangkaian acara yang cukup menarik. Kawan-kawan bisa cek di sini;
Tapi Fatris, tulisan-tulisannya yang mengandung ironi dan kegamangan menjadi bagian kuat dari karya-karyanya. Poto-poto yang dihasilkan mengandung gambar wajah Indonesia secara umum: kemiskinan dan tertinggal. Pada pameran ini, wajah murung salah satu keajaiban dunia itu dipajang. Sebagian berwarna hitam putih, sebagian lagi sengaja berwarna cerah dengan pencahayaan yang pas. Poto-poto itu menempel layaknya ragam keironisan, sebagian ditabrak dengan tangkapan lensa yang abstrak–multitafsir. Mungkin saja ada bagian poto yang dipotong agar sesuai dengan selera kurator. Entahlah.
Pameran yang bertajuk The Land Of Dragons ini membawa pengunjung jalan-jalan secara visual. Tentu saja tingkat kematangan Fatris dalam pengambilan gambar sangat mencolok dalam poto yang dipajang pada pameran ini. Aku coba membuat pertanyaan dalam benak, mengapa pameran ini ia gelar di Padang? Mengapa harus pameran bertajuk “Komodo” yang ia persembahkan kepada pecinta fotografer di Padang?
Di luar cuaca masih mendung, sejak siang tadi hujan turun dan langit setengah kelam. Pancaroba yang terjadi akhir-akhir ini membuat banyak acara diselimuti lembab. Tapi tak mengurungkan niatku untuk datang pada malam pembukaan pameran Fatris. Ini patut diabadikan dalam tulisan ataupun ingatan sebagai memori kolektif. Orang-orang begitu juga nampaknya, datang ramai melihat, memotret kembali apa-apa yang disajikan dalam pameran. Di luar galery, juga disediakan stand buku untuk pengunjung yang ingin membeli buku. Di sana juga tersedia beberapa buku Fatris yang sudah diterbitkan.
Di malam yang lembab, sekiranya pukul 19:14 wib, saya berleha-leha di depan galery sebelum pembukaan dimulai. Saya lihat para pengunjung tampak antusias menunggu dipersilakanya untuk masuk ke dalam galery untuk melihat poto-poto yang dipajang. Semakin malam, pukul 20:00 wib pengunjung kian ramai dan para seniman, budayawan, sastrawan, fotografer, pejabat dan pegiat kebudayaan menyatu dalam diskusi. Tapi sedikit lambat pembukaan, sampai pada kalimat ini, pembukaan belum berlangsung. Tapi tentu saja jadwal yang tak sesuai sekejul sudah biasa terjadi.
Akhirnya, pameran dibuka oleh grup musik Echo Flow yang digawangi oleh Ingik dan Irene. Lagu yang dibawakan seolah menambah lembab malam pembukaan pameran, lagu yang sengaja di aransemen khusus untuk malam pembukaan pameran Di Bawah Kuasa Naga. Echo Flow membawakan lima lagu, dua dari lima lagu yang dibawakan Echo Flow adalah lagu ciptaan mereka, bisa kalian cek di platform musik.
Pukul 20:44 wib, akhirnya pembukaan pameran poto dibuka. Para pengunjung mulai nampak bersiap-siap hendak memasuki ruang galery. Pameran poto dibuka langsung oleh panduan kurator Uyung Hamdani kepada para pengunjung. Uyung selaku kurator coba menjelaskan menyoal poto yang sedang dipajang, semacam menerangkan begitu. Di bagian lain, Ariq nampak sedang melangsungkan mural, sambil terus dipotret para pengunjung. Para pengunjung nampak begitu menikmati pameran yang disajikan, sesekali samar terdengar pertanyaan-pertanyaan seputar poto yang dipamerkan. Sampai pukul 21:30, pengunjung tak mengendor. Semakin ramai. Mantap.
Discussion about this post